KONSTITUSIONALITAS AMBANG BATAS PILPRES
Artikel ini di terbitkan di Majalah Mahkamah Konstitusi Edisi Agustus 2013
Rapat Pleno
Badan Legislasi DPR tentang pembahasan revisi Undang-Undang No. 42 Tahun 2008
tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres) yang
dilaksanakan pada (9/7/2013) belum menghasilkan keputusan apapun. Belum adanya
kata sepakat mengenai apakah revisi UU Pilpres perlu dilanjutkan atau
dihentikan mengakibatkan pembahasan ditunda dan dilanjutkan pada masa sidang
berikutnya setelah masa reses selama satu bulan.
Tarik ulur pembahasan
revisi UU Pilres terjadi lantaran ada salah satu Pasal yang menimbulkan
perdebatan, yakni terkait dengan konstitusionalitas ambang batas pilpres (presidential treshold), di satu sisi ada
yang menyatakan ambang
batas ini dimaksudkan dalam rangka mewujudkan stabilitas pemerintahan dan untuk
mewujudkan sistem presidensial yang kuat dan efektif. Namun disisi lain,
terdapat pandangan yang menyatakan bahwa ambang batas pilpres tidak sejalan
dengan Pasal 6A UUD 1945 yang sama sekali tidak
memerintahkan untuk membeda-bedakan partai politik berdasarkan dukungan minimal
berupa perolehan kursi atau suara.
Dalam negara demokrasi yang mendasarkan validitas segala
sesuatu pada suara mayoritas (rule
by the majority) melalui mekanisme pilihan rakyat memang mengalami sebuah dilema
besar. Apakah ambang batas pilpres tidak sejalan dengan amanat konstitusi?,
bukannya ambang batas juga diperlukan dengan tujuan penyederhanaan sistem
kepartaian demi menguatkan sistem presidensial?. Inilah dilema yang harus
dipikirkan demi menghasilkan formulasi yang tepat untuk keberlangsungan
demokrasi di Indonesia.
Tafsir Konstitusi
Prinsip dalam sebuah negara
demokrasi konstitusional yang berlandaskan rule
by the majority harus dilaksanakan berdasarkan pada rule by the majority base on the constitution. Disinilah keberadaan
Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the guardian
of constitution) dan penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of
constitution) telah memberikan putusan yang termaktub dalam putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Mahkamah
Konstitusi berpendapat bahwa ketentuan ambang batas pilpres (presidential treshold) tidak bertentangan dengan UUD 1945, karena merupakan delegasi kewenangan yang
bersifat terbuka yang dapat ditentukan sebagai kebijakan hukum (legal policy) oleh pembentuk Undang-Undang.
Ambang batas pilpres
merupakan sebuah legal policy, seperti
halnya dengan Syarat umur, syarat pendidikan atau syarat
lain yang tidak diatur dalam konstitusi tetapi kemudian diatur dalam UU
Pilpres, bukan berarti kebijakan tersebut bertentangan dengan konstitusi. Hal
itu merupakan pilihan kebijakan,
sepanjang
pilihan kebijakan tidak merupakan hal yang melampaui kewenangan pembentuk
Undang-Undang dan tidak merupakan penyalahgunaan kewenangan, maka sebuah
pilihan kebijakan tersebut konstitusional.
Terlebih, kebijakan
ambang batas memiliki maksud dan tujuan yang jelas, dengan
harapan dapat menjadi metode filterisasi yang akan menyederhanakan jumlah partai
politik peserta pemilu secara alamiah. Jadi bukan berarti dilarang untuk membentuk
partai politik, tapi tujuan sebenarnya dari penerapan ambang batas adalah untuk penyederhanaan partai
politik demi memperkuat sistem presidensial.
Konsistensi Kebijakan
Konstitusi
Indonesia menganut sistem presidensial, sementara sistem kepartaian yang dianut
adalah sistem multipartai. Berdasarkan
pendapat para ahli dan pengalaman Indonesia, kombinasi kedua sistem tersebut
sulit digabungkan, terbukti tidak dapat menghasilkan stabilitas pemerintahan.
Persoalannya, bagaimana membangun sistem
presidensial yang kuat dan efektif?
Model sistem
multipartai sederhana bisa menjadi solusi, sehinga konsistensi kebijakan dalam
rangka penyederhanan partai politik harus terus dilakukan. Berdasarkan regulasi
yang sudah diterapkan, dari UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif (UU
Pileg) telah memberikan persyaratan yang cukup berat bagi partai politik untuk
dapat menjadi peserta pemilu, terbukti hanya ada 12 partai politik yang lolos
menjadi peserta pemilu 2014, dari 34 partai politik yang mengikuti verifikasi
di KPU.
Selain itu,
kebijakan penyederhanaan partai dilakukan dengan menentukan pemenuhan ambang batas parlemen (parliamentary
threshold), UU Pileg telah mewajibkan bagi partai
politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan
dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.
Konsistensi kebijakan penyederhanan
partai tidak boleh berhenti hanya sampai disitu, dalam
konteks ini UU Pilpres telah menentukan desain ambang batas pilpres dengan besaran
persentase 20% kursi DPR dan 25% suara sah secara nasional, persentase tersebut
merupakan batas minimum perolehan
suara bagi partai politik untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil
presiden.
Kebijakan tersebut sudah tepat, besaran
ambang batas juga sudah merupakan angka yang moderat, tidak terlalu tinggi dan
tidak pula terlalu rendah yang bisa diterapkan untuk menemukan titik kompromi antara
hak konstitusional setiap partai politik untuk dapat mengusulkan calonnya,
dengan harapan dimana Presiden dan Wakil Presiden terpilih tidak hanya
memperoleh legitimasi yang kuat dari rakyat, namun juga memperoleh basis dukungan
dari DPR.
Akhirnya, semoga
perdebatan ambang batas dalam pembahasan revisi UU Pilpres telah menemukan
kesamaan pandangan. Demokrasi disamping menjamin kebebasan juga menentukan
batasan-batasan, dalam
menjalankan hak dan kebebasannya setiap warga negara wajib tunduk kepada pembatasan
yang ditetapkan dengan Undang-Undang.
M. Lutfi Chakim
0 comments