SPONTANE VERNIETIGING
Opini terbaru saya tentang, "Spontane Vernieteging" berikut ini telah terbit di Majalah Konstitusi edisi No. 128 Oktober 2017
Sesuai dengan ketentuan
Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD
1945), negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem
penyelenggaraan pemerintahan Indonesia harus berdasarkan atas prinsip negara
hukum, dimana mensyaratkan bahwa segala bentuk Keputusan Tata Usaha Negara
(TUN) harus berdasarkan atas hukum.
Penggunaan kekuasaan negara melalui
penerbitan keputusan TUN bukanlah tanpa persyaratan, yaitu harus memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang
baik. Jika Keputusan TUN tidak memenuhi syarat, maka dapat berakibat hukum
tidak sah karena mengandung cacat yuridis. Hal tersebut menurut Safri Nugraha,
dalam buku Hukum Administrasi Negara (2007:118), menyatakan bahwa jika sebuah keputusan
tidak memenuhi syarat, bisa berakibat hukum tidak sah alias niet-rechtsgeldig. Keputusan yang tidak
sah dapat berupa batal (nietig),
batal demi hukum (nietig van rechtswege),
atau dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Namun apabila sebuah Keputusan TUN telah disahkan dan
dikemudian hari ditemukan kekeliruan dan cacat yuridis di dalam prosedur
penerbitan suatu Keputusan TUN, maka Pejabat TUN yang bersangkutan setelah
melakukan penelitian kembali, dapat dan berwenang membatalkan Keputusan
TUN atas dasar inisiatif sendiri dengan berdasarkan pada asas spontane
vernietiging.
Asas spontane vernietiging dikenal dalam hukum administrasi negara yang
artinya Badan atau Pejabat TUN berwenang melakukan evaluasi terhadap keputusan
yang telah diterbitkan dan apabila surat keputusan yang dikeluarkannya ditemukan
cacat yuridis atau pelanggaran, maka Badan atau Pejabat TUN dapat melakukan
pembatalan atau pencabutan, meskipun tidak ada permohonan atau permintaan dari
pihak lain.
Contoh yurisprudensi yang
dapat dijadikan rujukan mengenai penerapan asas spontane vernietiging adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 57
PK/TUN/2012 tanggal 6 Agustus 2012 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 111
K/TUN/2000 tanggal 13 Februari 2012. Berdasarkan kedua Yurisprudensi Mahkamah
Agung tersebut, dijelaskan bahwa Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang
menerbitkan suatu keputusan tata usaha negara dengan asas spontane
vernietiging juga berwenang untuk membatalkan keputusan tata usaha negara
tersebut bila ternyata terdapat kekeliruan didalamnya.
Misalnya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 111 K/TUN/2000, yaitu perkara warga Jakarta bernama Mulyo Setiawan
melawan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Duta
Besar Malaysia untuk Indonesia. Mulyo Setiawan menggugat Surat Keputusan Kepala
BPN No. 3-XI-1999 tanggal 14 Januari 1999 tentang Pembatalan Sertifikat Hak
Milik No. 3416/Bangka atas nama Mulyo Setiawan di Kel. Bangka Kec. Mampang
Prapatan, Jakarta Selatan. Keputusan ini baru diketahui Mulyo Setiawan pada 8
Maret 1999. Menanggapi terbitnya surat keputusan tersebut, Mulyo Setiawan kemudian
mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta. Di tingkat pertama, pengadilan menolak
gugatan penggugat untuk seluruhnya. Pada Desember 1999, putusan ini dibatalkan
majelis hakim tingkat banding, artinya pada tingkat banding gugatan penggugat
dikabulkan seluruhnya, yang berarti Surat Keputusan Kepala BPN dinyatakan
batal. Namun, prosesnya berlanjut sampai tingkat kasasi, dan pada tingkat
kasasi Putusan banding ini kembali dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Dalam pertimbangan
hukum Putusan Nomor 111K/TUN/2000, Mahkamah Agung pada pokoknya menyatakan
bahwa dengan alasan ada kekeliruan dan cacat yuridis di dalam prosedur
penerbitan suatu Keputusan TUN, maka Pejabat TUN yang bersangkutan, setelah
melakukan penelitian kembali, dapat dan berwenang membatalkan Keputusan TUN
tersebut atas inisiatif sendiri (spontane
vernietiging).
Asas spontane vernietiging pada dasarnya memiliki tujuan yaitu sebagai
langkah yang dapat dilakukan oleh Pejabat TUN untuk memperbaiki Keputusan TUN
jika terdapat kekeliruan atau kesalahan, sehingga prosesnya dapat lebih cepat
karena tidak perlu menunggu ada pihak lain yang menyampaikan komplain atau
gugatan.
Namun demikian, menurut WF Prins
dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara (1987:
99-100), pencabutan keputusan TUN atas inisiatif sendiri dari Pejabat
TUN, sangat menarik dan bisa menimbulkan perdebatan sengit, lebih-lebih jika
menyangkut pencabutan ‘berlaku surut’ yang menyebabkan ‘hak yang sudah
diperoleh seolah-olah menjadi tergugat’. Perdebatannya adalah kekuatan hukum
formal dan kekuatan hukum material dari pencabutan suatu keputusan. Bagi badan
yang mengeluarkan keputusan, kekuatan formal pada dasarnya tidak dapat diganggu
gugat, sebaliknya kekuatan material dapat diganggu gugat secara bebas.
Adapun hal yang biasa
dilakukan oleh pejabat TUN agar tetap dibuka kemungkinan revisi terhadap
keputusan yang telah dibuat dan jika belakangan ditemukan kesalahan atau
kekeliruan, yaitu dengan cara pencantuman sebuah rumusan yang pada pokoknya
berisi kemungkinan adanya koreksi atau revisi terhadap sebuah keputusan dan hal
tersebut lazim dijumpai pada bagian akhir sebuah Keputusan.
Adanya mekanisme koreksi dan
evaluasi terhadap sebuah keputusan merupakan instrumen penting dari negara
hukum yang demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan
dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat TUN harus berpihak kepada
warganya dan tidak dilakukan dengan semena-mena. Kemudian ada syarat materil
dan formil yang harus dipenuhi agar suatu keputusan menjadi sah dan tidak cacat
yuridis.
0 comments