PENDIDIKAN BERBASIS HAK ASASI MANUSIA
A. Latar Belakang
Seiring dengan
perkembangan zaman, kemajuan pembangunan di Indonesia dalam segala bidang
berkembang pesat pula. Tidak terkecuali pembangunan dalam hal bidang
pendidikan. Hal ini merupakan upaya yang sungguh-sungguh dari rakyat untuk
mencapai suatu kehidupan yang dicita-citakan, yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Untuk mencapai cita-cita bangsa
dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sangatlah diperlukan pemenuhan hak atas
pendidikan yang layak bagi seluruh warga negara Indonesia. Yang dimaksut dengan pendidikan tercantum
dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi, “Pendidikan adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan Negara”.
Pendidikan merupakan hak asasi manusia (HAM) dan merupakan suatu sarana yang mutlak diperlukan untuk
mewujudkan hak-hak yang lainnya. Penyelesaian suatu program pendidikan yang sudah
ditetapkan dengan memuaskan merupakan prasyarat yang sangat penting untuk akses
mendapatkan perkerjaan, mendapatkan kehidupan yang layak serta
mengangkat harkat dan martabat pribadi seseorang, sehingga pendidikan dilihat sebagai gerbang menuju
keberhasilan.[1]
Indonesia pada dasarnya telah meratifikasi
instrumen HAM internasional misalnya, Kovenan internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik, dan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Kebudayaan. Ratifikasi itu kemudian dituangkan dalam Undang-undang
Nomor 11 tahun 2005 tentang pengesahan kovenan Internasional tentang hak-hak
ekonomi, sosial dan budaya dan Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 tentang
pengesahan kovenan tentang internasional tentang hak-hak sipil dan politik. Bersama dengan itu juga terdapat Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM), yang telah dideklarasikan oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
untuk membentuk Perjanjian Internasional tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Tiga
perjanjian internasional lainnya yang menjadi tolok ukur dalam upaya global
mencapai tujuan-tujuan pendidikan untuk semua dan secara khusus untuk menghapus
diskriminasi dalam pendidikan yaitu: (1) Konvensi UNESCO tentang Penentangan
Diskriminasi dalam Pendidikan; (2) Konvensi tentang Penghapusan terhadap
Diskriminasi Rasial; dan (3) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Wanita.
Negara disini memiliki
tanggung jawab besar untuk menghormati (respect),
memenuhi (fulfiil), melindungi (protect) hak asasi manusia atas
pendidikan seluruh warga negara. Maka dari itu tidak ada alasan untuk
memungkiri tidak terpenuhinya hak atas pendidikan anak Indonesia. Karena mereka
adalah bagian dari generasi penerus bangsa indonesia kelak untuk mewujudkan apa
yang dicita-citakan seperti yang tertera pada pembukaan Undang-undang Dasar
Republik Indonesia tahun 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia.
Namun pada tataran
realitas empiris di lapangan bisa dilhat bahwa, masih banyak anak-anak indonesia
yang putus sekolah maupun yang tidak dapat mengenyam hak pendidikan dasar sama
sekali. Data empiris pun menunjukkan bahwa hingga akhir 2010, jumlah
masyarakat Indonesia yang belum memiliki kemampuan mengenal dan membaca tulisan
mencapai sekitar 8,3 juta jiwa, atau sekitar 5% dari jumlah penduduk Indonesia.[2]
Begitu juga dengan data
yang dirilis UNESCO-PBB pada tahun 2011 bahwa, dari 31,05 juta
siswa Sekolah Dasar (SD) di
Indonesia, tercatat sebanyak 527.850 orang atau
1,7% yang putus sekolah setiap tahunnya. Dan dari total jumlah
penduduk Indonesia usia kuliah (18-25 Tahun) sebesar 25 juta jiwa,
hanya 4,6 juta jiwa yang berkuliah. Jumlah ini hanya meningkat
3.000 orang dari tahun sebelumnya yang berjumlah 4,3 juta
jiwa. Sementara angka putus kuliah mencapai 150.000 orang setiap tahun.[3]
Dari data empiris
diatas tidak bisa dikatakan bahwa pemerintah sudah berhasil dalam hal
melaksanakan tanggung jawabnya serta menangani anak-anak yang putus sekolah
atau tidak bersekolah. Karena masih adanya ribuan anak-anak yang putus sekolah
atau tidak bisa bersekolah di Indonesia yang masih berharap untuk mendapatkan
hak atas pendidikan sebagai warga negara yang memiliki hak konstitusional dan
hak hukum.
Permasalahan anak-anak
yang putus sekolah atau tidak bersekolah tersebut karena faktor komersialisasi dan komoditasi pendidikan
yang ada di Indonesia. Salah satu contohnya adalah anggaran untuk pendidikan
yang dirasakan sangat diskriminatif, adanya pembedaan antara lembaga pendidikan
negeri dan lembaga pendidikan swasta. Masyarakat kemudian menganggap wajar jika
biaya pendidikan swasta lebih mahal dibandingkan dengan pendidikan negeri.
Padahal dalam pasal 31 UUD 1945 mengatur bahwa setiap warga Negara berhak atas
pendidikan dan Negara bertanggung jawab untuk menyelenggarakannya tanpa adanya
perbedaan status sekolah, baik negeri maupun swasta. Dan bukankah keberadaan
lembaga pendidikan swasta dikarenakan terbatasnya lembaga pendidikan negeri?.
Berdasarkan
data Depdiknas tahun 2009, jumlah SD mencapai 146.393 (91,04% negeri;
8,96% swasta), SMP mencapai 23.124 (48,63% negeri; 51,37% swasta), SMA mencapai
10.749 (44,51% negeri; 55, 49% swasta), dan SMK mencapai 7.586 (26,32% negeri;
73,68% swasta). Dari data tersebut, jika anggaran pendidikan hanya
diperuntukkan bagi sekolah negeri, maka banyak rakyat Indonesia yang tidak akan
mendapatkan haknya atas subsidi pendidikan.[4]
Masalah di atas merupakan bentuk komersialisasi
dan komoditasi kebijakan anggaran pendidikan yang
inkonstitusional.[5]
Adanya diskriminasi pendidikan
tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak konstitutional warga negara yang
diatur dalam UUD 1945. Apalagi untuk negara Indonesia yang penduduknya sangat
majemuk, dimana lagi di dunia ada negara kepulauan yang sarat dengan pluralisme
namun tetap terbingkai dalam wadah negara kesatuan. Namun demikian, pada sisi lain multikulturalisme yang
dimiliki Indonesia mulai dari rasial, etnis, ekonomi, agama, sosial, budaya yang
terus mendapatkan diskriminasi dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan.
Diskriminasi hak atas pendidikan
dalam konteks negara Indonesia yang multikulturalisme secara nyata telah
mencederai nilai-nilai keadilan, kemerdekaan, persamaan, martabat, dan hak
untuk hidup bebas dari diskriminasi.
Maka dari itu, guna
menetapkan strategi yang tepat dalam menjinakkan komersialisasi dan komoditasi
pendidikan yang merupakan sesuatu yang sangat urgen dan relevan untuk segera
dilakukan. Oleh karena itu, tema sentral yang diangkat dalam penulisan ini
adalah “Pendidikan Berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dan Multikulturalisme Sebagai
Upaya Menjinakan
Komersialisasi dan Komoditasi Pendidikan”.
B. Pendidikan Berbasis Hak Asasi
Manusia (HAM) dan Multikulturalisme Sebagai Upaya Menjinakan
Komersialisasi dan
Komoditasi Pendidikan
Pendidikan berbasis HAM dan
pendidikan multikulturalisme merupakan suatu kebutuhan mendasar bangsa
ini. Apalagi di Indonessia yang
masyarakatnya majemuk yang teramat penting untuk memiliki kesadaran akan:
keragaman, kesetaraan, kemanusiaan, keadilan, dan nilai-nilai demokrasi.
B.1. Pendidikan Berbasis Hak Asasi
Manusia (HAM)
Agar terciptanya
suatu sistem pendidikan yang berbasiskan HAM, maka diperlukan strategi yang
seragam dalam sektor pendidikan dan mencakup hubungan lintas sektoral. Strategi
yang harus dilakukan oleh pemerintah adalah dengan cara melaksanakan kewajiban-kewajiban
pemerintah berkait dengan hak asasi manusia agar pendidikan dapat disediakan (available),
dapat dijangkau (accessible), dapat diterima (acceptable) dan
dapat disesuaikan (adaptable).
Kewajiban
dan Tanggung Jawab Pemerintah Terkait Hak Atas Pendidikan[6]
Aspek
|
Tanggung Jawab dan Kewajiban
Pemerintah
|
Ketersediaan
(Availability)
|
Kewajiban
untuk menjamin wajib belajar dan pendidikan tanpa biaya bagi seluruh anak
usia sekolah bagi suatu negara, sampai sekurang-kurangnya usia minimum untuk
diperbolehkan bekerja.
Kewajiban
untuk menghargai kebebasan orang tua untuk memilihkan pendidikan bagi
anak-anaknya, dengan mempertimbangkan minat anak yang bersangkutan.
|
Keterjangkauan
(Accessibility)
|
Kewajiban
untuk menghapuskan eksklusivitas pendidikan berdasarkan pelarangan terhadap
diskriminasi (suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, opini, asal,
status ekonomi, kelahiran, status sosial, status minoritas atau penduduk asli,
berkemampuan kurang).
Kewajiban
untuk menghapuskan diskriminasi jender dan rasial dengan menjamin pemberian
kesempatan yang sama dalam pemenuhan hak asasi manusia, daripada hanya secara
formal melarang diskriminasi.
|
Kesesuaian
(Adaptability)
|
Kewajiban
untuk merencanakan dan mengimplementasikan pendidikan bagi anak yang tidak
mengikuti sekolah formal (misalnya, pendidikan bagi anak di pengungsian atau
pengasingan, pendidikan bagi anak-anak yang kehilangan kebebasannya, atau
pendidikan bagi pekerja anak).
Kewajiban
untuk menyesuaikan pendidikan dengan minat utama setiap anak, khususnya bagi
mereka dengan kelainan, atau anak minoritas dan penduduk asli.
Kewajiban
untuk mengaplikasikan hak asasi manusia secara utuh sebagai pedoman sehingga
dapat memberdayakan hak asasi manusia melalui pendidikan, misalnya hak untuk
kawin dan membentuk keluarga, atau hak untuk terbebas dari tekanan dan
dipekerjakan.
|
Keberterimaan
(Acceptability)
|
Kewajiban
untuk menetapkan standar minimum pendidikan, termasuk bahasa pengantar,
materi, metode mengajar, dan untuk menjamin penerapannya pada semua lembaga
pendidikan.
Kewajiban
untuk meningkatkan mutu pendidikan dengan menjamin bahwa seluruh sistem
pendidikan sejalan dengan hak asasi manusia.
|
Sumber : Proyek Kerja Sama antara Pelapor Khusus Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak atas Pendidikan dan Biro Pendidikan Wilayah
Asia Pasifik UNESCO, Pendidikan Berbasis
Hak Asasi Penyederhanaan Persyaratan Hak Asasi Manusia Global, Biro
Pendidikan Wilayah Asia Pasifik UNESCO, Bangkok.
Secara lebih konkrit, penanaman
kesadaran multikultural tersebut disasarkan pada antara lain: toleransi dalam
beragama, memahami keragaman bahasa, membangun sikap sensitif jender, membangun
pemahaman kritis terhadap ketidakadilan dan perbedaan status sosial, membangun
sikap anti diskriminasi etnis dan rasial, menghargai perbedaan kemampuan fisik,
dan menghargai perbedaan usia.[7]
B.2. Pendidikan Berbasis
Multikulturalisme
Berdasarkan
permasalahan seperti latar belakang diatas maka pendidikan multikulturalisme
menawarkan satu altrnatif melalui penerapan strategi dan konsep pendidikan
berbasis pemanfaatan keragaman yang ada dimasyarakat, sehingga seluruh
masyarakat mempunyasi kesempatan yang sama dalam pemenuhan hak atas pendidikan.
Dalam konteks membangun
masyarakat multikultural selain berperan meningkatkan mutu bangsa agar dapat
duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan negara-negara lain, pendidikan
juga berperan memberi perekat berbagai perpedaan diantara komunitas kultural
atau kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda agar lebih
meningkat komitmennya dalam pemenuhan hak atas pendidikan.[8]
Pendidikan
multikultural adalah kebijakan dalam praktik pendidikan dalam mengakui,
menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan
gender, kelas, ras, budaya, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi
seseorang.[9]
Sehingga dengan demikian pendidikan multikultural dapat menjadi langkah
progresif untuk pemenuhan hak atas pendidikan .
Dalam konteks yang
luas, pendidikan multikultural mencoba membantu menyatukan bangsa secara
demokratis, memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara untuk
memperoleh pendidikan, dengan menekankan pada perspektif pluralitas masyarakat
di berbagai bangsa, etnik, kelompok budaya yang berbeda. Dengan demikian
sekolah dikondisikan untuk mencerminkan praktik dari nilai-nilai demokrasi.
Kurikulum menampakkan aneka kelompok budaya yang berbeda dalam masyarakat,
bahasa, dan dialek; dimana para pelajar lebih baik berbicara tentang rasa hormat
di antara mereka dan menunjung tinggi nilai-nilai kerjasama, dari pada
membicarakan persaingan dan prasangka di antara sejumlah pelajar yang berbeda
dalam hal ras, etnik, budaya dan kelompok status sosialnya.
C.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, maka penulis
memperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1.
Negara memiliki tanggung jawab besar
untuk menghormati (respect), memenuhi
(fulfiil), melindungi (protect) hak asasi manusia seluruh warga
negara. Maka dari itu tidak ada alasan untuk memungkiri tidak terpenuhinya hak
atas pendidikan anak Indonesia. Karena mereka adalah bagian dari generasi
penerus bangsa indonesia kelak untuk mewujudkan apa yang dicita-citakan seperti
yang tertera pada pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945
sebagai konstitusi negara Indonesia.
2.
Strategi yang harus
dilakukan oleh pemerintah untuh menjinakkan komersialisasi dan dan komoditasi
pendidikan adalah dengan cara melaksanakan pendidikan berbasis HAM. Dengan
demikian pemerintah memiliki kewajiban-kewajiban berkait dengan hak asasi
manusia (HAM) agar pendidikan dapat disediakan (available), dapat dijangkau
(accessible), dapat diterima (acceptable) dan dapat disesuaikan (adaptable).
3.
Selain itu multikulturalisme yang dimiliki Indonesia
mulai dari rasial, etnis, ekonomi, agama, sosial, budaya yang terus mendapatkan
diskriminasi dalam konteks pemenuhan hak atas pendidikan. Maka dari itu guna
menetapkan strategi yang tepat dalam menjinakkan komersialisasi dan komoditasi
pendidikan dengan yaitu cara memeneapkan pendidikan berbasis multikulturalisme.
Saran
Dalam penulisan ini,
perlu kiranya penulis memberikan saran kepada berbagai pihak, sebagai berikut:
1.
Pemerintah harus lebih tanggap lagi
terhadap permasalahan-permasalahan yang di hadapi oleh anak jalanan lebih
khususnya dalam hal mendapatakan hak atas pendidikan yang pada dasarnya itu
adalah suatu kewajiban mereka sebagai pemegang mandat untuk menjalankan aturan
perundang-undangan yang sudah menjamin hak atas pendidikan tersebut.
2.
Para orang tua dan keluarga dari para
anak jalanan agar diharapkan bisa memberikan kesempatan kepada anaknya untuk
menikmati bangku sekolah.
3.
Diharapkan terus berusaha membumikan
wacana pendidikan berbasis HAM dan multikultural melalui berbagai media, baik
media massa maupun media elektronik, atau media-mesia lain yang lebih efektif
dan efesien.
Daftar
Pustaka
Buku
Knut
D. Asplind, 2008, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta
Proyek Kerja Sama antara Pelapor Khusus
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak atas Pendidikan dan Biro
Pendidikan Wilayah Asia Pasifik UNESCO, Pendidikan
Berbasis Hak Asasi Penyederhanaan Persyaratan Hak Asasi Manusia Global,
Biro Pendidikan Wilayah Asia Pasifik UNESCO, Bangkok.
Internet
Fahri
Zulmy, 2011, Putus Sekolah Suatu Korosi
Tiang Negara, http://kem.ami.or.id/2011/11/putus-sekolah-suatu-korosi-tiang-negara/, Pada 16 Maret
2012
Heru
Susetyo, 2006, Pendidikan Hak Asasi, file:///F:/New%20folder/PENDIDIKAN_BERBASIS_HAK_ASASI_MANUSIA.htm, di akses Pada
Tanggal 16 Maret 2012.
Anoninm, Pembelajaran Berbasis Multikultural, http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/pembelajaran-berbasis-multikultural/, 16 Maret 2012.
[2]. Kompas, 8 September 2011, dalam Fahri Zulmy, 2011, Putus Sekolah Suatu Korosi Tiang Negara, http://kem.ami.or.id/2011/11/putus-sekolah-suatu-korosi-tiang-negara/, Di Aksis Pada 16 Maret 2012.
[5]. Ibid
[6]. Proyek Kerja Sama antara Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
tentang Hak atas Pendidikan dan Biro Pendidikan Wilayah Asia Pasifik UNESCO, Pendidikan Berbasis Hak Asasi Penyederhanaan
Persyaratan Hak Asasi Manusia Global, Biro Pendidikan Wilayah Asia Pasifik
UNESCO, Bangkok.
[7]. Heru Susetyo, 2006, Pendidikan Hak
Asasi, file:///F:/New%20folder/PENDIDIKAN_BERBASIS_HAK_ASASI_MANUSIA.htm, di akses Pada Tanggal 16 Maret 2012.
[8]. Pembelajaran
Berbasis Multikultural, http://lubisgrafura.wordpress.com/2007/09/10/pembelajaran-berbasis-multikultural/, Diakses pada
tanggal 16 Maret 2012.
0 comments