SEPULUH PARTAI (HANYA) PEMEGANG TIKET PARLEMEN
Pemilu legislatif yang
dilaksanakan Rabu (9/4/2014) barusaja usai, hasil hitung cepat (quick count) yang
dilakukan oleh sejumlah lembaga survei menghasilkan 10 (sepuluh) partai politik
mendapatkan tiket kursi DPR karena dianggap lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dan 2 (dua) partai
politik gagal mendapatkan kursi DPR karena tidak memenuhi 3,5% dari jumlah
suara sah secara nasional. Sementara untuk pemenang pemilu, hasil quick count menempatkan PDIP sebagai partai
pemenang dengan memperoleh suara pada tataran 19%.
Hal itu menunjukkan bahwa
meskipun sepuluh partai politik memegang tiket parlemen tetapi tidak ada satupun
yang mendapatkan tiket untuk dapat
mengajukan calon presiden dan wakil presiden secara mandiri, karena tidak ada
partai yang mampu mencapai batas minimum persentase 20% kursi DPR dan 25% suara sah secara
nasional (presidential treshold).
Realitas politk yang terjadi saat ini jelas mengindikasikan bahwa koalisi
partai merupakan pilihan politik yang sangat sulit untuk dihindari.
Kombinasi sistem
presidensial dengan sistem multipartai yang juga mendasarkan validitas segala
sesuatu pada suara mayoritas (rule by the majority)
memang mengalami sebuah dilema
besar, kombinasi sistem tersebut membuat partai politik kesulitan memperoleh suara
mayoritas. Oleh karena itu, koalisi yang sebenarnya tidak dikenal dalam sistem
presidensial menjadi sebuah kebutuhan mendasar bagi partai politik untuk dapat
mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Sehingga menjelang
pemilu presiden, buka tidak mungkin akan bermunculan kekhawatiran masyarakat
tentang terjadinya koalisi partai yang
berbasis politik transaksional.
Pinang Meminang
Konstitusi secara tegas
mensyaratkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu, tidak hanya sampai
disitu dalam UU Pilpres juga menentukan terhadap partai politik
harus lolos presidential treshold yang merupakan batas minimum perolehan
suara bagi partai politik untuk dapat mengajukan calon presiden dan wakil
presiden.
Hasil quick count yang menempatkan PDIP hanya memperoleh
suara pada tataran 19% terlihat langsung disikapi oleh elit partai yang cepat
bergerak menjalin komunikasi dengan partai lain untuk meminang supaya mau
diajak berkoalisi. Meskipun PDIP tidak mau menggunakan istilah “koalisi” tetapi
lebih senang menggunakan istilah “kerjasama politik”, karena menganggap
“koalisi” itu berkonotasi negatif, yaitu bagi-bagi kursi atau jabatan.
Sebenarnya kedua istilah tersebut memiliki esensi yang sama, jika merujuk
terhadap Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) istilah “koalisi” diartikan
sebagai kerja sama antara beberapa partai.
Melihat perolehan suara
seluruh partai saat ini, mayoritas lembaga survey dan pengamat politik
memprediksi akan ada tiga poros koalisi di pilpres 2014. Partai papan atas yang
menguasai tiga besar berpotensi memimpin koalisi yaitu PDIP, Golkar, dan
Gerindra yang masing-masing akan berusaha meminang partai papan tengah yang
terlihat seksi dan tentunya memiliki kesepahaman ideologi dan platform. Seperti
halnya pernikahan, setiap pinangan maka membutuhkan mahar yang harus dibayar,
jika dalam politik maka mahar itu bisa berupa kursi atau jabatan. Apabila telah
mendapatkan kesepakatan mahar yang harus dibayar maka akad pun bisa
dilaksanakan yang kemudian menghasilkan pasangan calon presiden dan wakil
presiden.
Fenomena tersebut
menunjukkan bahwa tidak efektifnya koalisi diakibatkan oleh konspirasi yang
berbasis politik transaksional. Sebuah realitas politik yang mempertukarkan kekuasaan dengan
posisi-posisi yang dapat menguntungkan dan memuluskan kebijakkan-kebijakkan hanya demi
kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Meritokrasi
Presiden yang baik tidak
akan datang jika didapatkan melalui pemilu yang tidak demokratis, kita patut
mendorong terhadap pilar-pilar demokrasi seperti partai politik agar berusaha
mengusulkan calon presiden yang betul-betul memiliki kualitas dan integritas
sehingga dapat mewujudkan cita-cita negara, bukan kandidat yang hanya
mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu.
Dalam sistem presidensial
jabatan presiden merupakan jabatan yang strategis, karena presiden selain
berkedudukan sebagai kepala negara (the head of state)
juga berkedudukan sebagai kepala pemerintahan (the head of
government). Sebagai kepala pemerintahan, maka dalam menjalankan tugasnya
sehari-hari presiden dibantu oleh menteri-menteri yang diangkat dan
diberhentikan oleh presiden yang merupakan hak prerogatifnya. Namun akibat
adanya koalisi, presiden berpotensi mengabaikan hak prerogatifnya tersebut
karena tersandera untuk mempertimbangkan partai politik dalam kabinetnya,
sehingga yang terbentuk adalah kabinet pelangi karena diisi oleh politisi yaitu
kader atau pengurus partai yang cenderung tidak profesional, bukan kabinet ahli
(zaken kabinet) yang betul-betul memiliki
prestasi dan kemampuan. Implikasinya, kekhawatiran akan terjadinya dualisme
loyalitas menteri yaitu selain loyal terhadap presiden juga loyal terhadap
partainya tak terhindarkan.
Dalam setiap rekrutmen
pejabat publik, tidak ada alternatif terhadap langkah-langkah solutif, kecuali
segera meninggalkan sistem aristokrasi ataupun plutokrasi yang hanya membuka pintu bagi mereka yang
memiliki garis keturunan, modal finansial, dan modal celebrity untuk diberi kesempatan maju sebagai
calon pemimpin, kemudian yang perlu dilakukan adalah menegakkan sistem
meritokrasi yang betul-betul
memperhatikan kualitas dan integritas sehingga menghindarkan dari praktek
Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Selain itu, penting juga untuk memberikan larangan bagi
menteri-menteri bahkan presiden untuk tidak rangkap jabatan di partai politik.
M. Lutfi Chakim
0 comments