The European Court of
Human Rights (ECtHR) adalah pengadilan supranasional atau internasional yang
didirikan pada tahun 1959 melalui the European Convention on Human Rights (ECHR),
dimana pengaddilan ini memiliki peran penting dalam perlindungan hak-hak dasar
dan kebebasan yang ditetapkan dalam ECHR dan protokolnya. ECtHR memiliki 47
hakim, sesuai dengan jumlah 47 negara anggota the Council of Europe, dengan 800 juta masyarakat. Perlu juga disebutkan bahwa
sejak 1 November 1998, ECtHR telah memiliki yurisdiksi permanen, sehingga
individu dapat mengajukan permohonan secara langsung.
Dalam aktifitas peradilannya, ECtHR
memberikan perlindaungan kepada para pihak ketika berperkara pengadilan, baik
institusional maupun prosedural. Menurut Waldock, margin of appreciation adalah salah satu perlindungan yang penting yang
dikembangkan oleh ECtHR untuk merekonsiliasi penerapan konvensi secara efektif
dengan kekuasaan dan tanggung jawab pemerintah dalam demokrasi.
Doktrin margin of appreciation adalah suatu sarana yang diberikan kepada Negara
anggota the Council of Europe untuk mengadopsi, baik langkah-langkah positif
untuk mematuhi ECHR dan langkah-langkah yang meskipun dianggap mengganggu
beberapa hak dan kebebasan individu, tindakan tersebut dianggap dapat
dibenarkan karena mereka perlu untuk menjaga ketertiban umum dan/atau untuk
melindungi hak dan kebebasan orang lain dalam masyarakat yang demokratis.
Margin of appreciation adalah doktrin, yang digunakan oleh ECtHR dalam menafsirkan ECHR. Doktrin
ini digunakan oleh ECtHR ketika memutuskan apakah suatu negara anggota telah
melanggar konvensi atau tidak. Oleh karena itu, melalui margin of appreciation memungkinkan negara-negara anggota the Council
of Europe untuk menafsirkan konvensi secara berbeda.
Secara historis, asal muasal margin of
appreciation, menurut Mowbray, bahwa frasa “margin of appreciation” adalah terjemahan langsung dari konsep
Prancis tentang “marge d’
appreciation” yang merupakan metode peninjauan yudisial
yang dirancang oleh Conseil d'état . Gagasan Prancis tentang “marge d’ appreciation”
dapat dibandingkan dengan prinsip-prinsip Jerman yaitu Beurteilungspielraum, Ermessensfehler, Ermessensspielraum,
Ermessensmisbrauch, Ermessensuberscheitung, dan unbekannte atau unbestimmte – rechtsbegriffe.
Sementara di Italia sebagai ‘margine di
discrezionalita'. (Mowbray, Alastair, Cases, Materials, and Commentary on
the European Convention on Human Rights, 3rd ed., Oxford University Press,
Oxford, 2012, p. 634)
Margin of appreciation tidak secara
eksplisit disebutkan dalam teks ECHR, namun dikembangkan di kasus-kasus darurat
berdasarkan Pasal 15 ECHR. Doktrin itu lahir dalam yurisprudensi konvensi dalam
Laporan Komisi dalam kasus Cyprus
(1958). Pada kasus Greece v United Kingdom (“Cyprus”),
dua aplikasi permohonan diajukan ke Komisi yang menuduh beberapa pelanggaran
ketentuan Konvensi oleh Kerajaan Inggris untuk mengelola pulau Cyprus. Inggris memohon Pasal
15 Konvensi, yang memungkinkan Negara Pihak untuk tidak menerapkan ketentuan
Konvensi ketika keadaan darurat publik mengancam kehidupan bangsa. (Greece v United Kingdom “Cyprus Case”, 1958)
Kemudian, penjelasan terperinci tentang
penerapan margin of appreciation terdapat dalam presentasi Komisi di
Pengadilan Eropa dalam kasus Lawless v
Ireland (1961), dimana merupakan putusan pengadilan pertama yang melibatkan
tuduhan penahanan preventif yang melanggar jaminan Konvensi oleh Pemerintah
Republik Irlandia. Pemohon yang merupakan warga negara Irlandia dan anggota
Tentara Republik Irlandia telah ditahan tanpa melalui proses pengadilan selama
lima bulan dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Negara. Pemohon mengklaim kondisi
darurat di bawah Pasal 15. Dalam kasus tersebut, Komisaris Waldock, Presiden
Komisi, berpendapat bahwa margin of appreciation merupakan konsep
untuk membenarkan tindakan pemerintah dan menghindarkan dari tanggung jawab
untuk menghargai faktor-faktor kompleks dan menyeimbangkan ketentuan yang
saling bertentangan dari kepentingan umum. (Lawless v Ireland, Commission
Decision, 1960-61).
Kasus berikutnya yang melibatkan Pasal 15 ECHR
adalah Greek case (1969). "Greek case melibatkan aplikasi
permohonan yang diajukan oleh empat Negara Anggota" dimana menuduh
pelanggaran Konvensi oleh Greek
revolutionary government yang telah berkuasa pada bulan April 1967.
Pemerintah meminta melalui Royal Decree pada 21 April 1967, berdasarkan Pasal
15 untuk menangguhkan ketentuan konstitusi Yunani yang berhubungan dengan Pasal
5, 6, 8, 10 dan 11 dari Konvensi. Meskipun mengakui yurisprudensi "tentang
penerapan margin of appreciation yang diberikan Negara Anggota di bawah Pasal 15,
Komisi menolak anggapan Yunani bahwa keadaan darurat publik ada pada 21 April
1967. Dengan demikian, Komisi menemukan bahwa derogasi Yunani tidak dapat
dibenarkan dan melanggar Konvensi. (Greek
Case, ECtHR Judgement 1969)
Kasus pertama di mana Pengadilan secara
tegas bergantung pada margin of appreciation adalah kasus Ireland v the
United Kingdom (1978). Dalam kasus ini, Pemohon adalah
Pemerintah Republik Irlandia yang mengklaim bahwa penahanan ekstra-yudisial
melanggar Pasal 5 (hak atas kebebasan) Konvensi dan bahwa praktik interogasi
adalah merupakan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan
martabat, sehingga melanggar Pasal 3 Konvensi. Pengadilan memberi otoritas
nasional suatu "wide margin of
appreciation” dalam memutuskan "baik pada kehadiran keadaan darurat
seperti itu dan pada sifat dan ruang lingkup derogasi yang diperlukan untuk
mencegahnya.”(Ireland v. UK, ECtHR Judgement of 18 January 1978)
Namun, dalam praktik saat ini, doktrin margin of
appreciation telah menimbulkan banyak komentar, beberapa di
antaranya sangat kritis terhadap penerapan doktrin tersebut, misalnya, bahwa
hal itu dapat menyebabkan relativisme tentang hak asasi manusia. Gagasan bahwa
dengan tidak adanya konsepsi seragam moral publik di Eropa, Negara-negara Pihak
lebih baik ditempatkan untuk menilai nilai-nilai lokal dan penerapannya pada
kasus-kasus tertentu memberikan bobot pada gagasan relativisme moral dan
mengorbankan universalitas hak asasi manusia. Disisi lain tidak dapat dipungkiri
bahwa doktrin margin of appreciation memainkan peran penting dalam penanganan
perkara oleh ECtHR, sehingga doktrin ini adalah salah satu hal yang paling menarik
untuk dibahas melalui yurisprudensi ECtHR.
M Lutfi Chakim