INSOLVENCY
Tulisan berikut dipublikasikan di Majalah Konstitusi - Mahkamah Konstitusi No. 110 - April 2016, selengkapnya dapat dibaca dan di download disini!
Kepailitan adalah
keadaan dimana debitor memiliki kesulitan keuangan untuk membayar
utang-utangnya kepada kreditor. Dalam
hukum kepailitan (bankruptcy law), debitor dapat dinyatakan pailit
apabila debitor berada dalam keadaan insolven atau tidak mampu membayar karena
alasan tertentu, baik disebabkan karena adanya krisis ekonomi (economic crisis) maupun krisis keuangan (financial crisis)
yang dialami debitor untuk membayar seluruh utang-utangnya, maka dengan adanya
keadaan tersebut kepentingan kreditor secara keseluruhan harus dilindungi.
Penyelesaian masalah insolvency
diharapkan dapat memberikan perlindungan dan rasa keadilan bagi para pihak,
baik terhadap kreditor maupun debitor, oleh karena insolvency merupakan tahap dimana akan
menentukan nasib debitor pailit, apabila debitor sudah dinyatakan insolvency,
maka debitor sudah benar-benar dalam keadaan pailit.
Pengertian insolvency
menurut Friedman sebagaimana dikutip oleh Munir Fuady dalam Hukum Pailit
dalam Teori dan Praktek (1999) yaitu, ketidaksanggupan untuk memenuhi
kewajiban finansial ketika jatuh waktu seperti layaknya dalam bisnis, atau kelebihan
kewajiban dibandingkan dengan asetnya dalam waktu tertentu. Sedangkan dalam peraturan
perundang-undangan, pengertian insolvency
dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 57 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang
menyatakan, yang dimaksud dengan “insolvensi” adalah keadaan tidak mampu
membayar.
Undang-Undang Nomor
37 Tahun 2004 sama sekali tidak memasukkan insolvency
sebagai persyaratan agar debitor dapat diputuskan pailit. Adapun syarat
kepailitan diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang
menyatakan, “Debitor yang mempunyai dua
atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan,
baik atas permohonan sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Menurut Hikmanto
Juwana dalam Hukum Sebagai Instrumen
Politik (2004) menyatakan, untuk mempailitkan debitor Undang-Undang Nomor
37 tahun 2004 tidak mensyaratkan agar debitor berada dalam keadaan insolvensi.
Hal ini tentu melindungi kepentingan kreditor, tidak diterapkannya insolvency test mengakibatkan perusahaan
di Indonesia bangkrut secara hukum. Padahal dalam kondisi ekonomi Indonesia
saat ini bila persyaratan insolvensi diterapkan maka akan sulit membuat debitor
di Indonesia dinyatakan pailit. Logikanya dapat dilihat pada krisis moneter
sebenarnya tidak membuat debitor Indonesia dalam keadaan Insolvensi karena
kehilangan pangsa pasar (Market Share)
atau pendapatan dalam bentuk rupiah. Krisis moneter menyebabkan debitor tidak
lagi mampu membayar utang karena adanya perbedaan kurs yang mengakibatkan utang
dalam mata uang asing tidak terbayarkan dengan pendapatan dalam mata uang
rupiah.
Namun berbeda dalam
konteks hukum kepailitan di negara-negara common law system, keadaaan insolvensi
debitor biasanya menggunakan pendekatan cash flow test atau pratical
insolvency. Cash flow adalah pendekatan yang melihat solvabilitas
debitor diukur dengan fakta apakah debitor membayar utangnya atau tidak. Jika
ternyata debitor membayar utangnya yang telah jatuh tempo, hal ini
mengindikasikan debitor ada dalam keadaan mampu membayar atau solven. (J.B. Huizink, Insolventie, dikutip
dari Tesis Habiba Hanum, Analisis
terhadap Ketentuan Insolvensi dalam Hukum Kepailitan, Universitas Sumatera
Utara, 2007)
Oleh karena itu,
akibat tidak dimasukkannya syarat
insolvency dalam Undang-Undang Kepailitan berakibat banyaknya perusahaan di
Indonesia yang dapat dikategorikan masih dalam keadaan solven (mampu membayar utang-utangnya) dan harus diputus pailit
oleh Pengadilan Niaga, sebagaimana yang dialami oleh PT Telekomunikasi Seluler
(PT Telkomsel) yang diputus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas
permohonan pailit dari PT Prima Jaya Informatika (PT PJI).
Dalam Putusan No. 48/Pailit/2012/Pn.Niaga.Jkt.Pst, majelis hakim
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan permohonan PT PJI dan menjatuhkan
putusan pailit kepada PT Telkomsel,
dengan pertimbangan yang pada pokoknya menyatakan bahwa PT Telkomsel telah
memenuhi syarat pailit sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004. Putusan Pengadilan Niaga tersebut dinilai mengandung hal-hal yang kontroversial dan dapat
dikatakan tidak sesuai dengan asas dan prinsip hukum kepailitan, kemudian
PT Telkomsel mengajukan upaya hukum
kasasi ke Mahkamah Agung, pada 21
November 2012, Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan No.704 K/Pdt.Sus/2012 yang
menyatakan Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi PT Telkomsel dan
membatalkan keputusan pengadilan niaga Jakarta Pusat.
Kasus-kasus
kepailitan yang menimpa terhadap perusahaan di Indonesia memang didasari oleh syarat
kepailitan yang terlalu sederhana dengan hanya cukup adanya dua kreditor dan
adanya utang yang telah jatuh tempo, sehingga dinilai menimbulkan suatu masalah,
apalagi tidak adanya insolvency test dalam Undang-Undang Kepailitan
jelas menunjukkan bahwa hukum kepailitan lebih melindungi kepentingan kreditor
dibandingkan debitor. Oleh karena itu, sebagai langkah awal untuk membuktikan
apakah debitor benar-benar dalam keadaan solven atau tidak, maka kedepan insolvensi test perlu dimasukkan dalam Perubahan
Undang-Undang Kepailitan, konsep insolvency
juga harus jelas dan selaras dengan perkembangan pengaturan kepailitan di
banyak negara di dunia.
M Lutfi Chakim
0 comments