DEMOKRASI BERWAJAH OTORITER
Opini berikut
dipublikasikan di media online www.bisnis.com lebih lanjut dapat di baca via link ini
Is democracy working?, sebuah pertanyaan
mendasar yang patut untuk dijawab, karena realita yang terjadi menunjukkan
seolah-olah demokrasi tidak bekerja. Adanya persepsi buruk bahkan kekecewaan
rakyat terhadap pilar-pilar demokrasi seperti partai politik (parpol) dan
berbagai institusi negara yang tidak mampu menjalankan fungsinya. Merujuk
pendapatnya Mahfud MD (1998), pertentangan antara demokrasi normatif dan
demokrasi empiris menjelaskan, bahwa sistem politik suatu negara dapat saja
dikatakan demokratis, tetapi esensinya sebenarnya otoriter, karena demokrasi
justru disalahgunakan hanya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Begitu juga
sebaliknya, bahkan negara-negara yang sangat otoriter dapat mengklaim dirinya
sebagai negara yang demokratis, karena pemerintahannya yang otoriter justru
dibangun untuk melindungi kepentingan rakyat.
Pemilihan umum (pemilu)
adalah suatu mekanisme yang berfungsi sebagai sarana pelaksanaan demokrasi.
Namun, tidak semua pemilu berlangsung secara demokratis. Hal itu terbukti
menjelang pemilu 2014, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah banyak menemukan
kecurangan-kecurangan yang dilakukan oleh peserta pemilu, seperti money politics, black campaign, kampanye tidak
sesuai jadwal, kampanye barbau sara, kampanye menggunakan fasilitas negara,
dll.
Lebih dari itu, parpol
yang sebenanya menjadi alat untuk memperjuangkan dan membela kepentingan rakyat
juga telah berubah menjadi tidak lebih daripada sekedar kendaraan politik bagi
sekelompok elite politik yang berkuasa. Karena sejak mulai proses perekrutan,
mayoritas parpol hanya membuka pintu bagi mereka yang memiliki modal finansial
dan modal celebrity untuk diberi kesempatan maju
sebagai calon pemimpin, maka munculnya perilaku koruptif dari kader parpol
tidak terhindarkan.
Sungguh ironis, sering
sekali rakyat melihat ungkapan para politisi yang berteriak lantang ingin
memberantas korupsi, padahal dirinya sendiri yang terlibat korupsi. Hal itu
terlihat dari sebagian besar kasus korupsi, seperti kasus century, kasus cek
pelawat, kasus wisma atlet, kasus hambalang, kasus daging impor, dll. Semua
aktornya adalah mayoritas dari kalangan oknum kader parpol yang duduk di
pemerintah, anggota parlemen sampai pemimpin di tingkat daerah.
Politik Transaksional
Fenomena diatas
menunjukkan bahwa tidak bekerjanya demokrasi diakibatkan oleh konspirasi yang
berbasis politik transaksional dan mengarah pada perilaku korupstif. Sebuah
realitas politik yang mempertukarkan kekuasaan dengan posisi-posisi yang dapat
menguntungkan dan memuluskan kebijakkan-kebijakkan tertentu hanya demi
kepentingan pribadi dan kelompok tertentu (at the expense of the general
will).
Apalagi menjelang pemilu
2014, politik transaksional marak terjadi baik di tubuh parpol maupun di
institusi negara. Memang secara konstitusional, parpol ditempatkan sebagai
peserta dalam suatu pemilu untuk memilih anggota legislatif (Pasal 22E UUD
1945). Dengan kata lain, tanpa parpol mustahil seseorang dapat menjadi anggota
legislatif yang juga tergabung dalam “fraksi” yang merupakan representasi dari
eksistensi parpol di DPR. Selanjutnya, anggota legislatif yang merupakan kader
parpol diberikan mandat konstitusional untuk mengadakan fit and proper test dalam merekrut calon pejabat publik,
setidaknya calon pejabat publik mulai dari Hakim Agung, Kapolri, pimpinan lembaga
negara sampai Gubernur Bank Indonesia yang terlebih dahulu harus lolos ujian di
lembaga legislatif. Hal itu mencerminkan pentingnya sebuah parpol dalam
demokrasi di Indonesia.
Sayangnya, fungsi
strategis parpol tersebut selama ini tidak dijalankan dengan baik. Sehingga ada
kesan yang dapat dibenarkan, bahwa anggota legislatif dalam melakukan proses
seleksi pejabat publik hanya menggunakan kekuasaannya belaka atau bahkan
dimanfaatkan oknum-oknum agar bisa menduduki jabatan-jabatan publik. Inilah konsekuensi
politik transaksional yang diperagakan parpol saat menjalankan fungsi
perekrutan politik. Pada titik inilah, pejabat publik di setiap institusi
negara rentan mengarah pada model kepemimpinan transaksional.
Penguatan Pilar-pilar
Demokrasi
Negara yang demokratis
tidak akan datang dengan sendirinya, kita patut berusaha supaya demokrasi yang
secara normatif dan ideal menjadi alat untuk mewujudkan cita-cita negara
berjalan linier dengan demokrasi empiris yang betul-betul dibangun demi
melindungi kepintangan seluruh rakyat, bukan demokrasi yang berwajah otoriter
yang dibangun atas dasar kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Dalam setiap sistem
politik yang demokratis, parpol merupakan pilar utama demokrasi yang sangat
penting untuk diperkuat derajat institusinya (the degree of
institutionalization). Tidak ada alternatif terhadap langkah-langkah
solutif, kecuali penguatan derajat parpol termasuk juga terhadap kader-kadernya
yang harus memiliki integritas dan tidak korup, perbaiki sistem kepartaian, penguatan
platform partai, kaderisasi, rekrutmen politik yang betul-betul memperhatikan
kualitas dan integritas.
Kondisi politik akan
menjadi lebih baik apabila semua pilar-pilar demokrasi kembali kepada tujuan
dan cita-cita mulianya, yaitu semua demi kepentingan rakyat. Sehingga harapan
pada pemilu 2014, dapat menghasilkan pemimpin yang betul-betul berkualitas dan
berintegritas. Pada akhirnya dapat menghadirkan sebuah negara demokratis
yang menjadi harapan seluruh rakyat.
M. Lutfi Chakim
0 comments