Latest Posts

PENGADILAN KHUSUS PEMILIHAN UMUM

By 7:39:00 AM


       Pemilihan umum (Pemilu) merupakan sarana kedaulatan rakyat, dan sebagai salah satu prasyarat Negara Demokrasi, maka alangkah baiknya jika Pengadilan Khusus Pemilu merupakan bagian terpenting dalam mengawal proses demokrasi. Karena peradilan khusus pemilu merupakan sebuah ius constituendum (cita hukum) yang tujuannya untuk memproteksi hak konstitutional warga negara dan peserta pemilihan umum, untuk memberikan ruang hukum kepada pihak-pihak yang dirugikan dalam penyelenggaraan Pemilu untuk mendapatkan kepastian hukum dalam kehidupan negara demokrasi, sekaligus sebagai upaya untuk mempercepat penyelesaian sengketa atau kasus-kasus selama proses pemilihan umum berlangsung.
       Gagasan Pengadilan Khusus Pemilu sebenarnya merupakan salah satu komponen terpenting dalam azas-azas penyelengaran pemilu diantaranya adalah “kepastian hukum”. Dalam konteks kepastian hukum, adalah bahwa antara penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu dan peserta pemilu menerima secara baik dari proses tahapan, program dan jadwal waktu penyelenggaran pemilu. Apabila ada pihak-pihak yang belum puas atas hasil kerja yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai Penyelenggara Pemilu, dapat mengajukan sengketanya di Pengadilan Khusus Pemilu.
        Contoh kasus yang pernah menjadi persoalan misalnya, pada pemilu legislatif tahun 2009 yang lalu, yang dilaksanakan di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, ada 5 (Lima) partai politik peserta pmilu dibatalkan sebagai peserta pemilu oleh KPU Kabupaten Mentawai. Pembatalan tersebut dilakukan 10 hari setelah hari pemungutan suara atau tepatnya pada saat proses rekapitulasi hasil pemilu dilakukan pada tingkat Kabupaten. KPU Kabupaten Mentawai beralasan bahwa partai yang bersangkutan terlambat menyerahkan rekening dana kampanye, sehingga layak untuk dibatalkan. Sementara Partai Persatuan Daerah (PPD), asalah satu dari lima partai yang dibatalkan merupakan partai yang memperoleh 3 (tiga) kursi untuk DPRD Kabupaten.
          Karena secara umum, perkara atau sengketa pemilu mencakup tiga ranah, yaitu: Sengketa hasil pemilu, Perkara pidana pemilu, dan Sengketa administrasi pemilu. Apabila merujuk undang-undamg Nomor 10 tahun 2008 dan undang-umdamg Nomor 12 tahun 2008, untuk sengketa hasil pemilu diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (MK), sedangkan penyelesaian perkara pidana pemilu diselesaikan melalui Pengadilan Negeri (PN), sementara penyelesaian pelanggaran administrasi pemilu dlakukan oleh Komisi pemilihan Umum (KPU), KPU profinsi dan KPU Kabupaten/kota berdasarkan laporan Bawaslu dan Panwaslu.
          Ketersediaan mekanisme penyelesaian sengketa untuk dua persoalan pertama tentunya sudah lebih dari cukup. Artinya semua pemangku kepentingan telah diberikan ruang untuk menyelesaikan persoalan yeng terjadi melalui Mahkamah Konstitusi dan peradilan Umum. Sementara pada ranah sengketa yang ke tiga, masih terdapat kekosongan hukum yang dapat merugikan masyarakat maupun peserta pemilu. Salah satunya adalah persoalan administratif yang timbul karena diterbitkannya keputusan KPU, baik itu KPU Profinsi atau KPU Kabupaten/Kota yang merugikan peserta pemilu.
       Kembali terhadap persoalan tersebut diatas, Partai Persatuan Daerah (PPD) mengajukan perkara tersebut diatas kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah konstitusi berpendapat bahwa mahkamah Konstitusi tidak mempunyai kewenangan untuk memeriksanya. Sebab, sengketa tersebut merupakan sengketa Administratif, bukan sengketa hasil pemilu yang menjadi kewenangan mahkamah Konstitusi. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, Partai Persatuan Daerah (PPD) pun mengajukan gugatan sengketa administratif kepada Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang. Dalam putusan selanya, PTUN pun memutuskan bahwa PTUN juga tidak mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili perkara yang diajukan Partai Persatuan Daerah (PPD). Kemudian, apabila perkara tersebut diajukan kepada Peradilan Umum, dapat dipastikan bahwa Pengadilan Umum pun tidak berwenang memeriksanya, karena wewenang pengadilan umum adalah terkait dengan sengketa pidana pemilu bukan sengketa administratif sesuai dengan perkara tersebut. 
       Apabila semua semua pengadilan menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa perkara tersebut diatas, lalu untuk mempertahankan haknya sebagai peserta pemilu, kepada siapa seharusnya partai peserta pemilu seperti Partai Persatuan Daerah (PPD) ini dapat mengajukan keberatan atau gugatannya? Secara bersamaan apakah apakah KPU, baik itu KPU Profinsi atau KPU Kabupaten atau Kota merupakan institusi yang kebal dari gugatan terhadap ketupusan yang dinilai merugikan hak konstitusional warga Negara dan peserta pemilu? Bukankah persoalan diatas merupakan salah satu wujud tidak fair-nya pelaksanaan pemilu yang disebabkan tidak adanya ketersediaan mekanisme penyelesaian sengketa. (Khairul Fahmi. 2011).
         Selain itu terkait dengan munculnya kisruh seputar pemilihan umum yang dapat dibagi menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal adalah kinerja KPU yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat dan Bawaslu yang cenderung tidak dapat berbuat maksimal dalam mengawasi jalannya pemilu dikarenakan Bawaslu tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan sebuah keputusan yang bersifat eksekutorial. Dari segi internal adalah persoalan moralitas KPU, Bawaslu dan para calon yang tidak sadar akan prinsip-prinsip demokrasi. Moralitas KPU dan Bawaslu cenderung tidak idealis terhadap prinsip-prinsip demokratisasi di Indonesia. Bahwa kesadaran untuk mewujudkan General Walfare bagi masyarakat Indonesia bukanlah sebuah kesadaran yang terlembagakan di KPU dan Bawaslu padahal posisi dari pemilu sangat menentukan bagaimana pemerintahan Indonesia lima tahun kedepan. Begitupun para calon yang seolah melihat celah unttuk mengajukan gugatan setiap mereka kalah, padahal banyak gugatan yang diajukan hanya berdasarkan karena hasratnya yang tidak dapat menerima kekalahan.
Misalnya dapat dilihat dri banyaknya Jumlah gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi (MK), bahkan hampir mencapai jumlah pelaksanaan pilkada itu sendiri. Pada 2010 telah diselenggarakan 246 pilkada di tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota. Pada saat yang sama,MK juga menerima 230 gugatan hasil pilkada. Berdasarkan asalnya, dari 246 daerah yang telah melangsungkan pilkada, 168 di antaranya bersengketa di MK.
      Artinya hampir70% daerah bermasalah dengan pilkada. Hanya 78 daerah yang ”bersih” dari sengketa.Munculnya 230 sengketa karena dari 168 daerah ada yang melayangkan gugatan lebih dari satu.Ini baru pilkada kurun 2009–2010. Pada tahun ini hingga 2014 nanti masih akan berlangsung 278 pilkada sehingga potensi sengketa semakin besar. Sejak penyelesaian sengketa pilkada resmi dialihkan dari Mahkamah Agung ke MK pada 2008 melalui revisi terbatas Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, MK tidak pernah sepi menerima gugatan.
         Jika ditotal,sampai Februari 2011 lembaga ini telah menerima 298 gugatan pilkada (lihat grafis). Dari jumlah itu, 278 di antaranya sudah diputuskan dan 20 sisanya masih menumpuk di meja kerja hakim konstitusi. Dari jumlah gugatan yang dikabulkan untuk diuji, 187 gugatan ditolak,54 tidak diterima, empat ditarik kembali dan satu gugur. Jika hal ini berlangsung terus-menerus akan berpengaruh terhadap kualitas pilkada. Selain itu, sistem gugatan pilkada yang sentralistik juga akan menguras energi dan biaya pihakpihak yang beperkara serta hakim konstitusi. untuk mengantisipasi banjirnya gugatan ke MK sebaiknya dibentuk pengadilan khusus pemilu.Pengadilan itu nantinya menangani dugaan tindak pidana dalam proses penyelenggaraan pemilu.”Pengadilan ini nantinya disebar di seluruh badan peradilan umum, seperti Pengadilan Negeri,Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. (Refly Harun, CETRO. 2011).

GAGASAN PEMBENTUKAN PENGADILAN KHUSUS PEMILU

       Alangkah eloknya gagasan Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu dalam revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, memasukkan draf Pengadilan Khusus Pemilu kedalam Rancangan Revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, wacana pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu harus kita dorong terus lewat Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Pemasalahan-Permasalahan Tindak Pidana Pemilu yang sekarang ini terjadi tidak diselesaikan begitu saja di Mahkamah Konstitusi, karena bukan ranah hukum  Mahkamah Konstitusi menyelesaikan Tindak Pidana Pemilu.
        Karena pebentukan Pengadilan Khusus Pemilu dapat memberikan pencerahan hukum ketata negaraan di republik indonesia. Diantaranya adalah: (Didik Ariyanto, 2011)
  1. Dengan dibenbentuknya Pengadilan Khusus Pemilu ditingkat Ibukota Kabupaten/Kota tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Khusus Pemilu pada tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi merupakan solusi tepat, dalam menangani setiap sengketa Pemilu di tingkat daerah, karena Mahkamah Konstitusi dalam kewenanganya hanya sebatas sengketa Perselisihan Hasil Pemilu, bukan sengketa pidana pemilu dan administrasi pemilu pada proses Tahapan, Program dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu.
  2. Dengan dibentuknya Pengadilan Khusus Pemilu ditingkat Ibukota Kabupaten/Kota tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Khusus Pemilu pada tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi  maka para pencari keadilan yang berasal di daerah luar jawa, tidak berbondong-bondong ke Ibukota Jakarta, akantetapi cukup di Ibukota Kabupaten/kota atau Propinsi yang akan menjadikan Pengadilan Khusus Pemilu lebih efektif dan efisien dalam mengadili kasus-kasus Pemilu.
  3. Dengan Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu memang membutuhkan investasi yang cukup besar, akantetapi dilihat investasi hukum jangka panjang, maka Pengadilan Khusus Pemilu akan memberikan alternatif hukum dalam menangani kasus-kasus pemilu agar  lebih cepat, murah dan mudah serta memberikan kepastian hukum kepada semua pihak.
  4. Pengadilan Khusus Pemilu merupakan salah satu komponen dasar terciptanya kepastian hukum menuju negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia .

DAFTAR PUSTAKA

Andi Ryza Fardiansyah. 2011. Pengadilan Khusus Pemilu : Dilema Penegakan Kedaulatan Rakyat Di Indonesia. https://ryzafardiansyah.wordpress.com/tag/pengadilan/ (Diakses Pada 22 November 2011)

Budiardjo, Miriam. 2010. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

CETRO, IFES, IDEA, BAWASLU. 2011. Acara Konferensi “Memperbarui Penegakan Hukum Pemilu di Indonesia dan Pengalaman Internasiona" Hotel Nikko, Kamis, 6 Oktober 2011

Didik Ariyanto. 2011. Perlukah Dibentuk Pengadilan Khusus Pemilu dalam Sistem Demokrasi. http://didikariyanto.blogspot.com/2011/06/pengadilan-khusus-pemilu.html (Diakses Pada 22 November 2011)

Khairul Fahmi. 2011. Menimbang Pengadilan Khusu Pemilu. Majalah Mahkamah Konstitusi, No 40 Mei 2011.


You Might Also Like

0 comments