Latest Posts

MARGIN OF APPRECIATION

By 5:53:00 PM , , ,


The European Court of Human Rights (ECtHR) adalah pengadilan supranasional atau internasional yang didirikan pada tahun 1959 melalui the European Convention on Human Rights (ECHR), dimana pengaddilan ini memiliki peran penting dalam perlindungan hak-hak dasar dan kebebasan yang ditetapkan dalam ECHR dan protokolnya. ECtHR memiliki 47 hakim, sesuai dengan jumlah 47 negara anggota the Council of Europe, dengan 800 juta masyarakat. Perlu juga disebutkan bahwa sejak 1 November 1998, ECtHR telah memiliki yurisdiksi permanen, sehingga individu dapat mengajukan permohonan secara langsung.
Dalam aktifitas peradilannya, ECtHR memberikan perlindaungan kepada para pihak ketika berperkara pengadilan, baik institusional maupun prosedural. Menurut Waldock, margin of appreciation adalah salah satu perlindungan yang penting yang dikembangkan oleh ECtHR untuk merekonsiliasi penerapan konvensi secara efektif dengan kekuasaan dan tanggung jawab pemerintah dalam demokrasi.
Doktrin margin of appreciation adalah suatu sarana yang diberikan kepada Negara anggota the Council of Europe untuk mengadopsi, baik langkah-langkah positif untuk mematuhi ECHR dan langkah-langkah yang meskipun dianggap mengganggu beberapa hak dan kebebasan individu, tindakan tersebut dianggap dapat dibenarkan karena mereka perlu untuk menjaga ketertiban umum dan/atau untuk melindungi hak dan kebebasan orang lain dalam masyarakat yang demokratis.
Margin of appreciation adalah doktrin, yang digunakan oleh ECtHR dalam menafsirkan ECHR. Doktrin ini digunakan oleh ECtHR ketika memutuskan apakah suatu negara anggota telah melanggar konvensi atau tidak. Oleh karena itu, melalui margin of appreciation memungkinkan negara-negara anggota the Council of Europe untuk menafsirkan konvensi secara berbeda.
Secara historis, asal muasal margin of appreciation, menurut Mowbray, bahwa frasa “margin of appreciation” adalah terjemahan langsung dari konsep Prancis tentang marge d’ appreciation yang merupakan metode peninjauan yudisial yang dirancang oleh Conseil d'état . Gagasan Prancis tentang marge d’ appreciation dapat dibandingkan dengan prinsip-prinsip Jerman yaitu Beurteilungspielraum, Ermessensfehler, Ermessensspielraum, Ermessensmisbrauch, Ermessensuberscheitung, dan unbekannte atau unbestimmte – rechtsbegriffe. Sementara di Italia sebagai ‘margine di discrezionalita'. (Mowbray, Alastair, Cases, Materials, and Commentary on the European Convention on Human Rights, 3rd ed., Oxford University Press, Oxford, 2012, p. 634)
Margin of appreciation tidak secara eksplisit disebutkan dalam teks ECHR, namun dikembangkan di kasus-kasus darurat berdasarkan Pasal 15 ECHR. Doktrin itu lahir dalam yurisprudensi konvensi dalam Laporan Komisi dalam kasus Cyprus (1958).  Pada kasus Greece v United Kingdom (“Cyprus”), dua aplikasi permohonan diajukan ke Komisi yang menuduh beberapa pelanggaran ketentuan Konvensi oleh Kerajaan Inggris untuk mengelola pulau Cyprus. Inggris memohon Pasal 15 Konvensi, yang memungkinkan Negara Pihak untuk tidak menerapkan ketentuan Konvensi ketika keadaan darurat publik mengancam kehidupan bangsa. (Greece v United Kingdom “Cyprus Case”, 1958)
Kemudian, penjelasan terperinci tentang penerapan margin of appreciation terdapat dalam presentasi Komisi di Pengadilan Eropa dalam kasus Lawless v Ireland (1961), dimana merupakan putusan pengadilan pertama yang melibatkan tuduhan penahanan preventif yang melanggar jaminan Konvensi oleh Pemerintah Republik Irlandia. Pemohon yang merupakan warga negara Irlandia dan anggota Tentara Republik Irlandia telah ditahan tanpa melalui proses pengadilan selama lima bulan dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Negara. Pemohon mengklaim kondisi darurat di bawah Pasal 15. Dalam kasus tersebut, Komisaris Waldock, Presiden Komisi, berpendapat bahwa margin of appreciation merupakan konsep untuk membenarkan tindakan pemerintah dan menghindarkan dari tanggung jawab untuk menghargai faktor-faktor kompleks dan menyeimbangkan ketentuan yang saling bertentangan dari kepentingan umum. (Lawless v Ireland, Commission Decision, 1960-61).
Kasus berikutnya yang melibatkan Pasal 15 ECHR adalah Greek case (1969). "Greek case melibatkan aplikasi permohonan yang diajukan oleh empat Negara Anggota" dimana menuduh pelanggaran Konvensi oleh Greek revolutionary government yang telah berkuasa pada bulan April 1967. Pemerintah meminta melalui Royal Decree pada 21 April 1967, berdasarkan Pasal 15 untuk menangguhkan ketentuan konstitusi Yunani yang berhubungan dengan Pasal 5, 6, 8, 10 dan 11 dari Konvensi. Meskipun mengakui yurisprudensi "tentang  penerapan margin of appreciation yang diberikan Negara Anggota di bawah Pasal 15, Komisi menolak anggapan Yunani bahwa keadaan darurat publik ada pada 21 April 1967. Dengan demikian, Komisi menemukan bahwa derogasi Yunani tidak dapat dibenarkan dan melanggar Konvensi. (Greek Case, ECtHR Judgement 1969)
Kasus pertama di mana Pengadilan secara tegas bergantung pada margin of appreciation adalah kasus Ireland v the United Kingdom (1978). Dalam kasus ini, Pemohon adalah Pemerintah Republik Irlandia yang mengklaim bahwa penahanan ekstra-yudisial melanggar Pasal 5 (hak atas kebebasan) Konvensi dan bahwa praktik interogasi adalah merupakan penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan martabat, sehingga melanggar Pasal 3 Konvensi. Pengadilan memberi otoritas nasional suatu "wide margin of appreciation” dalam memutuskan "baik pada kehadiran keadaan darurat seperti itu dan pada sifat dan ruang lingkup derogasi yang diperlukan untuk mencegahnya.”(Ireland v. UK, ECtHR Judgement of 18 January 1978)
Namun, dalam praktik saat ini, doktrin margin of appreciation telah menimbulkan banyak komentar, beberapa di antaranya sangat kritis terhadap penerapan doktrin tersebut, misalnya, bahwa hal itu dapat menyebabkan relativisme tentang hak asasi manusia. Gagasan bahwa dengan tidak adanya konsepsi seragam moral publik di Eropa, Negara-negara Pihak lebih baik ditempatkan untuk menilai nilai-nilai lokal dan penerapannya pada kasus-kasus tertentu memberikan bobot pada gagasan relativisme moral dan mengorbankan universalitas hak asasi manusia. Disisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa doktrin margin of appreciation memainkan peran penting dalam penanganan perkara oleh ECtHR, sehingga doktrin ini adalah salah satu hal yang paling menarik untuk dibahas melalui yurisprudensi ECtHR.

M Lutfi Chakim

You Might Also Like

0 comments