AMBTELIJK BEVEL
Tulisan berikut dipublikasikan di Majalah Konstitusi - Mahkamah Konstitusi No. 118 Desember 2016
Perbuatan
pidana tidak selalu berakhir dengan pemidanaan apabila dalam proses persidangan
terbukti memenuhi alasan-alasan yang dapat menghapuskan pidana
sebagaimana dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), di antaranya
pertama, alasan pembenar (rechtvaardigingsgrond)
yang meliputi keadaan darurat atau noodtoestand (Pasal 48 KUHP), pembelaan
terpaksa atau noodweer (Pasal 49 ayat (1) KUHP), melaksanakan ketentuan Undang-Undang
(Pasal
50 KUHP), dan menjalankan
perintah jabatan atau ambtelijk
bevel (Pasal 51 KUHP). Kedua, adanya alasan
pemaaf (schulduitsluitingsgrond) yang meliputi tidak mampu bertanggungjawab (Pasal 44 KUHP) dan daya paksa atau
overmacht (Pasal 48 KUHP).
Salah satu alasan yang dapat menghapus sanksi pidana
yaitu adanya perintah jabatan (ambtelijk bevel) yang hal itu termasuk
bagian dari alasan pembenar. Pengertian perintah jabatan menurut P.A.F Lamintang dalam buku Dasar-Dasar Hukum
Pidana Indonesia (1984: 500)
menyatakan, “perintah jabatan adalah sebagai suatu perintah yang telah
diberikan oleh seorang atasan, dimana kewenangan untuk memerintah semacam itu
bersumber pada suatu ambtelijke
positie atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang
memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah”.
Sedangkan dalam Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia, ketentuan mengenai perintah jabatan diatur dalam Pasal 51 KUHP, pada
ayat (1) menyebutkan, “barang siapa
melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh
penguasa yang berwenang, tidak dipidana.” Sedangkan ayat (2) menyatakan, “perintah jabatan tanpa wewenang tidak
menyebabkan hapusnya pidana kecuali jika yang diperintah, dengan iktikad baik
mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk
dalam lingkungan pekerjaannya.”
Ketentuan diatas menunjukkan bahwa terhadap perintah
jabatan yang diatur dalam Pasal 51 ayat (1) mengandung makna bahwa perbuatan untuk
melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang adalah
dibenarkan, karena hal itu merupakan alasan yang dapat menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan,
kalau di common law system berkaitan dengan actus
reus. Selain itu,
dalam Pasal 51 ayat (1) tersebut di atas juga terdapat frasa
“perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang
berwenang”, dalam hal ini menegaskan bahwa penerima dan
pelaksana perintah harus mengetahui bahwa perintah yang diterima adalah benar-benar
diberikan oleh pejabat yang berwenang (l’autorite legitime) dan perintah
itu termasuk lingkup wewenang pejabat dimaksud.
Sedangkan
pada Pasal 51 ayat (2) mengandung makna bahwa perbuatan untuk melaksanakan
perintah jabatan tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi
orang yang diperintah tidak dapat dikenakan pidana karena tidak ada kesalahan dalam
dirinya atau berhubungan
dengan culpabilitas, di common law system berkaitan
dengan mens rea. Namun
demikian, pada Pasal 51 ayat (2) juga memberikan syarat bahwa suatu
perintah jabatan yang tanpa wewenang atau suatu perintah jabatan yang tidak sah
pada dasarnya tidak dapat melepaskan orang yang diperintah lolos dari ancaman pidana,
kecuali jika
orang yang diperintah, dengan iktikad baik mengira bahwa perintah diberikan
dengan wewenang dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.
Menganai hal tersebut, menurut
Jan Remmelink dalam buku Hukum Pidana
(2003: 255) menyatakan, bahwa suatu perintah yang diberikan secara tidak sah
tidak meniadakan sifat dapat dipidananya perbuatan, demikian bunyi bagian
pertama ayat kedua Pasal 43 Sr. (Pasal 51 KUHP). Ini sudah semestinya apa yang
melawan hukum tidak berubah menjadi sejalan dengan hukum sekedar karena dilakukan
atas dasar suatu perintah.
Dalam praktik penegakan hukum kasus tindak pidana korupsi, ketika
masuk proses persidangan kerap kali Pasal 51 KUHP dijadikan dalih oleh
Terdakwa agar lolos dari jerat pidana dengan argumentasi melaksanakan perintah
jabatan atau melaksanakan perintah atasan, sehingga dengan alasan tersebut seringkali para terdakwa kasus korupsi lepas dari jeratan
hukum.
Pada
dasarnya latar belakang adanya pengaturan mengenai alasan pembenar dan alasan
pemaaf sebagai dasar penghapusan pidana sebagaimana diatur dalam KUHP adalah
untuk menghindari kemungkinan peluang akan penjatuhan pidana yang tidak adil,
atau dengan kata lain dijatuhkannya pidana terhadap orang yang tidak bersalah. Namun
demikian, dalam peradilan pidana hal yang paling diutamakan adalah seseorang
tidak dapat dihukum jika tidak memiliki kesalahan (Geen Straf Zonder Schuld) yang
hal itu semata-mata bertujuan untuk menemukan kebenaran materiil.
M LUTFI CHAKIM
0 comments