MENUMBUHKAN BUDAYA JUJUR MAHASISWA SEBAGAI PARADIGMA BARU PEMBERANTASAN KORUPSI
M.
Lutfi Chakim[1]
Seiring dengan
perkembangan zaman, kemajuan pembangunan di Indonesia dalam segala bidang
berkembang pesat pula. Tidak terkecuali pembangunan dalam bidang pendidikan.
Hal ini merupakan upaya yang sungguh-sungguh dari rakyat untuk mencapai
kehidupan yang dicita-citakan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan yang dimaksut dengan pendidikan, tercantum dalam pasal
1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi:
“Pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya
untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan Negara”.
Amanat UU No 20 Tahun 2003 tersebut
sangat jelas bahwa, pendidikan pada hakekatnya adalah mengembangkan
potensi diri peserta didik dengan dilandasi oleh kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan. Dengan
demikian, pendidikan mempunyai peran yang strategis dalam membangun karakter
mahasiswa. Tujuan pendidikan bukan hanya untuk mengembangkan
intelegensi akademik mahasiswa, tapi juga membentuk mahasiswa yang berbudaya
jujur. [2]
Namun permasalahan yang
hingga saat ini masih menjadi fenomena dikalangan mahasiswa yaitu, budaya
ketidakjujuran mahasiswa. Fakta menunjukkan bahwa, budaya ketidakjujuran kian
menggejala di kalangan mahasiswa. Bahkan akar dari masalah korupsi, kolusi dan
nepotisme di Indonesia adalah murni dari faktor ketidakjujuran pada waktu
menjadi mahasiswa. Saya masih mahasiswa, dan saya melihat bahkan
merasakan itu semua, bagaimana budaya ketidakjujuran
mahasiswa sangat sistemik. Semangat inovasi dan etos kerja para mahasiswa menunjukkan
grafik yang menghawatirkan. Indikatornya sederhana, terdapat
beberapa contoh budaya ketidakjujuran mahasiswa, misalnya:
- Mencontek
- Plagiasi (penjiplakan karya tulis)
- Titip absen
- dll.
Pertama,
contoh budaya ketidakjujuran mahasiswa adalah perilaku mencontek, maka teman
yang di contek tentunya telah ´terampas´ keadilan dan kemampuannya. Ketika mahasiswa
yang di contek belajar siang malam, tetapi penyontek yang suka hura-hura
dengan gampangnya mencuri hasil kerja keras temannya. Mencontek akan
menghilangkan rasa percaya diri mahasiswa. Bila kebiasaan tersebut berlanjut
maka percaya diri akan kemampuan diri menjadi luntur, sehingga semangat belajar
jadi hilang, mahasiswa akan terkungkung oleh pendapatnya sendiri, yang merasuki
alam pikirnya bahwa untuk pintar tidak harus dengan belajar, tapi mencontek.
Kedua,
perilaku ketidakjujuran mahasiswa adalah fenomena plagiasi (penjiplakan karya
tulis) yang selalu menjadi momok bagi pendidikan di Indonesia. Terungkapnya
kasus plagiasi di bebarapa perguruan tinggi, menjadi tolok ukur bagi kualitas
pendidikan. Tindakan copy paste seakan menjadi ritual wajib dalam
memenuhi tugas dari dosen. Mahasiswa bahkan peneliti ditengarai banyak yang
melakukan tindakan plagiat.
Dengan diterbitkannya Permendiknas
nomor 17 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan plagiat di perguruan
tinggi, diharapkan dapat meredam maraknya plagiarisme. Tapi lagi-lagi berita
mengejutkan datang dari dunia perguruan tinggi, setelah guru besar Universitas
Katolik Parahyangan Prof. AABP melakukan plagiat, dan kini disusul rekan
sejawatnya, sesama guru besar dari Universitas Riau. Guru besar Universitas
Riau, Prof. II, terbukti melakukan plagiarisme dalam membuat buku
berjudul Sejarah Maritim yang merupakan jiplakan dari buku Budaya
Bahari karya Mayor Jenderal (Marinir) Joko Pramono terbitan Gramedia tahun
2005 (Kompas, 2011). Hebohnya lagi yang bersangkutan pada tahun 2008 menerima
piagam dari Museum Rekor Indonesia (MURI) atas karyanya menerbitkan 66 buku
dalam tempo lima tahun, dan buku Sejarah Maritim merupakan salah satu dari
66 buku yang masuk rekor tersebut.[3]
Kemudian pada awal
Maret 2012, tampaknya menjadi hari kelabu bagi dunia pendidikan di Indonesia.
Kasus plagiat doktor dan calon guru besar mulai merebak di Universitas
Pendidikan Indonesia. Yang pada akhirnya Senat Akademik UPI pada Jumat pekan
lalu, 2 Maret 2012, menjatuhkan sanksi kepada tiga dosen pelaku. Hukumannya
berupa penurunan pangkat dan jabatan serta menggugurkan kenaikan promosi guru
besar mereka. [4]
Guru besar merupakan sosok yang diharapkan sebagai teladan bagi mahasiswa dan
sesama dosen, sosok yang dipandang sangat tinggi oleh masyarakat. Sangat
mengherankan jika guru besar yang notabene adalah orang pintar dengan bekal
keilmuan dan profesionalitas yang lebih tetapi melakukan tindakan plagiat.
Ketiga,
perilaku ketidakjujuran mahasiswa adalah titip absensi, absensi yang
ditandatangani mahasiswa sering disalahgunakan. Tandatangan fiktif pun mewarnai absensi, padahal dalam satu
pertemuan adakalanya jumlah kehadiran mahasiswa tidak sebanding dengan
tandatangan yang hadir. Mahasiswa yang hadir terlihat tidak banyak tapi
tandatangan di absensi penuh dan mahasiswa hadir semua.
Perilaku
mencontek, plagiasi dan titip absen merupakan manifestasi ketidakjujuran, yang
pada akhirnya memunculkan perilaku korupsi. Kejujuran merupakan barang langka
di Indonesia. Banyak orang pintar yang lulus perguruan tinggi, tapi sangat
langka orang pintar yang jujur, sehingga berakibat sulitnya mengukur
kadar kesuksesan proses belajar-mengajar.
Persoalan ketidakjujuran tersebut
merupakan suatu hal yang mengkhawatirkan dan perlu perhatian serius. Sebab,
bagaimana mungkin institusi pendidikan, justru menjadi sarang korupsi. Ini
jelas berbanding terbalik dengan hakekat pendidikan yang benar, yakni ingin
menciptakan manusia yang berilmu dan bermoral. Dan apabila
budaya ketidakjujuran mahasiswa seperti mencontek, plagiasi, titip absen, dll
tidak segera diberantas, maka perguruan tinggi akan menjadi bagian dari
´pembibitan´ moral yang dekstruktif di Indonesia.
Berdasarkan latar
belakang diatas guna menetapkan strategi yang tepat dalam pemberantasan korupsi
yang merupakan sesuatu yang sangat urgent dan relevan untuk segera dilakukan.
Oleh karena itu, tema sentral yang diangkat dalam penulisan ini adalah
“Menumbuhkan Budaya Jujur Mahasiswa Sebagai Paradigma Baru Pemberantasan
Korupsi”.
Menumbuhkan
Budaya Jujur Mahasiswa Sebagai Paradigma Baru Pemberantasan Korupsi
Untuk dapat berperan secara optimal dalam
pemberantasan korupsi, maka harus dilakukan pembenahan terhadap mahasiswa dan
kampusnya. Dengan kata lain, mahasiswa harus mendemonstrasikan bahwa diri dan
kampusnya harus bersih dan jauh dari perbuatan korupsi. Selanjutnya adalah pada
proses perkuliahan. Dalam masa ini, perlu penekanan terhadap moralitas
mahasiswa dalam berkompetisi untuk memperoleh nilai yang setinggi-tingginya,
tanpa melalui cara-cara yang curang.
Guna menciptakan
strategi untuk memberantas korupsi di indonesia, maka paradigma yang harus
dibangun terlebih dahulu adalah, dengan menumbuhkan budaya jujur dikalangan
mahasiswa. Karena memang ketidakjujuran dikalangan mahasiswa di negeri ini
sudah sistemik dan tidak cukup hanya dituntaskan lewat penambahan pelajaran
budi pekerti. Dan upaya untuk menumbuhkan budaya jujur mahasiswa, dapat
dilakukan melalui :
1. Pendidikan
Integritas.
2. Pendidikan
Karakter.
1. Pendidikan Integritas
Ketidakjujuran selalu dapat dihubungkan dengan
setiap gejala kerusakan dimensi kehidupan seseorang. Perilaku korupsi misalnya,
yang ditengarai akibat ketidakjujuran pejabat semakin bobrok. Begitu pula
perilaku tidak jujur mahasiswa, ditengarai karena mahasiswa tidak mempunyai
integritas. Integritas bukan kata atau istilah Indonesia, tetapi berasal dari
bahasa inggris yang berarti “the quality
of being honest and of always having high moral principles”. Yang pasti
integritas menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia yang luhur dan berbudi.
Integritas bertalian dengan moral yang bersih, kejujuran serta ketulusan
terhadap sesama dan Tuhan YME. Integritas berlaku pada segala atau semua bidang
kehidupan, misalnya bidang hukum, sosial, politik, ekonomi, dll.[5]
Pendidikan integritas adalah pendidikan yang
mengedepankan pembangunan karakter. Pendidikan seperti ini tidak hanya
mengandalkan terori, tapi mahasiswa juga harus bisa mempraktikkannya dalam kehidupan
sehari-hari. Maka dari itu Pendidikan Integritas muncul sebagai suatu kebutuhan
terhadap tantangan yang dihadapi mahasiswa, sebab tanpa prinsip dasar
integritas tidaklah mungkin tercapai tingkat efektifitas yang tinggi untuk menegakkan
kejujuran mahasiswa.
Sistem pendidikan harus dibangun dengan menekankan
pada prinsip-prinsip pendidikan integritas, dapat ditegaskan bahwa yang
terpenting dalam pendidikan integritas adalah, bagaimana menciptakan faktor
kondisional yang dapat mengundang dan memfasilitasi mahasiswa untuk selalu
berbuat secara jujur, moral dan beretika, dalam ujian (tidak “menyontek,
melakukan plagiat, titip absen, dll”) maka strateginya adalah mengkondisikan
faktor penyebab ketidakjujuran mahasiswa ke arah yang mendukung, yaitu sebagai
berikut:
Tabel
1.
Upaya
Membangun Budaya Jujur Mahasiswa
No.
|
Aspek
|
Upaya
yang Dilakukan
|
1.
|
Pribadi
|
a. Membangkitkan
rasa percaya diri mahasiswa
b. Arahkan
self consept mahasiswa ke arah yang
lebih proporsional
c. membiasakan
mahasiswa berpikir lebih realistis dan tidak ambisius.
|
2.
|
Lingkungan dan Kelompok
|
Meniptakan kesadaran disiplin dan kode
etik kelompok yang sarat dengan pertimbangan moral.
|
3.
|
Sistem Evaluasi
|
a.
Membuat instrumen evaluasi yang
valid dan reliable (yang tepat dan tetap)
b.
Menerapkan cara pemberian skor
yang benar-benar objektif
c.
Melakukan pengawasan yang ketat
d.
Bentuk soal disesuaikan dengan
perkembangan kematangan mahasiswa dan dengan mempertimbangkan prinsip paedagogy serta prinsip andragogy.
|
4.
|
Guru/ Dosen
|
a.
Berlaku objektif dan terbuka dalam
pemberian nilai.
b.
menunjukkan keteladanan dalam
perilaku moral.
c.
memberikan umpan balik atas
setiap penugasan.
|
Sumber: Sujinal Arifin, 2009, Menyontek: Penyebab dan Penanggulangannya, http://sujinalarifin.wordpress.com/2009/06/09/menyontek-penyebab-dan-penanggulangannya/, diakses pada
23 Maret 2012.
Pendidikan
integritas terhadap mahasiswa adalah sebagai paradigma baru dan upaya sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar mahasiswa
dapat secara efektif mengembangkan potensi dirinya, baik aspek kognisi, afeksi
dan sikomotoriknya sesuai dengan nilai-nilai integritas (keutuhan moralitas). Dan
pendidikan Integritas dapat dilaksanakan dengan cara :
1. Memesukkan
pendidikan integritas di institusi perguruan tinggi dan di harapkan pelajaran
integritas ini bisa diterapkan sehingga dapat mewujudkan efektifitas yang
tinggi untuk pemberantasan korupsi. Pendidikan integritas ini merupakan salah
satu upaya mencetak mahasiswa yang bermoral. Dalam proses pendidikan integritas
ini, para mahasiswa akan dikenalkan dengan berbagai praktek-praktek
penyimpangan misalnya, korupsi secara menyeluruh, maksutnya mahasiswa akan
dikenalkan apa itu korupsi, dampaknya, serta modus-modusnya, sehingga dengan
demikian mereka akan mengenal hinanya perbuatan korupsi pada akhirnya mahasiswa
tidak mau melakukannya.
2. Dengan
cara menguji pengetahuan (kognisi),
sikap (afeksi), dan tindakan (psikomotorik) para mahasiswa terkait
dengan sejumlah masalah-masalah kejahatan korupsi.
2.
Pendidikan Karakter
Universitas sebagai lembaga pendidikan
tinggi adalah salah satu sumber daya yang penting. Sambil mengevaluasi tujuan
kita, sangatlah penting untuk menyusun kurikulum yang secara jelas memuat
pendidikan karakter. Sedangkan yang dimaksut dengan karakter adalah:[6]
“Character determines someone’s private thoughts and
someone’s actions done. Good character is the inward motivation to do what is
right, according to the highest standard of behaviour, in every situation”.
Pendidikan
karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu
individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan
bernegara dan membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Karakter yang menjadi acuan seperti yang terdapat dalam The
Six Pillars of Character yang dikeluarkan oleh Character Counts!
Coalition (a project of The Joseph Institute of Ethics). Enam jenis
karakter yang dimaksud adalah sebagai berikut:[7]
a.
Trustworthiness, bentuk karakter yang membuat
seseorang menjadi: berintegritas, jujur, dan loyal.
b.
Fairness, bentuk karakter yang membuat seseorang
memiliki pemikiran terbuka serta tidak suka memanfaatkan orang lain.
c.
Caring, bentuk karakter yang membuat seseorang
memiliki sikap peduli dan perhatian terhadap orang lain maupun kondisi sosial
lingkungan sekitar.
d.
Respect, bentuk karakter yang membuat seseorang
selalu menghargai dan menghormati orang lain.
e.
Citizenship, bentuk karakter yang membuat seseorang
sadar hukum dan peraturan serta peduli terhadap lingkungan alam.
f.
Responsibility, bentuk karakter yang membuat
seseorang bertanggung jawab, disiplin, dan selalu melakukan sesuatu dengan
sebaik mungkin.
Pendidikan karakter penting bagi
pertumbuhan individu menjadi manusia yang seutuhnya dan sebaiknya dilakukan
sejak dini. Namun bukan berarti jika pendidikan dasar belum mengakomodasi
pendidikan karakter, perguruan tinggi juga merasa tidak perlu untuk
menyelenggarakannya. Penting bagi perguruan tinggi untuk tidak hanya
memperhatikan kebutuhan kompetensi akademis mahasiswa, tapi juga pembinaan
karakternya agar lulusan menjadi lulusan yang siap secara akademis dan
berkarakter baik.[8]
Tabel
2.
Implementasi
Pendidikan Karakter bagi Mahasiswa
No.
|
Aspek
|
Jenis Kegiatan
|
1.
|
Kurikuler
|
Terintegrasi melalui perkuliahan
|
2.
|
Kokurikuler
|
a.
Succes skill (ESQ
training, OSPEK)
b.
Tutorial Pendidikan Agama
c. Creativity training
d. Leadership training
e.
Entrepreneurship training
|
3.
|
Ekstrakurikuler
|
Kegiatan yang dirancang untuk
mengembangkan bakat, minat, dan kegemaran mahasiswa:
a. Penalaran
b. Olahraga
c. Seni
d. Minat khusus
|
Sumber:
Herminarto Sofyan, Implementasi Pendidikan
Karakter Melalui Kegiatan Kemahasiswaan, Makalah Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY).
Secara
rinci nilai-nilai karakter yang terkandung melalui kegiatan tersebut dapat
dilihat pada table berikut :
Tabel
3.
Nilai-nilai Karakter yang Dibangun
No.
|
Kegiatan
|
Nilai-nilai
Karakter
|
1.
|
Succes
skill (Orientasi studi, ESQ, dll)
|
Kejujuran,
tanggungjawab, kerjasama, kepedulian, visioner, disiplin.
|
2.
|
Tutorial Pendidikan
Agama
|
Keimanan,
kepatuhan, kejujuran, komitmen, tanggungjawab, dan disiplin, dsb.
|
3.
|
Pengembangan
Kreativitas
|
Kreatif,
motivasi,
inovatif, kritis, berani tampil beda,
dsb.
|
4.
|
Pelatihan
Kepemimpinan
|
Tanggungjawab,
disiplin, keteladanan, kejujuran, keberanian, dsb.
|
5.
|
Kewirausahaan
|
keuletan,
kecermatan, kejujuran
kemandirian, pantang menyerah, dsb.
|
Sumber:
Herminarto Sofyan, Implementasi Pendidikan
Karakter Melalui Kegiatan Kemahasiswaan, Makalah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Pembinaan mahasiswa melalui pendidikan integritas dan pendidikan karakter tersebut, diharapkan dapat menghasilkan sosok mahasiswa yang (1) cerdas komprehensif
(cerdas spiritual, emosional/sosial, intelektual, dan kinestetik), (2) memiliki
kemauan dan kemampuan untuk berkompetisi, (3) memiliki kemampuan untuk
menuangkan daya kreasi, (4) mampu untuk menangkap ide-ide dosen dan
perkembangan lingkungan, (5) tanggap dan memiliki sensitivitas terhadap realita
kehidupan di masyarakat, dan (6) mendapatkan kesempatan untuk menggunakan
fasilitas-fasilitas dan membangun jaringan baik di dalam dan di luar kampus.
Sehingga pada akhirya kajahatan korupsi bisa di berantas.[9]
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Akar dari masalah korupsi
di Indonesia adalah murni dari faktor ketidakjujuran pada waktu menjadi
mahasiswa. Saya masih mahasiswa, dan saya melihat bahkan merasakan itu semua,
bagaimana budaya ketidakjujuran mahasiswa sangat
sistemik. Semangat inovasi dan etos kerja para mahasiswa menunjukkan
grafik yang menghawatirkan. Indikatornya sederhana, terdapat
beberapa contoh budaya ketidakjujuran mahasiswa misalnya, mencontek,
plagiasi (penjiplakan
karya tulis) dan titip absen.
Orientasi
belajar mahasiswa di perguruan tinggi adalah hanya untuk mendapatkan nilai
tinggi dan gelar, artinya lebih banyak kemampuan kognitif daripada afektif dan
psikomotorik, inilah yang membuat mahasiswa mengambil jalan pintas atau
melakukan praktek ketidakjujuran.
Guna menciptakan
strategi untuk memberantas korupsi di indonesia, maka paradigma yang harus
dibangun terlebih dahulu adalah, dengan menumbuhkan budaya jujur dikalangan
mahasiswa. Namun yang menjadi kunci untuk menumbuhkan budaya jujur mahasiswa
yaitu dapat dilakukan melalui :
1. Pendidikan
Integritas.
2. Pendidikan
Karakter.
Saran
1.
perguruan tinggi harus memperhatikan
kebutuhan kompetensi akademis mahasiswa, tapi juga pembinaan karakternya agar
lulusan menjadi lulusan yang siap secara akademis dan berkarakter baik.
2.
perguruan tinggi harus lebih gencar
melancarkan kampanye budaya jujur di
kalangan mahasiswa dan dosen.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
J.E Sahetapy, 2011, Amburadulnya Integritas, Komisi Hukum
Nasional RI, Jakarta.
Makalah
Herminarto
Sofyan, Implementasi Pendidikan
Karakter Melalui Kegiatan Kemahasiswaan, Makalah Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY).
Wanda Chrisiana, Upaya
Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa (Studi Kasus Di Jurusan Teknik
Industri Uk Petra), Makalah pada Fakultas Teknologi Industri,
Jurusan Teknik Industri, Universitas Kristen Petra Surabaya.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Internet
Sindonews, Plagiat 3 Dosen UPI Batal Jadi Guru Besar,
http://www.sindonews.com/read/2012/03/03/447/586397/plagiat-3-dosen-upi-batal-jadi-guru-besar, 22 Maret 2012.
Sujinal Arifin,
2009, Menyontek: Penyebab dan
Penanggulangannya, http://sujinalarifin.wordpress.com/2009/06/09/menyontek-penyebab-dan-penanggulangannya/, 23 Maret 2012.
Yeti Kurniawati,
2011, Orang Pintar kok Plagiat sih, http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/25/orang-pintar-kok-plagiat-sih/, 22 Maret 2012.
[1]. Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas
Muhammadiah Malang (UMM).
[2]. Fungsi dan
tujuan pendidikan nasional adalah sebagai berikut, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab”, Lihat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional.
[3] . Yeti Kurniawati, 2011, Orang Pintar kok Plagiat sih, http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/25/orang-pintar-kok-plagiat-sih/, diakses pada 22 Maret 2012.
[4] . Sindonews, Plagiat
3 Dosen UPI Batal Jadi Guru Besar, http://www.sindonews.com/read/2012/03/03/447/586397/plagiat-3-dosen-upi-batal-jadi-guru-besar, diakses pada 22 Maret 2012.
[5]. J.E Sahetapy, 2011, Amburadulnya Integritas, (Jakarta:
Komisi Hukum Nasional RI), Hal. Xv-xvi.
[6] . Wanda Chrisiana, Upaya Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa (Studi
Kasus Di Jurusan Teknik Industri Uk Petra), Makalah pada Fakultas
Teknologi Industri, Jurusan Teknik Industri, Universitas Kristen Petra
Surabaya.
[7] . Ibid, hal. 84.
[8] . Ibid, hal. 88.
[9].
Herminarto
Sofyan, Implementasi Pendidikan
Karakter Melalui Kegiatan Kemahasiswaan, Makalah Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
3 comments