PESERTA PEMILU PASCA REAL COUNT
Rekapitulasi penghitungan suara pemilu legislatif barusaja usai (9/5/2014), KPU secara resmi telah mengumumkan perolehan suara (real count) dengan hasil yaitu 10 (sepuluh) partai politik mendapatkan kursi DPR karena lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan 2 (dua) partai politik yaitu PBB dan PKPI gagal mendapatkan kursi DPR karena tidak memenuhi 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional. Sementara untuk pemenang pemilu, hasil real count KPU menempatkan PDIP sebagai partai pemenang dengan memperoleh suara 18,95%.
Hasil real count KPU memang tidak jauh
berbeda dengan hasil hitung cepat (quick count) oleh
sejumlah lembaga survei yang kemudian ditanggapi berbeda oleh setiap partai,
ada yang puas dan tentu banyak juga yang tidak puas hal itu dibuktikan dengan
mengajukan gugatan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi. Namun demikian, hasil real count KPU menunjukkan bahwa
meskipun sepuluh partai mendapatkan kursi parlemen tetapi tidak ada satupun
partai yang mendapatkan tiket untuk dapat
mengajukan calon presiden dan wakil presiden secara mandiri, karena tidak ada
partai yang mampu mencapai batas minimum persentase 20% kursi DPR dan 25% suara sah secara
nasional (presidential treshold).
Realitas politk yang terjadi saat ini jelas mengindikasikan bahwa koalisi
partai merupakan pilihan politik yang sangat sulit untuk dihindari.
Kombinasi sistem presidensial
dengan sistem multipartai yang juga mendasarkan validitas segala sesuatu pada
suara mayoritas (rule
by the majority) memang mengalami
sebuah dilema besar, kombinasi sistem tersebut membuat partai politik kesulitan
memperoleh suara mayoritas. Oleh karena itu, koalisi yang sebenarnya tidak
dikenal dalam sistem presidensial menjadi sebuah kebutuhan mendasar bagi partai
politik untuk dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Sehingga menjelang pemilu presiden, buka tidak mungkin bermunculan kekhawatiran
masyarakat akan terjadinya koalisi partai yang berbasis politik transaksional.
Pinang Meminang
Konstitusi secara tegas
mensyaratkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, tidak hanya sampai
disitu, dalam UU Pilpres juga menentukan terhadap partai politik
harus lolos presidential treshold yang merupakan batas minimum perolehan
suara bagi partai politik untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden.
Berdasarkan hasil real count KPU, tidak ada satu pun partai
yang secara mandiri dapan mengusulkan calon presiden, sehingga langsung disikapi
oleh setiap elit partai yang cepat bergerak menjalin komunikasi untuk saling
meminang agar mau diajak berkoalisi. Seperti halnya pernikahan, setiap pinangan
membutuhkan mahar yang harus dibayar, jika dalam politik maka mahar itu bisa
berupa kursi atau jabatan. Apabila telah mendapatkan kesepakatan mahar yang
harus dibayar maka akad pun bisa dilaksanakan yang kemudian akan menghasilkan
pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Implikasinya, pasca
presiden terpilih maka bukan tidak mungkin presiden berpotensi akan mengabaikan
hak prerogatifnya untuk membentuk kabinet ahli (zaken kabinet),
karena tersandera untuk mempertimbangkan kepentingan partai politik dalam kabinetnya,
sehingga yang terbentuk adalah kabinet pelangi yang diisi oleh politisi yaitu
kader atau pengurus partai yang cenderung tidak profesional. Oleh karena itu,
kekhawatiran akan terjadinya dualisme loyalitas menteri yaitu selain loyal
terhadap presiden juga loyal terhadap partainya tak terhindarkan.
Fenomena tersebut
menunjukkan bahwa tidak efektifnya bangunan koalisi diakibatkan oleh konspirasi
yang berbasis politik transaksional. Sebuah realitas politik yang mempertukarkan kekuasaan dengan
posisi-posisi yang dapat menguntungkan dan memuluskan kebijakkan-kebijakkan hanya demi
kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Meritokrasi
Dalam sistem presidensial, jabatan presiden merupakan jabatan
yang strategis karena presiden selain berkedudukan sebagai kepala negara (the head of state)
juga berkedudukan sebagai kepala pemerintahan (the head of
government). Oleh karena itu, kita patut mendorong terhadap
pilar-pilar demokrasi seperti partai politik agar berusaha mengusulkan calon
presiden yang betul-betul memiliki kualitas dan integritas sehingga dapat
mewujudkan cita-cita negara.
Presiden yang baik juga tidak
akan datang jika didapatkan melalui proses pemilu yang tidak demokratis,
sehingga faktor integritas penyelenggara pemilu juga menentukan. Maka kondisi
politik akan menjadi lebih baik apabila semua pilar-pilar demokrasi kembali
kepada tujuan dan cita-cita mulianya, yaitu semua demi kepentingan rakyat.
Dalam setiap rekrutmen
pejabat publik, yang harus
dilakukan adalah segera
meninggalkan sistem aristokrasi ataupun plutokrasi yang hanya membuka pintu bagi mereka yang
memiliki garis keturunan, modal finansial, dan modal celebrity untuk diberi kesempatan maju sebagai
calon pemimpin, kemudian menegakkan sistem meritokrasi yang betul-betul memperhatikan
kualitas dan integritas sehingga menghindarkan dari praktek korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). Selain itu, penting
juga untuk memberikan larangan
bagi menteri-menteri bahkan presiden untuk tidak rangkap jabatan di partai
politik.
M. Lutfi Chakim
0 comments