PSEUDOWETGEVING
Tulisan berikut ini telah dipublikasikan di rubrik kamus hukum, Majalah Konstitusi edisi Juni 2016
Peraturan perundang-undangan merupakan bagian
atau subsistem dari negara hukum. Oleh karena itu, latar belakang
dikeluarkannya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah didasarkan
pada pemikiran bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara
hukum, segala aspek kehidupan dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan termasuk pemerintahan harus berdasarkan atas hukum.
Adapun tata urutan Peraturan Perundang-undangan diatur
dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang menyatakan, “Jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri atas: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,
Peraturan Daerah Provinsi, dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.”
Peraturan Perundang-undangan tersebut dibentuk atau
ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang. Disamping itu dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah atau pejabat administrasi negara juga
dapat menetapkan kebijakan dalam bentuk peraturan kebijakan yang bersifat bebas
berdasarkan pada prinsip kebebasan bertindak (freies ermessen).
Peraturan kebijakan tersebut merupakan suatu
kebutuhan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. Di
Belanda, peraturan kebijakan dianggap sebagi instrumen penting didalam hukum
administrasi Belanda yang ditandai dengan sebutan pseudowetgeving atau
legislasi semu. Menurut Bagir Manan dan Kuntana
Magnar dalam buku Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia (1997)
menyatakan, bahwa dalam kepustakaan Belanda, ada berbagai istilah yang
dipergunakan untuk menunjukkan eksistensi peraturan kebijakan, antara lain pseudowetgeving,
spiegelrecht, dan beleidsregel.
Menurut Kamus Hukum Bahasa Belanda, istilah
legislasi semu (pseudowetgeving)
diartikan sebagai, “regelstelling door een betrokken
bestuursorgaan zonder dat dit op grond van een uitdrukkelijke wettelijke
bepaling die bevoegdheid bezit” atau jika diartikan ke dalam
Bahasa Indonesia yaitu, “Perundang-undangan
semu adalah tata aturan oleh organ pemerintahan yang terkait tanpa memiliki dasar ketentuan undang-undang yang
secara tegas memberikan kewenangan kepada
organ tersebut.” (Andreae’s Fockema, Juridisch Woordenboek, (Tjeenk
Willink, 1985), sebagaimana dikutip oleh Zafrullah Salim dalam artikel Legislasi
Semu (Pseudowetgeving), 10 Mei
2011).
Sejalan dengan pengertian
tersebut, menurut Henry Arianto dalam Modul 1 Hukum Administrasi Negara (Universitas Esa Unggul, 2013) menyatakan, legislasi semu (pseudowetgeving) yaitu merupakan penciptaan dari aturan-aturan
hukum dari pejabat administrasi negara yang berwenang yang dimaksudkan sebagai
garis-garis pedoman (richtlijnen)
pelaksanaan policy (kebijakasanaan)
untuk mejalankan suatu ketentuan undang-undang. Sehingga timbullah semacam “hukum
bayangan” (spiegelrecht) yang
membayangi undang-undang atau hukum yang bersangkutan. Legislasi semu ini
berasal dari diskresi atau freies
ermessen yang dipunyai oleh administrasi negara, yang pada umumnya dipakai
untuk menetapkan policy pelaksanaan ketentuan
undang-undang. Legislasi semu bukan hukum, hanya merupakan garis-garis pedoman
intern. Namun, itu merupakan perbuatan hukum, sehingga tidak boleh melanggar
asas-asas hukum, terutama persamaan hukum (gelijkheidsbeginsel)
dan asas kepastian hukum (rechtszekerheidsbeginsel).
Sedangkan menurut Jimly Asshidqie dalam buku Perihal
Undang-Undang (2006) menyatakan, bentuk peraturan kebijakan ini memang
dapat juga disebut peraturan, tetapi dasarnya hanya bertumpu pada aspek “doelmatigheid‟
dalam rangka prinsip “freies ermessen” atau “beoordelingsvrijheid”,
yaitu prinsip kebebasan bertindak yang diberikan kepada pemerintah untuk
mencapai tujuan pemerintahan yang dibenarkan menurut hukum. Bentuk peraturan
seperti ini biasa disebut sebagai “policy rules” atau “beleidsregel”
yang merupakan bentuk peraturan kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk
peraturan perundang-undangan yang biasa. Misalnya, Instruksi Presiden,
surat-surat edaran yang berisi kebijakan tertentu, rancangan-rancangan program,
kerangka acuan proyek, “action plan” yang tertulis, dan sebagainya
adalah contoh-contoh mengenai apa yang disebut sebagai “policy rules”
yang bukan merupakan peraturan perundang-undangan.
Dalam praktek, tidak ada suatu format baku
yang digunakan dalam pembentukan legislasi semu, pada umumnya format dan nomenklatur yang dipakai untuk legislasi semu berbeda
dengan Peraturan Perundang-undangan, sebagai contoh
legislasi semu diberi format atau bentuk misalnya,1) Surat
Edaran (SE); 2) Petunjuk Pelaksana; 3) Petunjuk Operasional atau Petunjuuk Teknis; 4) Instruksi;
5) Pengumuman,
dll.
Oleh karena peraturan kebijakan tidak dapat dikategorikan
sebagai bentuk peraturan perundang-undangan sebagimana diatur dalam
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, maka salah satu ciri-ciri peraturan
kebijakan adalah peraturan kebijakan tidak dapat dilakukan uji materiil (wetmatigheid),
karena memang tidak ada Peraturan Perundang-undangan yang menjadi dasar dalam
pembuatan peraturan kebijakan tersebut. Akan tetapi, pengujian terhadap suatu peraturan
kebijakan lebih ditekankan pada batu uji yaitu terhadap asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
Namun demikian, meskipun pemerintah atau pejabat
administrasi negara diberikan kewenangan untuk mengeluarkan peraturan kebijakan
yang didasarkan pada prinsip kebebasan bertindak (freies ermessen), namun tidaklah berarti kewenangan tersebut dapat digunakan secara
sewenang-wenang (detournement de pouvoir) atau dilakukan secara
melawan hukum (onrechtmatige overheidsdaad).
0 comments