MENINGKATKAN INTEGRITAS DAN PROFESIONALISME APARATUR BIROKRASI SEBAGAI UPAYA MENSUKSESKAN REFORMASI BIROKRASI PEMERINTAH DAERAH[1]
M. Lutfi Chakim[2]
A. Pendahuluan
Integritas bukan kata atau istilah Indonesia, tetapi
berasal dari bahasa inggris yang berarti “the
quality of being honest and of always having high moral principles”. Yang
pasti integritas menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia yang luhur dan
berbudi. Integritas bertalian dengan moral yang bersih, kejujuran serta
ketulusan terhadap sesama dan Tuhan YME.[3] Begitu
juga dengan profesionalisme, yang berarti “Real professionalism is about
attitudes, and perhaps even about character”.[4] Integritas
dan profesionalisme berlaku pada semua bidang kehidupan misalnya, bidang hukum,
sosial, politik, ekonomi, dll.
Tuntutan terhadap peningkatan integritas dan profesionalisme
aparatur birokrasi, karena didorong sebagai bagian dari proses untuk mewujudkan
desentralisasi yang efisien, pemerintahan demokratis dan mempercepat
terwujudnya kesejahteraan rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai dasar
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Tentu harapan semua pihak baik
pemda maupun masyarakat adalah keberadan birokrasi yang dapat memberikan
pelayanan publik yang berkualitas. Dan kesuksesan reformasi birokrasi
ditentukan oleh kualitas pelayanan publik yang dilaksanakan oleh birokrasi
pemda. Sedangkan birokrasi yang baik didasarkan pada perwujudan perilaku aparatur
birokrasi yang berintegritas dan profesional.
Namun yang menjadi permasalahan adalah, integritas
dan profesionalisme belumlah melembaga di tubuh aparatur birokrasi. Masalah
kronis aparatur birokrasi saat ini adalah yang statusnya ‘sebagai alat negara’
sangat rentan dimaknai ‘sebagai alat kekuasaan’ oleh anggotanya yang masih
berorintasi kekuasaan dan materi. Kultur lama yang memandang kekuasaan sebagai
‘power over’ dan intervensi politik
yang disebabkan oleh nilai strategis dan pengaruhnya dalam politik ditengarai
sebagai penyebab utama demoralisasi aparatur birokrasi. Sehingga menyebabkan gagalnya
reformasi birokrasi di lingkup pemerintah daerah. Ada beberapa aspek yang dapat
menjelaskan gagalnya reformasi birokrasi baik di tingkat nasional maupun di
tingkat lokal (birokrasi pemerintahan daerah).[5]
Pertama,
Dalam hal perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, masih banyak hal
yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain
ditunjukkan dari data Transparency International pada tahun 2009, Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (2,8 dari 10) jika dibandingkan
dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara, kualitasnya masih perlu banyak pembenahan termasuk dalam
penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah
(SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan kementrian
atau lembaga dan Pemda masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju ke opini
Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).[6]
Kedua,
dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat menyediakan pelayanan publik
yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan
masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Hal ini
dapat dilihat dari hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa, kualitas pelayanan publik
Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat. Sedangkan
pada tahun 2008, skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69. Skor
integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti
ada tidaknya suap, ada tidaknya Standard Operating Procedures (SOP),
kesesuaian proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi,
keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan, dan kemudahan masyarakat
melakukan pengaduan.[7]
Ketiga,
dalam hal kemudahan berusaha (doing business), menunjukkan bahwa
Indonesia belum dapat memberikan pelayanan yang baik bagi para investor yang
berbisnis atau akan berbisnis di Indonesia. Hal ini antara lain tercermin dari
data International Finance Corporation pada tahun 2009. Berdasarkan data
tersebut, Indonesia menempati peringkat doing business ke-122
dari 181 negara atau berada pada peringkat ke-6 dari 9 negara ASEAN. Padahal
Indonesia merupakan salah satu pasar utama bagi investor global.[8]
Keempat,
dalam kaitan dengan kapasitas dan akuntabilitas kinerja birokrasi, kondisinya
masih banyak dikeluhkan masyarakat. Berdasarkan penilaian government
effectiveness yang dilakukan Bank Dunia, Indonesia memperoleh skor -0,43
pada tahun 2004, -0,37 pada tahun 2006, dan -0,29 pada tahun 2008, dari skala
-2.5 menunjukkan skor terburuk dan 2,5 menunjukkan skor terbaik. Meskipun pada
tahun 2008 mengalami peningkatan menjadi -0,29, skor tersebut masih menunjukkan
kapasitas kelembagaan/efektivitas pemerintahan di Indonesia tertinggal jika
dibandingkan dengan kemajuan yang dicapai oleh negara-negara tetangga. Kondisi
ini mencerminkan masih adanya permasalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan,
seperti kualitas birokrasi, pelayanan publik, dan kompetensi aparat pemerintah.
Selanjutnya, berdasarkan penilaian terhadap Laporan Akuntabilitas Kinerja
Instansi Pemerintah (LAKIP), pada tahun 2009 jumlah instansi pemerintah yang
dinilai akuntabel baru mencapai 24%. Gambaran di atas mencerminkan kondisi
birokrasi kita saat ini.[9]
Selain itu, data yang di rilis oleh Indonesia
Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa, di tahun 2011, Pegawai Negeri Sipil
(PNS) sebagai kelompok terbesar pelaku tindak pidana korupsi. Dalam catatan ICW
terdapat 1053 tersangka kasus korupsi sepanjang 2011. Sebanyak 239 diantaranya
belatar belakang pegawai negeri sipil, diikuti oleh direktur/ pimpinan
perusahaan swasta sebanyak 190 orang, serta anggota DPR/DPRD berjumlah 99
orang.[10]
Beberapa permasalahan aparatur
birokrasi pemerintah juga dapat diidentifikasi sebagai berikut:[11]
1. Terjadinya
mal administrasi yang sering dilakukan oleh birokrasi publik dan meluasnya
praktek KKN,
2. Rendahnya
profesionalisme aparat, kurang inovasi, tidak dinamis, kualitas yang masih
harus ditingkatkan,
3.
Lemahnya
sistem kontrol dalam birokrasi sehingga mendorong terjadinya in-efisiensi,
4.
Budaya
(culture) yang cenderung masih paternalistik, patron-client,
hedonistik, patrimonialistik, feodalistik,
5.
Masih
gemuknya lembaga-lembaga birokrasi tanpa adanya kejelasan dalam rincian tugas,
6.
Rendahnya
standar moral dan perilaku aparat dalam menjalankan fungsi-fungsi pelayanan,
dan
7.
Sistem
insentif yang dianggap kurang berkeadilan, dan lain-lain.
Berita-berita yang bersifat negatif tersebut muncul
akibat adanya beberapa perilaku pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh
oknum aparatur birokrasi dalam melayani masyarakat. Sehingga reformasi birokrasi
gagal dilaksanakan, dan yang terjadi adalah, ketidakmampuan aparatur birokrasi
dalam menghadapi kompleksitas yang bergerak secara eksponensial sekarang ini,
antipati, trauma, berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan
ancaman kegagalan pencapaian pemerintahan yang baik (good governance),
bahkan menghambat keberhasilan pembangunan nasional. Padahal pelanggaran hanya
dilakukan oleh segelintir oknum aparatur birokrasi yang tidak bertanggung
jawab, namun secara tidak langsung dapat mencoreng wajah birokrasi.
Maka dari itu, prinsip integritas dan
profesionalisme muncul sebagai suatu kebutuhan terhadap tantangan tugas yang
dihadapi aparatur birokrasi, sebab tanpa prinsip tersebut tidaklah mungkin
tercapai tingkat efektifitas dan produktivitas yang tinggi dalam melaksanakan
proses reformasi birokrasi. Berdasarkan penjelasan diatas, guna menetapkan
strategi yang tepat dalam melaksanakan reformasi birokrasi di lingkup pemda,
yang merupakan sesuatu yang sangat urgent dan relevan untuk segera dilakukan.
Oleh karena itu, tema sentral yang diangkat dalam penulisan ini adalah
“Meningkatkan Integritas dan Profesionalisme Aparatur Birokrasi Sebagai Upaya
Mensukseskan Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah”.
B. Reformasi Birokrasi Pemerintahan
Daerah dalam Mewujudkan Desentralisasi yang Efisien
Seiring dengan perubahan era pemerintahan di
Indonesia, dari era orde baru ke era reformasi, terjadi pula perubahan model pemerintahan
daerah dari sentralisasi ke desentralisasi. Desentralisasi yang sering
diartikan sebagai pelimpahan atau pembagian kewenangan (kekuasaan) pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah (local government). Dalam hal ini
pengertian local government bisa mempunyai dua arti. Pertama,
local government yang mendasarkan pada asas dekonsentrasi. Kedua,
local state government dalam arti local self autonomous
government.[12]
Perubahan model pemda dari sentralisasi ke
disentralisasi tersebut, terjadi pula perubahan pemahaman aparatur pemerintah
terhadap birokrasi. Implikasi praktis perubahan era pemerintahan tersebut membawa dampak terhadap perlunya untuk
meningkatkan perilaku aparatur birokrasi yang berintegritas dan profesional. Dalam tulisan ini akan memfokuskan
pada perilaku aparatur birokrasi pemerintahan daerah, karena birokrasi dalam
konteks desentralisasi dipengaruhi oleh peranan birokrasi pemda yang jauh lebih
besar dimensi tugas pelayanan kepada masyarakat. maka perlu ditingkatkan suatu
kerangka kerja aparatur birokrasi yang berintegritas dan profesional guna
mensukseskan reformasi birokrasi.
Karena memang, reformasi
birokrasi merupakan suatu kebutuhan baik di negara-negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia maupun dinegara-negara yang relatif sudah mapan. Maka
dari itu, Indonesia dapat melakukan langkah-langkah untuk reformasi birokrasi seperti
yang dilakukan oleh Negara-negara yang tergabung dalam OECD (organization
for economic cooperation and development) dengan melakukan :[13]
1. Decentralisation
of authority within governmental units and devolution of responsibilities to
lower levels of government;
2. A re-examination
of what government should both do and pay for, what it should pay for but not
do, and what it should neither do nor pay for;
3. Downsizing the
public service and privatisation and corporatisation of activities;
4. Consideration of
more cost-effective ways of delivering services, such as contracting out,
market mechanisms and user charges;
5. Customer orientation,
including explicit quality standards for public services;
6. Benchamarking and measuring performance
and;
7. Reforms designed
to simplify regulation and reduce its costs.
Selain itu, dalam mewujudkan desentralisasi otonomi
daerah yang efisien diperlukan juga langkah-langkah pelaksanaan secara
terencana dengan sistematis dan terpadu. UNDP
(united nations development
programme) mengemukaan 10 langkah pelaksanaan adalah sebagai berikut :[14]
1.
Understanding and appreciating the potential of good
governance for equitable development;
2.
Overcoming distrust among partners and gaining
mutual respect;
3.
Consensus building on core principles of
partnership, formalizing partnership, formalizing partnerships and assigning
specific responsibilities;
4.
Planning municipal development revenue and
mobilizing new resources;
5.
Reviewing municipal revenue and mobilizing new
resources;
6.
Reviewing and upgrading management tools for
governance and partnerships;
7.
Setting un system to obtain skills, informations and
knowledge on regular basis;
8.
Revision of procedures and legislation and
mid-course corrections;
9.
Regular review of performance;
10. Scalling up Good
Governance practice.
Untuk merumuskan strategi dalam melaksanakan reformasi
birokrasi (bureaucracy reform) dalam
mewujudkan desentralisasi yang efisien di daerah, maka perlu juga berlandaskan pengalaman
negara-negara yang tergabung dalam OECD (organization for economic
cooperation and development) dan
langkah-langkah yang dikemukakan oleh UNDP(united
nations development programme) tersebut.
C. Integritas Dan Profesionalisme Aparatur
Birokrasi Sebagai Upaya Mensukseskan Reformasi Birokrasi Pemerintah Daerah
Dalam melaksanakan reformasi birokrasi dan
mewujudkan desentralisasi yang efisien dan demokratis, maka sangat penting
untuk didasarkan pada perwujudan perilaku aparatur birokrasi yang berintegritas
dan profesional. Disinilah perlunya peningkatan kompetensi sumber daya aparatur
birokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang baik (good local
governance). Sehubungan dengan itu, birokrasi pemerintahan daerah yang baik
(good local governance) adalah birokrasi yang memiliki karakteristik ataupun
memiliki prinsip-prinsip:[15]
a.
Partisipasi
masyarakat,
b.
Supremasi
hukum (rule of law),
c.
Transparansi,
daya tanggap (responsif),
d.
Berorientasi
konsensus,
e.
Kesetaraan
dalam bentuk kesejahteraan, hak dan kewajiban, dan gender),
f.
Efektivitas
dan efisiensi,
g.
Akuntabilitas,
h.
Bervisi
strategis, dan
i.
Keseluruhannya
harus dapat diwujudkan secara terpadu dan saling berkaitan satu dengan lainnya.
Selain
itu, dikemukakan pula oleh Oemar Hamalik, (2000: 7-8) mengenai integritas dan
profesionalisme aparatur birokrasi. Menjelaskan bahwa, aparatur birokrasi pada
hakekatnya harus mengandung aspek :
1.
Aspek Potensial, bahwa setiap aparatur birokrasi
memiliki potensi-potensi herediter yang bersifat dinamis yang terus berkembang
dan dapat dikembangkan. Potensi-potensi itu antara lain: daya mengingat, daya
berfikir, bakat dan minat, motivasi, dan potensi-potensi lainnya.
2.
Aspek profesionalisme atau vokasional, bahwa
setiap aparatur birokrasi memiliki kemampuan dan keterampilan kerja atau
kejujuran dalam bidang tertentu dengan kemampuan dan keterampilan itu dia dapat
mengabdikan dirinya dalam lapangan kerja tertentu dan menciptakan hasil yang
baik secara optimal.
3.
Aspek fungsional, bahwa setiap aparatur
birokrasi melaksanakan pekerjaannya secara tepat guna, artinya dia bekerja
sesuai dengan tugas dan fungsinya dalam bidang yang sesuai pula. Misalnya aparatur
birokrasi yang memiliki keterampilan dalam bidang elektronik seharusnya bekerja
dalam bidang pekerjaan elektronik bukan bekerja sebagai tukang kayu untuk
bangunan.
4.
Aspek Operasional, bahwa setiap aparatur
birokrasi dapat mendayagunakan kemampuan dan keterampilannya dalam proses dan
prosedur pelaksanaan kegiatan kerja yang sedang ditekuninya.
5.
Aspek Personal, bahwa setiap aparatur birokrasi
harus memiliki sifat-sifat kepribadian yang menunjang pekerjaannya, misalnya
sikap mandiri dan tangguh, bertanggung jawab, tekun dan rajin, mencintai
pekerjaannya, berdisiplin dan berdedikasi yang tinggi.
6.
Aspek produktifitas, bahwa setiap aparatur
birokrasi harus memiliki motif berprestasi, berupaya agar berhasil, dan
memberikan hasil dari pekerjaanya baik kuantitas maupun kualitas.
Berdasarkan hal tersebut, maka kebijaksanaan
pengembangan SDM aparatur birokrasi harus diproyeksikan pada kemampuan dan atau
pengetahuan umum (general knowledge), teknis spesifik (technical
knowledge), pengorganisasi tugas/pekerjaan (job organizing), wawasan
administrasi (administrative concept), serta kemauan untuk selalu
melakukan pengenalan diri (self knowledge). Aparatur yang memiliki
perilaku (attitude) dan atau ketertarikan (interest) dalam
hal-hal: sikap percaya diri (self confidence), berorientasi pada
tindakan (action eoriented), dorongan
untuk selalu meningkatkan kualitas diri, serta sikap tanggung jawab (responsibility)
sangat dibutuhkan dalam memodernisasi lembaga publik (pemerintah) ini.[16]
Selain itu, standarisasi profesionalisme pada aparatur birokrasi juga harus
berdasarkan dengan prinsip the right man on the right place.
Oleh karena itu, strategi dan kebijakan untuk
meningkatkan integritas moral dan profesionalisme aparatur birokrasi dapat
diimplementasikan dalam bentuk program yang secara simultan dilaksanakan
melalui:
1. Proses
seleksi yang diadakan untuk merekruit SDM aparatur birokrasi dilaksanakan
seobyektif mungkin, dengan menggunakan standar yang tinggi dan ketat dan
pelaksanaan proses seleksi yang jujur.
2. Dalam
rangka meningkatkan integritas dan profesionalisme, aparatur birokrasi harus
dapat menerapkan prinsip-prinsip good governance, seperti prinsip keterbukaan (transparancy) dan akuntabilitas (accountability).
Keterbukaan dapat diartikan bahwa aparatur birokrasi adalah bagian dari
masyarakat, yang berintegrasi dengan masyarakat serta memiliki hak yang sama
sebagai warga negara. Akuntabilitas artinya aparatur birokrasi harus dapat
mempertanggungjawabkan semua perilakunya secara hukum, dan meminimalisir
pelanggaran yang terjadi.
3. Perbaikan-perbaikan sistem promosi aparatur birokrasi, pendidikan
dan pelatihan, serta mekanisme pengawasan yang lebih memberikan peran serta yang
besar kepada masyarakat terhadap perilaku aparatur birokrasi. Misalnya dengan
melaksanakan:
a. Pendidikan dan pelatihan kepemimpinan;
b. Pendidikan dan pelatihan fungsional;
c. Pendidikan dan pelatihan teknis;
d. Penegakan disiplin aparatur birokrasi melalui
pemberian reward and punish ment.
4. Peningkatan kesejahteraan aparatur birokrasi yang sesuai dengan
pemenuhan kebutuhan hidup. Sebagai bagian dari upaya penegakan supremasi hukum.
Secara kelembagaan aparatur birokrasi yang belum sesuai menjadi penyebab tidak
berjalannya reformasi birokrasi.
Kearah upaya meningkatkan integritas dan
profesionalisme inilah aparatur birokrasi harus dibawa dan diposisikan guna
dapat mengemban tugas pokoknya secara lebih baik, sebab hanya dengan demikian aparatur
birokrasi akan memperoleh kredibilitas, legalitas, akuntanbilitas dan wibawanya
sehingga senantiasa, akan dekat dan dapat dipercaya oleh rakyatnya. Dan pada
akhirnya reformasi birokrasi menjadi sukses, sehingga desentralisasi yang
efisien dapat terwujud.
D. Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa:
1. Permasalahan-permasalahan
yang yang di hadapi oleh aparatur birokrasi muncul sebagai akibat adanya
beberapa perilaku pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh oknum aparatur
birokrasi dalam melayani masyarakat. Sehingga reformasi birokrasi gagal
dilaksanakan, dan yang terjadi adalah, ketidakmampuan aparatur birokrasi dalam
menghadapi kompleksitas yang bergerak secara eksponensial sekarang ini,
antipati, trauma, berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, dan
ancaman kegagalan pencapaian pemerintahan yang baik (good governance),
bahkan menghambat keberhasilan pembangunan nasional. Padahal pelanggaran hanya
dilakukan oleh segelintir oknum aparatur birokrasi yang tidak bertanggung
jawab, namun secara tidak langsung dapat mencoreng wajah birokrasi.
2. Maka
dari itu, prinsip integritas dan profesionalisme muncul sebagai suatu kebutuhan
terhadap tantangan tugas yang dihadapi aparatur birokrasi, sebab tanpa prinsip
tersebut tidaklah mungkin tercapai tingkat efektifitas dan produktivitas yang
tinggi dalam melaksanakan proses reformasi birokrasi.
Saran
Dalam rangka meningkatkan integritas Polri dan profesionalisme
Polri dibidang penegakan hukum :
1. Aparatur
pemerintah (birokrasi) harus selalu ditingkatkan.
2. Setiap
aparatur birokrasi harus melaksanakan prinsip integritas dan profesionalisme.
DAFTAR
PUSTAKA
Buku
J.E
Sahetapy, 2011, Amburadulnya Integritas,
Jakarta: Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia.
Tri
Ratnawati. (2000). “Desentralisasi dan
Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia”. Dalam Sidik Jatmika. Otonomi
Daerah: Perspektif Hubungan Internasional. Yogyakarta: BIGRAF
Publishing.
Peraturan
Perundang-undangan
Undang-undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945
Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi
2010-2025
Internet
Alam Tauhid Syukur, Peningkatan
Kompetensi Sumber Daya Aparatur Birokrasi: Kunci Sukses Good Local Governance
(Suatu Refleksi Atas Fungsi Dan Peran
STIA-LAN Makassar Sebagai Pendidikan Tinggi Kedinasan), Artikel tanpa
tahun, Internet, di Akses Pada 20 April 2012.
Asep Kartiwa,
2005, Reformasi Birokrasi untuk
Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang Baik, Orasi ilmiah, disampaikan pada
Acara Wisuda Mahasiswa STISIP Widyapuri Mandiri, pada tanggal 4 Agustus 2005.
David
H. Maister, 1997, True Professionalism :
The Courage to Care About Your People, Your Clients and Your Career, Internet, di akses pada 20 april 2012.
Danang
Probotanoyo, 2012, Mendidik Calon-calok Koruptor Via Universitas, http://www.analisadaily.com/news/read/2012/03/19/41224/mendidik_caloncalon_koruptor_viauniversitas/, diakses pada
20 April 2012.
[1]. Essai di tulis untuk mengikuti lomba penulisan
essai desain birokrasi yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Akutansi Negara
Bintaro.
[2]. Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiah Malang (UMM).
[3]. J.E Sahetapy, 2011, Amburadulnya Integritas, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional RI), Hal.
Xv-xvi.
[4]. David H. Maister,
1997, True
Professionalism : The Courage to Care About Your People, Your Clients and Your
Career, Internet, di akses pada 20 April 2012, hal. 3.
[5]. Birokrasi lokal yang selanjutnya disebut
birokrasi pemda (pemerintahan daerah) terkait dengan penyelenggaraan
dekonsentrasi dan desentralisasi pemerintahan. Birokrasi pemda yang terkait
dengan penyelenggaraan.
[6]. Lihat Lampiran Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi
Birokrasi 2010-2025, hal. 6.
[7] . Ibid.
[8] . Ibid,
hal. 7.
[9] . Ibid.
[10]. Danang Probotanoyo, 2012, Mendidik
Calon-calok Koruptor Via Universitas, http://www.analisadaily.com/news/read/2012/03/19/41224/mendidik_caloncalon_koruptor_viauniversitas/, diakses pada 20 April 2012.
[11]. Alam Tauhid Syukur, Peningkatan Kompetensi Sumber Daya Aparatur Birokrasi: Kunci Sukses
Good Local Governance (Suatu Refleksi
Atas Fungsi Dan Peran STIA-LAN Makassar Sebagai Pendidikan Tinggi Kedinasan),
Artikel tanpa tahun, Internet, diakses pada 20 April 2012, hal. 3.
[12]. Tri Ratnawati.
(2000). “Desentralisasi dan Hubungan
Pemerintah Pusat dan Daerah di Indonesia”. Dalam Sidik Jatmika. Otonomi
Daerah: Perspektif Hubungan Internasional. Yogyakarta: BIGRAF
Publishing, hal. 18-28.
[13]. Asep Kartiwa,
2005, Reformasi Birokrasi untuk
Mewujudkan Pemerintahan Daerah yang Baik, Orasi ilmiah, disampaikan pada
Acara Wisuda Mahasiswa STISIP Widyapuri Mandiri, pada tanggal 4 Agustus 2005,
hal. 19.
[14].
Ibid, hal. 20.
[15]. Alam
Tauhid Syukur, op cit, hal. 5.
[16] . Ibid.
1 comments