JURE IMPERII DAN JURE GESTIONIS
Tulisan tentang "jure imperii dan jure gestionis" berikut telah dipublikasikan di Majalah Konstitusi - Mahkamah Konstitusi Nomor 120 Februari 2017
***
Negara berdaulat (state
sovereignty) adalah negara yang merdeka dan tidak berada di bawah kekuasaan
negara lain, dalam arti setiap negara berdaulat memiliki kedudukan yang sederajat
di mata hukum internasional (equality of states), hal ini menimbulkan
implikasi bahwa setiap negara yang berdaulat memiliki suatu imunitas yang
membuatnya tidak dapat digugat dan diadili dihadapan badan pengadilan negara
lain, atau dikenal dengan istilah “par in parem non habet imperium”. Berdasarkan
hal tersebut, maka lahirnya imunitas negara dipengaruhi oleh adanya kedaulatan
negara dan kesetaraan kedudukan antar negara.
Adapun
dalam penerapan imunitas negara, dikenal 2 (dua) prinsip, pertama, imunitas negara mutlak (absolute
sovereign immunity), yaitu tidak ada alasan dan upaya apapun untuk dapat
membawa sebuah negara ke hadapan pengadilan negara lain, karena setiap negara
memiliki kedaulatan terhadap wilayahnya masing-masing dan negara-negara lain
harus menghormati kedaulatan tersebut. Kedua,
imunitas negara relatif (restrictive sovereign immunity), yaitu merupakan
hasil perkembangan dari prinsip imunitas negara mutlak, dimana dalam penerepan imunitas
negara relatif dibatasi dengan kriteria yang didasarkan terhadap tindakan yang
dilakukan oleh negara, yaitu tindakan negara yang berkaitan dengan pemerintahan
(jure imperii) dan tindakan negara
yang berkaitan dengan keperdataan (jure
gestionis).
Tindakan negara yang berkaitan dengan
pemerintahan atau jure imperii adalah tindakan resmi suatu negara
di bidang publik dalam kapasitasnya sebagai suatu negara yang berdaulat. International Court of Justice pernah
menggunakan prinsip jure
imperii sebagai dasar
dalam menyelesaikan kasus
Jerman lawan Italia (Jurisdictional
Immunities of the State, Germany v. Italy: Greece intervening), kasus
tersebut bermula ketika seorang warga negara Italia bernama Luigi Ferrini
mengajukan gugatan kepada pengadilan nasional Italia terhadap negara Jerman
atas pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dialami oleh Ferrini semasa Perang
Dunia ke dua II dalam kurun waktu September 1943 sampai dengan Mei 1945.
Kemudian, pada tanggal 3
Februari 2012, International Court of Justice mengeluarkan putusan yang pada
pokoknya menyatakan bahwa tidak ada konflik yang dapat menyebabkan imunitas
negara dikesampingkan oleh prinsip dasar
hukum internasional yang diakui oleh komunitas internasional sebagai norma yang
tidak boleh dilanggar (jus cogens), karena kedua aturan hukum
internasional tersebut membicarakan hal yang berbeda. Kasus tersebut kemudian menjadi
salah satu dasar penerapan prinsip jure
imperii.
Sedangkan mengenai tindakan negara jure gestionis, yaitu tindakan negara yang berkaitan dengan hukum perdata atau
tindakan yang berhubungan dengan hal–hal komersil (private law or acts of commercial) yang dapat dianggap sebagai layaknya
perdagangan pada umumnya. Oleh karena itu, apabila ada sengketa yang
ditimbulkan dari akibat tindakan tersebut, maka negara dapat digugat melalui upaya
hukum di badan peradilan. Oleh karena menyangkut tindakan negara yang sifatnya
keperdataan atau jure gestionis, maka negara tidak dapat diberikan imunitas.
Amerika Serikat merupakan negara
pertama yang menerapkan prinsip jure gestionis, sebagaimana tercantum dalam pertimbangan putusan Suprame Court of United States pada kasus The
Schooner Exchange v.
Mcfaddon (Schooner Exchange) yang terjadi pada tahun 1812, kasus tersebut
bermula dari gugatan dua Warga Negara Amerika bernama John McFaddon dan William
Greetham yang mengklaim sebagai pemilik asli The Schooner Exchange, sebuah kapal yang
disita atas perintah Napoleon (kemudian menjadi Kaisar Perancis). Kapal ini
kemudian dijadikan sebagai kapal perang dan diganti namanya menjadi Balau. Di
dalam petitumnya, penggugat meminta supaya The Schooner Exchange dikembalikan kepada
mereka yang mengaku sebagai pemilik. (The Schooner
Exchange v. Mcfaddon, Supreme Court of the United States, 11 U.S. 116, 1812)
Hakim J. Marshall dari Suprame Court
of United States memutuskan yang pada pokoknya menyatakan bahwa yurisdiksi
suatu negara di dalam wilayahnya sendiri bersifat eksklusif dan mutlak, tetapi
tidak mencakup negara asing (foreign sovereign), sebagaimana dinyatakan bahwa, “This full and absolute territorial jurisdiction being alike the
attribute of every sovereign, and being incapable of conferring
extra-territorial power, would not seem to contemplate foreign sovereigns nor
their sovereigns rights as its objects”.
Adanya kasus-kasus di atas telah memberikan
sumbangan yang sangat signifikan bagi perkembangan hukum internasional terutama
berkaitan dengan imunitas negara. Saat ini banyak negara mulai menganut prinsip
imunitas negara relatif atau restrictive
sovereign immunity yang mengakui dan memberikan imunitas apabila
menyangkut kegiatan pemerintahan, tetapi apabila negara melakukan kegiatan keperdataan
atau komersil, maka imunitas tersebut tidak diakui dan tidak dapat diberikan.
Dengan demikian, praktik negara-negara
dengan jelas telah menunjukkan bahwa imunitas negara absolut atau absolute
sovereign immunity tidak lagi diterapkan dalam hukum internasional. Kemudian,
untuk menentukan apakah suatu negara memiliki imunitas adalah dengan menentukan
ruang lingkup tindakannya sebagai jure
imperii dan jure gestionis. Disamping itu, terhadap negara-negara yang melakukan pelanggaran juga sudah dapat
dilakukan penegakan hukum internasional melalui pengadilan di tingkat
internasional, misalnya Mahkamah Internasional sesuai ketentuan yang berlaku
dalam hukum internasional.
M LUTFI CHAKIM
0 comments