LEGAL STANDING WARGA NEGARA ASING DI MAHKAMAH KONSTITUSI JERMAN DAN MONGOLIA
Artikel terbaru saya tentang, "Legal Standing Warga Negara Asing di Mahkamah Konstitusi Jerman dan Mongolia" telah terbit di Rubrik Cakrawala Majalah Konstitusi edisi No. 125 Juli 2017.
M LUTFI CHAKIM
Access to justice merupakan salah satu bentuk perlindungan hukum yang diberikan kepada warga negara yang menghadapi masalah di peradilan. Salah satu bentuk penerapan access to justice adalah dengan memberikan kedudukan hukum (legal standing) bagi setiap warga negara untuk mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) akibat hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sebuah undang-undang.
Menurut Black’s Law Dictionary Ninth Edition (2009), legal standing diartikan sebagai, “A party’s right to make a legal claim or seek judicial enforcement of a dutybor right.” Pada intinya yaitu hak untuk mengajukan permohonan di depan pengadilan (standing to sue) dan untuk mendapatkan putusan pengadilan. Namun demikian, tidak semua perorangan dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi Pemohon, hal itu terlebih dahulu harus memenuhi legal standing sebagai syarat formal yang ditentukan dalam undang-undang dan syarat materiil yaitu berupa adanya kerugian hak konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujiannya.
Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, ketentuan mengenai legal standing terdapat perbedaan kualifikasi, tidak semua negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi memberikan legal standing bagi warga negara asli, namun terdapat beberapa negara yang juga mengatur bahwa warga negara asing (WNA) dapat menjadi Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi, antara lain Mahkamah Konstitusi di Negara Georgia, Republik Ceko, Mongolia, dan Jerman.
Dari beberapa negara tersebut, secara khusus akan diuraikan dua negara dimana Mahkamah Konstitusinya memberikan legal standing kepada WNA yaitu Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) dan Mahkamah Konstitusi Mongolia (Constitutional Tsets). Praktik di kedua negara tersebut menentukan bahwa WNA yang memiliki kepentingan hukum atau haknya dirugikan akibat berlakunya undang-undang dapat memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi, dalam arti kerugian konstitusional tidak hanya dapat dimiliki oleh warga negara asli melainkan constitusional loss juga dapat dialami oleh warga negara asing.
Legal Standing WNA di Mahkamah Konstitusi Jerman
Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman (Bundesverfassungsgericht) dibentuk bersamaan dengan ditetapkannya Basic Law for the Federal Republic of Germany dan diberikan kewenangan besar meliputi semua persoalan konstitusional di negara Jerman. Sehingga lembaga tersebut diharapkan dapat menjadi garda terdepan dalam menjalankan fungsinya sebagai the guardian of the constitution dan the sole interpreter of the constitution, sekaligus juga sebagai the guardian of human rights.
Organisasi Bundesverfassungsgericht terdiri dari 16 hakim, dalam Basic Law for the Federal Republic of Germany, Article 2 (2) menentukan bahwa delapan hakim mengisi Senat pertama dan delapan hakim mengisi Senat lainnya. Kemudian dalam Article 14 (2) mengatur bahwa Senat pertama menangani persoalan yang berkaitan dengan hak dasar (basic right). Sedangkan Senat kedua menangani masalah-masalah politik (political senate), artinya senat kedua menanangani sengketa konstitusional (constitutional review) dan menguji undang-undang secara abstrak.
Adapun kewenangan Bundesverfassungsgericht diatur dalam Article 93 Basic Law for the Federal Republic of Germany dengan kewengan yang sangat besar, salah satu kewenagan yang dimiliki oleh Bundesverfassungsgericht antara lain yaitu menguji peraturan perundang-undangan (judicial review), yang terdiri dari dua model yaitu pengujian norma hukum abstrak (asbtract norm review) dan pengujian norma hukum kongkrit (concrete judicial review/constitutional question), dan mengadili permohonan pengaduan konstitusional (constitutional complaint) sebagaimana diatur dalam Basic Law.
Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, hukum acara Bundesverfassungsgericht menentukan bahwa mengenai legal standing tidak hanya diberikan bagi warga negara asli Jerman, namun warga negara asing juga dapat menjadi Pemohon dalam perkara pengujian undang-undang di Bundesverfassungsgericht, ketentuan tersebut diatur dalam Act on the Federal Constitutional Court, Chapter 15 Procedure in the cases referred to in Article 13 no. 8a (Constitutional complaint), dalam Article 90 (1) dinyatakan, “Any person claiming a violation of one of his or her fundamental rights or one of his or her rights under Article 20(4), Articles 33, 38, 101, 103 and 104 of the Basic Law by public authority may lodge a constitutional complaint with the Federal Constitutional Court”.
Article 90 (1) Act on the Federal Constitutional Court tersebut pada pokoknya mengatur bahwa setiap orang berhak untuk mengajukan permohonan ke Bundesverfassungsgericht apabila merasa hak-hak dasarnya dirugikan atas berlakunya sebuah undang-undang, karena hak-hak dasar tidak hanya terbatas pada warga negara asli Jerman, tetapi juga menjadi hak warga negara asing.
Hal tersebut dapat dilihat dalam Putusan Bundesverfassungsgericht Jerman, bertanggal 22 Mei 2006, mengabulkan permohonan constitutional complaint (‘Verfassungsbeschwerde’) dari seorang mahasiswa asing, berkebangsaan Marokko, yang menganggap upaya pencegahan data screening (‘Rasterfahnundung’), yang diadakan oleh The Federal Policy Agency (‘Bundeskriminanilamt’) guna mengantisipasi bahaya teroris sesudah peristiwa 11 September 2001, bertentangan dengan the right for informational self-determination yang dijamin oleh Grundgesetz Republik Federasi Jerman. (Putusan Mahkamah Konstitusi No. Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945, hal. 441).
Namun demikian, dampak dari dibukanya ruang bagi siapapun untuk mengajukan permohonan kepada Bundesverfassungsgericht telah menimbulkan beban berat bagi Bundesverfassungsgericht diakibatkan oleh banyaknya perkara yang masuk, sehingga untuk membatasi perkara semacam itu masuk disyaratkan bahwa semua upaya hukum telah ditempuh terlebih dahulu.
Legal Standing WNA di Mahkamah Konstitusi Mongolia
Mahkamah Konstitusi Mongolia (Constitutional Tsets) pertama kali dibentuk pada tahun 1992 yang didasarkan pada Bab V Pasal 64 sampai dengan Pasal 67 Konstitusi Mongolia, Pasal 64 ayat (1) menyatakan, “The Constitutional Tsets (Court) of Mongolia shall be the competent organ with powers to exercise supreme supervision over the enforcement of the Constitution, to make a conclusion on the breach of its provisions, and to decide constitutional disputes, and is the guarantor for strict observance of the Constitution.” Ketentuan tersebut pada pokoknya menyatakan bahwa MK Mongolia (Constitutional Tsets) adalah organ kompeten yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pengawasan tertinggi atas pelaksanaan Konstitusi, memutus pelanggaran terhadap ketentuan konstitusi, memutuskan perselisihan konstitusional, dan sebagai penjamin agar konstitusi ditaati.
Organisasi Constitutional Tsets diatur dalam Pasal 65 ayat (1) Konstitusi Mongolia yaitu terdiri dari sembilan anggota termasuk ketua, dilantik untuk masa jabatan enam tahun, masing-masing anggota dicalonkan melalui tiga oleh parlemen, tiga oleh presiden, dan tiga oleh Mahkamah Agung. Adapun Kewenangan Constitutional Tsets diatur dalam Pasal 66 ayat (2) Konstitusi Mongolia, yaitu (1) menguji kesesuaian antara undang-undang, ketetapan, dan keputusan parlemen dan presiden termasuk keputusan pemerintah serta traktat internasional yang ditandatangani pemerintah dengan konstitusi; (2) menguji kesesuaian referendum nasional, keputusan pejabat pemilihan umum tentang pemilihan anggota parlemen dan pemilihan presiden dengan konstitusi; (3) memutus pelanggaran hukum oleh presiden, ketua dan anggota parlemen, anggota pemerintahan, ketua Mahkamah Agung dan Jaksa Agung; dan (4) Dasar hukum penggantian presiden, ketua parlemen dan perdana menteri serta recall anggota parlemen.
Dalam melaksanakan kewenangan tersebut, hukum acara yang berlaku di Constitutional Tsets menentukan bahwa mengenai legal standing untuk mengajukan permohonan kepada Constitutional Tsets tidak hanya diberikan bagi warga negara asli Mongolia, namun Warga Negara Asing juga dapat menjadi pemohon, ketentuan tersebut diatur dalam The law on Constitutional Court procedure, Article 16 tentang Submission of Petitions, Information and Requests to the Tsets menyatakan, “Citizens shall be entitled to submit a petition and information concerning breach of the Constitution; President, State Great Hural, Prime Minister, Supreme Court, and the Prosecutor General shall be entitled to submit requests regarding existence of substance of breach of the Constitution. Apart from citizens of Mongolia, foreign citizens and stateless persons residing lawfully in the territory of Mongolia shall enjoy the right to submit petitions and information to the Tsets.”
Article 16 The law on Constitutional Court procedure tersebut pada pokoknya mengatur bahwa warga negara berhak mengajukan permohonan dan informasi mengenai pelanggaran Konstitusi; Presiden, Parlemen, Perdana Menteri, Mahkamah Agung, dan Jaksa Agung berhak mengajukan permohonan terkait adanya pelanggaran Konstitusi. Selain warga Mongolia, Warga Negara Asing dan mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan yang tinggal secara sah di wilayah Mongolia memiliki hak untuk mengajukan permohonan dan informasi kepada Constitutional Tsets.
Praktik di Mahkamah Konstitusi Indonesia
Ketentuan mengenai legal standing baik di Bundesverfassungsgericht Jerman maupun di Constitutional Tsets di atas berbeda dengan praktik di MK Indonesia. Di MK Indonesia persyaratan untuk dapat menjadi Pemohon diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia...”
Ketentuan tersebut mensyaratkan bahwa Pemohon haruslah WNI. Dalam praktiknya pernah terjadi permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh tiga WNA yaitu Scott Anthony Rush, Myuran Sukumaran, dan Andrew Chan, sebagaimana tercantum dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang Pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika terhadap UUD 1945. Dalam Putusan MK tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa permohonan pengujian undang-undang yang diajukan oleh ketiga WNA tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) dengan pertimbangan hukum yang pada pokoknya menyatakan bahwa Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK beserta penjelasannya sangat tegas dan jelas (expressis verbis) menyatakan bahwa perorangan yang berhak mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 (yang berarti yang mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945) hanya WNI, WNA tidak berhak.
0 comments