Latest Posts

SPONTANE VERNIETIGING

By 5:45:00 PM


Opini terbaru saya tentang, "Spontane Vernieteging" berikut ini telah terbit di Majalah Konstitusi edisi No. 128 Oktober 2017


Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), negara Indonesia adalah negara hukum. Hal ini berarti bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan Indonesia harus berdasarkan atas prinsip negara hukum, dimana mensyaratkan bahwa segala bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (TUN) harus berdasarkan atas hukum.
Penggunaan kekuasaan negara melalui penerbitan keputusan TUN bukanlah tanpa persyaratan, yaitu harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Jika Keputusan TUN tidak memenuhi syarat, maka dapat berakibat hukum tidak sah karena mengandung cacat yuridis. Hal tersebut menurut Safri Nugraha, dalam buku Hukum Administrasi Negara (2007:118), menyatakan bahwa jika sebuah keputusan tidak memenuhi syarat, bisa berakibat hukum tidak sah alias niet-rechtsgeldig. Keputusan yang tidak sah dapat berupa batal (nietig), batal demi hukum (nietig van rechtswege), atau dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Namun apabila sebuah Keputusan TUN telah disahkan dan dikemudian hari ditemukan kekeliruan dan cacat yuridis di dalam prosedur penerbitan suatu Keputusan TUN, maka Pejabat TUN yang bersangkutan setelah melakukan penelitian kembali, dapat dan berwenang membatalkan Keputusan TUN  atas dasar inisiatif sendiri dengan berdasarkan pada asas spontane vernietiging.
Asas spontane vernietiging dikenal dalam hukum administrasi negara yang artinya Badan atau Pejabat TUN berwenang melakukan evaluasi terhadap keputusan yang telah diterbitkan dan apabila surat keputusan yang dikeluarkannya ditemukan cacat yuridis atau pelanggaran, maka Badan atau Pejabat TUN dapat melakukan pembatalan atau pencabutan, meskipun tidak ada permohonan atau permintaan dari pihak lain.
Contoh yurisprudensi yang dapat dijadikan rujukan mengenai penerapan asas spontane vernietiging adalah Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 57 PK/TUN/2012 tanggal 6 Agustus 2012 dan Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor: 111 K/TUN/2000 tanggal 13 Februari 2012. Berdasarkan kedua Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut, dijelaskan bahwa Pejabat Tata Usaha Negara yang berwenang menerbitkan suatu keputusan tata usaha negara dengan asas spontane vernietiging juga berwenang untuk membatalkan keputusan tata usaha negara tersebut bila ternyata terdapat kekeliruan didalamnya.
Misalnya dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 111 K/TUN/2000, yaitu  perkara warga Jakarta bernama Mulyo Setiawan melawan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan Duta Besar Malaysia untuk Indonesia. Mulyo Setiawan menggugat Surat Keputusan Kepala BPN No. 3-XI-1999 tanggal 14 Januari 1999 tentang Pembatalan Sertifikat Hak Milik No. 3416/Bangka atas nama Mulyo Setiawan di Kel. Bangka Kec. Mampang Prapatan, Jakarta Selatan. Keputusan ini baru diketahui Mulyo Setiawan pada 8 Maret 1999. Menanggapi terbitnya surat keputusan tersebut, Mulyo Setiawan kemudian mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta. Di tingkat pertama, pengadilan menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya. Pada Desember 1999, putusan ini dibatalkan majelis hakim tingkat banding, artinya pada tingkat banding gugatan penggugat dikabulkan seluruhnya, yang berarti Surat Keputusan Kepala BPN dinyatakan batal. Namun, prosesnya berlanjut sampai tingkat kasasi, dan pada tingkat kasasi Putusan banding ini kembali dibatalkan oleh Mahkamah Agung. Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 111K/TUN/2000, Mahkamah Agung pada pokoknya menyatakan bahwa dengan alasan ada kekeliruan dan cacat yuridis di dalam prosedur penerbitan suatu Keputusan TUN, maka Pejabat TUN yang bersangkutan, setelah melakukan penelitian kembali, dapat dan berwenang membatalkan Keputusan TUN tersebut atas inisiatif sendiri (spontane vernietiging).
Asas spontane vernietiging pada dasarnya memiliki tujuan yaitu sebagai langkah yang dapat dilakukan oleh Pejabat TUN untuk memperbaiki Keputusan TUN jika terdapat kekeliruan atau kesalahan, sehingga prosesnya dapat lebih cepat karena tidak perlu menunggu ada pihak lain yang menyampaikan komplain atau gugatan.
Namun demikian, menurut WF Prins dalam buku Pengantar Ilmu Hukum Administrasi Negara (1987: 99-100), pencabutan keputusan TUN atas inisiatif sendiri dari Pejabat TUN, sangat menarik dan bisa menimbulkan perdebatan sengit, lebih-lebih jika menyangkut pencabutan ‘berlaku surut’ yang menyebabkan ‘hak yang sudah diperoleh seolah-olah menjadi tergugat’. Perdebatannya adalah kekuatan hukum formal dan kekuatan hukum material dari pencabutan suatu keputusan. Bagi badan yang mengeluarkan keputusan, kekuatan formal pada dasarnya tidak dapat diganggu gugat, sebaliknya kekuatan material dapat diganggu gugat secara bebas.
Adapun hal yang biasa dilakukan oleh pejabat TUN agar tetap dibuka kemungkinan revisi terhadap keputusan yang telah dibuat dan jika belakangan ditemukan kesalahan atau kekeliruan, yaitu dengan cara pencantuman sebuah rumusan yang pada pokoknya berisi kemungkinan adanya koreksi atau revisi terhadap sebuah keputusan dan hal tersebut lazim dijumpai pada bagian akhir sebuah Keputusan.
Adanya mekanisme koreksi dan evaluasi terhadap sebuah keputusan merupakan instrumen penting dari negara hukum yang demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat TUN harus berpihak kepada warganya dan tidak dilakukan dengan semena-mena. Kemudian ada syarat materil dan formil yang harus dipenuhi agar suatu keputusan menjadi sah dan tidak cacat yuridis.

MLC

You Might Also Like

0 comments