Resensi Buku : Konstitusi Ekonomi
Judul: Konstitusi Ekonomi
- Penulis: Jimly Asshiddiqie
- Penerbit: Penerbit Buku Kompas
- Cetakan: Januari, 2010
- Halaman: xvi + 440 halaman
- ISBN: 978-979-709-465-2
Apabila sebelumnya kajian konstitusi lebih banyak
dihadapkan pada pendekatan interdisipliner dengan kajian sosial dan kajian
politik, melalui buku ini kajian itu diperluas dengan pendekatan ekonomi. Di
dalam buku ini Jimly mendefinisikan suatu konstitusi disebut konstitusi ekonomi
jika memuat kebijakan ekonomi di dalamnya.
Diskursus tentang konstitusi ekonomi sebenarnya
dimulai sejak Uni Soviet memasukkan persoalan ekonomi di dalam konstitusinya
pada tahun 1918 dan Republik Weimar Jerman pada tahun 1919 (hal 57, 61, 82).
Kemudian pola konstitusionalisasi kebijakan ekonomi itu diikuti oleh banyak
negara lain dalam berbagai tipologi.
Untuk menjelaskan tipologi konstitusi ekonomi,
Jimly memaparkan dinamika konstitusionalisasi kebijakan ekonomi di beberapa
negara yang dipengaruhi oleh paham ekonomi yang dianutnya. Pemaparan seperti
ini merupakan ciri khas dari studi perbandingan konstitusi yang dilakukan
dengan pendekatan ideologis.
Dari sejumlah konstitusi yang diperbandingkan,
terdapat empat karakter konstitusi ekonomi. Pertama, konstitusi ekonomi negara
liberal-kapitalis seperti Amerika, Australia, Belanda, dan Jerman. Pada tipe
ini hal-hal yang diatur di dalam konstitusi adalah jaminan hak milik
individual, kebebasan berkontrak dan kompetisi di antara pelaku usaha. Bukan
pemerintah, tetapi pihak swasta—yang dinamikanya lebih banyak ditentukan oleh
mekanisme pasar—yang merupakan aktor utama dalam kegiatan perekonomian. Peranan
negara sangat minimalis dan, kalau perlu, hanya membuat
aturan agar mekanisme pasar bisa berlangsung dengan leluasa.
Tipe kedua adalah konstitusi ekonomi negara
sosialisme dan komunisme seperti Uni Soviet, China, Vietnam dan Korea Utara.
Pada kelompok ini, pemerintah merupakan aktor utama dalam kegiatan
perekonomian, termasuk dalam membuat aturan dan menjalankan kegiatan ekonomi.
Semua sumber daya alam dan alat produksi lainnya adalah milik negara.
Kedua tipe di atas menunjukkan adanya
pertentangan ideologis yang memengaruhi karakter konstitusi ekonomi.
Pertentangan antara ideologi sosialis-komunis dan liberal-kapitalis kentara
sekali sejak berdirinya Uni Soviet sampai dengan keruntuhannya (1918-1991).
Namun, setelah Uni Soviet bubar, pertentangan ideologis tersebut berangsur
merenggang.
Keruntuhan Uni Soviet inilah yang kemudian
menjadi titik tolak lahirnya tipe konstitusi ekonomi yang ketiga, yaitu
konstitusi ekonomi negara eks komunis. Pada negara eks komunis terjadi proses
liberalisasi konstitusi ekonomi. Negara-negara yang memiliki tipe konstitusi
ekonomi sosialis-komunis bergeser dengan mengadopsi norma-norma yang ada pada
konstitusi negara liberal-kapitalis. Hal ini, misalnya, terjadi pada konstitusi
Rusia (1993), sebelumnya konstitusi Uni Soviet (1978), di mana ketentuan
tentang hak milik negara atas tanah, mineral, air dan hutan diubah menjadi
ketentuan yang berisi hak milik perorangan yang tidak dapat diambil alih
kecuali atas putusan pengadilan (147-148). Demikian juga dengan konstitusi
Lituania dan Armenia.
Sedangkan tipe konstitusi ekonomi yang keempat
adalah konstitusi ekonomi negara nonkomunis seperti Perancis, Portugal,
Spanyol, Filipina, dan Brasil. Pada negara-negara nonkomunis, pengaturan
tentang peranan negara dan pihak swasta dalam perekonomian diatur secara
berimbang. Selain memberikan peranan kepada negara melalui badan-badan khusus,
seperti Dewan Ekonomi dan Sosial di Perancis, peranan pihak swasta juga
mendapat tempat. Persaingan usaha dalam kegiatan ekonomi juga menjadi hal yang
dijamin di dalam norma konstitusi.
Corak Indonesia
Dikaitkan dengan empat tipe konstitusi ekonomi,
konstitusi ekonomi Indonesia lebih tepat digolongkan ke dalam tipe keempat,
yaitu konstitusi ekonomi negara nonkomunis. Hal ini semakin jelas terlihat
setelah amandemen UUD 1945 menjadikan peranan negara dan swasta dalam kegiatan
perekonomian sama-sama diakomodasi.
Untuk menjelaskan karakter konstitusi ekonomi
Indonesia, Jimly memaparkan perdebatan-perdebatan konstitusionalisasi ekonomi
yang terjadi seputar amandemen konstitusi (1999-2002). Dalam proses amandemen
tersebut terjadi ketegangan antara ekonom yang berpaham idealis, yang diwakili
oleh Mubyarto, Dawam Rahardjo, dan Sri-Edi Swasono, dan ekonom yang berpaham
pragmatis, seperti Boediono, Sri Mulyani, Syahrir, dan Sri Adiningsih.
Perseteruan dua kelompok tersebut dalam proses
amandemen UUD 1945 hampir mengalami kebuntuan karena kedua kubu bersikukuh pada
pandangannya masing-masing. Kelompok pragmatis berupaya mengganti Pasal 33 UUD
1945, yang merupakan pasal jantung konstitusi ekonomi Indonesia, dengan
nilai-nilai neoliberal untuk memudahkan integrasi perekonomian Indonesia dengan
perekonomian global. Sedangkan kelompok idealis berupaya mempertahankan Pasal
33 UUD 1945 yang merupakan rumusan fundamental ekonomi yang ditelurkan oleh
founding father yang juga merupakan Bapak Koperasi Indonesia, Mohammad Hatta.
Perseteruan sengit kedua kubu inilah yang
akhirnya membuat Mubyarto mengundurkan diri dari Ketua Tim Ahli Ekonomi dalam
proses pembahasan amandemen konstitusi setelah menyampaikan laporan kajian tim
ahli kepada Badan Pekerja MPR. Alasannya karena pandangan yang diusungnya kalah
dalam pengambilan keputusan yang demokratis dan karena jumlah ekonom yang
berpandangan seperti dia sangat sedikit (hal 357).
Pengunduran diri Mubyarto tersebut menyulut
kontroversi di dalam masyarakat dan kemudian berhasil membuat Pasal 33 UUD 1945
tidak jadi diganti, melainkan ditambahkan dua ayat, yaitu ayat (4) dan ayat
(5). Cara ini dianggap menjadi jalan tengah untuk meredakan pertentangan antara
ekonom idealis dan ekonom pragmatis saat itu.
Meskipun sudah mencapai jalan tengah, perseteruan
kelompok idealis versus pragmatis belum usai. Ekonom pragmatis kemudian banyak
mengisi pos-pos penting jabatan kenegaraan sampai hari ini, misalkan Boediono
menjadi Wakil Presiden dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Hadirnya
ekonom pragmatis dalam kancah jabatan publik cenderung membuat kebijakan negara
mengarah kepada pemenuhan agenda neoliberal yang dirumuskan dalam Washington
Consensus. Karena itu, bagi kalangan ekonom idealis, konstitusi ekonomi
Indonesia masih rentan karena selalu diintai oleh agenda-agenda neoliberal
seperti privatisasi, swastanisasi, komersialisasi, dan deregulasi.
Karena konstitusi ekonomi memiliki kerentanan,
perlu ada satu lembaga yang menjaga agar nilai-nilai konstitusi tetap sesuai
dengan karakter konstitusi ekonomi Indonesia. Di sanalah pentingnya peranan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang menjadi the guardian of constitution melalui
kewenangan judicial review untuk menjaga agar kebijakan ekonomi pemerintah
tidak bertentangan dengan konstitusi.
Selaku mantan Ketua MK yang memutus pengujian
undang-undang dan juga orang yang terlibat dalam proses amandemen UUD 1945,
tentulah menarik menyelami pemikiran Jimly Asshiddiqie terkait dengan
konstitusi dan konstitusionalitas ekonomi. Cikal bakal gagasan konstitusi
ekonomi yang ditulis di dalam buku ini sebenarnya sudah tersemai dalam disertasi
beliau (1990) dan buku Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (Konpres,
2005; hal 123-141). Karena itu, dapat dikatakan bahwa buku ini merupakan
artikulasi dari benih-benih pemikiran yang sudah disemai sebelumnya.
Saat ini MK sudah menguji lima belas
undang-undang di bidang perekonomian. Delapan di antaranya adalah undang-undang
yang terkait langsung dengan pengelolaan sumber daya alam. Namun, sayangnya,
putusan MK terkait dengan pengujian undang-undang tersebut tidak berada pada
satu langgam yang sama. Buku ini dapat menjadi pintu masuk yang tepat untuk
”berbincang” dengan gagasan baru yang dilontarkan oleh anggota Dewan
Pertimbangan Presiden ini. Terlebih, saat ini literatur asing yang membahas
konstitusi ekonomi masih sangat minim.
Sebagai salah satu dari sedikit literatur yang
membahas konstitusi ekonomi, Jimly menjadikan buku ini sebagai literatur kunci
untuk mengkaji konstitusi ekonomi yang pemaparannya disampaikan secara
deskriptif dan, dalam beberapa hal, juga evaluatif. Buku ini hendak menjadikan
konstitusi sebagai poros dari segala kehidupan bernegara, termasuk dalam urusan
perekonomian.
1 comments