DEFAMATION
Tulisan berikut telah dipublikasikan di Majalah Konstitusi No. 114 Agustus 2016
Kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat adalah
salah satu hak asasi manusia yang sangat fundamental dan dijamin dalam sebuah
negara hukum yang demokratis (democratische
rechtsstaat). Disatu sisi hak tersebut masuk dalam kategori hak dasar yang
dijamin oleh konstitusi, disisi lain negara juga menjamin dan memberikan
perlindungan terhadap hak individu atas kehormatan atau reputasi (right to honour or reputation).
Oleh karenanya kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat tidak boleh
merugikan reputasi dan kehormatan orang lain melalui tindakan pencemaran nama
baik dan/atau penghinaan (defamation).
Pengertian
perbuatan pencemaran nama baik dan/atau penghinaan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 perkara Pengujian Undang-Undang Nomor
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terhadap UUD 1945 menyatakan, “bahwa perbuatan menghina atau mencemarkan
nama baik orang lain, adalah tindakan yang bertentangan dengan perlindungan
kehormatan dan martabat manusia, tindakan semacam itu merendahkan derajat dan
martabat manusia. Manusia yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia takkan
melakukan penghinaan dan pencemaran nama baik terhadap sesamanya”.
Di Indonesia, pengaturan terkait defamation sesunggunya
telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan beberapa
Undang-Undang lain yang juga memuat ketentuan penghinaan dalam beberapa
pasalnya. Dalam KUHP, ketentuan mengenai penghinaan diatur
dalam Bab XVI tentang Penghinaan yang
termuat dalam Pasal 310 s.d 321
KUHP. Menurut R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya
lengkap pasal demi pasal (1981) menyatakan, “Pasal 310 KUHP ini, oleh pembentuk
undang-undang dimasukkan dalam Bab XVI buku II KUHP yang secara umum membahas
mengenai “penghinaan” (beleediging).
Penghinaan “smaad” dalam Pasal 310
KUHP. Semua penghinaan ini, hanya bisa dituntut apabila ada pengaduan dari
orang yang menderita (disebut delik aduan). Obyek penghinaan disini adalah
perorangan, bukan instansi, organisasi, perkumpulan, segolongan penduduk, dan
sebagainya.
Disamping itu, terdapat
Undang-Undang lain yang juga mengatur terkait larangan melakukan tindakan penghinaan
dan/atau pencemaran nama baik, diantaranya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran dan Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Tidak hanya dalam hukum
pidana, pengaturan terkait penghinaan juga terdapat dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPerdata), sebagaiamana diatur dalam Bab III tentang Perikatan
yang Lahir Karena Undang-Undang termuat dalam Pasal 1365 KUHPerdata, sementara
ketentuan Penghinaan secara spesifik diatur dalam Pasal 1372 s.d Pasal 1380
KUHPerdata.
Dalam praktiknya, ketentuan
mengenai defamation dalam hukum
pidana nasional diatas masih dianggap sebagai momok bagi kebebasan berpendapat
dan berekspresi, sebagai contoh melalui UU No. 11 Tahun 2008 tentang ITE para
aktivis masyarakat sipil (civil
society) bahkan juga masyarakat umum ketika menyampaikan kritik
atau masukan terkait kebijakan pemerintah juga kerap kali dituduh melakukan
pencemaran nama baik sebagai akibat dari ekpresi mereka di internet khususnya
melalui media sosial.
Padahal ketentuan terkait penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden
sebagaimana diatur dalam Pasal 134, 136 Bis, dan 137 KUHP
sudah dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat atau telah dibatalkan melalui
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi dalam
pertimbangan hukumnya pada pokoknya menyatakan, “bahwa Pasal 134, Pasal 136 bis, dan
Pasal 137 KUHPidana bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) karena amat rentan
pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan
kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden. Hal dimaksud
secara konstitusional bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 dan pada
suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi, yang
dijamin Pasal 28F UUD 1945. Bahwa
Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana berpeluang pula menghambat
hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap
tatkala ketiga pasal pidana dimaksud selalu digunakan aparat hukum terhadap
momentum-momentum unjuk rasa di lapangan. Hal dimaksud secara konstitusional
bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E Ayat (2), dan Ayat (3) UUD 1945.”
Eksistensi penghinaan dalam
hukum pidana telah menjadi sorotan khusus, karena keberadaannya sering
dijadikan benteng pertahanan oleh pemerintah di negara manapun atas kritik dan
protes dari warga negaranya masing-masing sekaligus senjata yang efektif untuk
membungkam pendapat-pendapat tajam terhadap para penguasa. Tidak heran jika
kritik atas penggunaan penghinaan dalam hukum pidana tidak hanya datang dari
kelompok organisasi masyarakat sipil namun juga dari berbagai organisasi
internasional. (Supriyadi Widodo
Eddyono dan Erasmus A. T. Napitupulu dalam policy paper ICJR yang berjudul Penghinaan
dalam Rancangan KUHP 2013: Ancaman Lama bagi Kebebasan Berekspresi, 2014)
Terlepas dari persoalan
diatas, pada dasarnya konstitusi telah memberikan jaminan kepada setiap warga
negara atas hak untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi (Pasal 28F), kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (Pasal
28E ayat (3) UUD 1945), disamping itu konstitusi juga menjamin hak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda (28G
ayat (1) UUD 1945). Dengan demikian, jaminan atas kebebasan berbicara,
menyampaikan pendapat, dan kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi
sebagai hak konstitusional (constitutional rights) warga negara tidak
boleh dilakukan apabila hal itu dapat merugikan hak-hak dasar (basic rights)
akan perlindungan terhadap harkat, martabat, dan nama baik orang lain.
M. LUTFI CHAKIM
0 comments