KONSTITUSI
Istilah
“konstitusi”[1]
dalam arti pembentukan, berasal dari bahasa Perancis constituer, yang berarti membentuk.[2]
M. Solly Lubis, juga mengemukakan Istilah “konstitusi” berasal dari “constituer” (bahasa Perancis) yang
berarti membentuk. Dengan pemakaian istilah konstitusi, yang dimaksud ialah
pembentukan suatu negara, atau menyusun dan menyatakan suatu negara.[3]
Sebagaimana yang dinyatakan oleh K.C Wheare, sebagai berikut :[4]
“a constitution is indeed the
resultant of parallelogram of forces political, economic, and social which
operate at the time its adoption” (konstitusi
merupakan hasil resultan dari segi kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang beroperasi pada saat diadopsi). (Terjemah oleh Penulis).
Konstitusi menurut Carl Schmitt,
merupakan keputusan atau konsensus bersama tentang sifat dan bentuk suatu
kesatuan politik (eine
Gesammtentscheidung über Art und Form einer politischen Einheit), yang
disepakati oleh suatu bangsa.[5]
Sedangkan James Bryce mengartikan konstitusi adalah : [6]
“A frame of political society, organized
through and by law, that is to say on in which law has established permanent
institution with recognized functions and definite rights” (Sebuah kerangka masyarakat
politik, diselenggarakan melalui
dan oleh hukum, artinya di mana hukum telah
membentuk lembaga permanen
dengan fungsi yang diakui dan dengan hak-hak yang pasti).
(Terjemah oleh Penulis).
Prof. Herman Heller membagi
pengertian konstitusi itu ke dalam tiga pengertian yakni sebagai berikut:[7]
1. Konstitusi mencerminkan kehidupan
politik di dalam suatu masyarakat sebagai suatu kenyataan (Die politische Verfassung als Gesellschaftliche Wirklichkeit) dan
belum merupakan konstitusi dalam arti hukum (ein rechtsverfassung) atau dengan perkataan lain konstitusi itu
masih merupakan pengertian sosiologis atau politis dan belum merupakan hukum.
2. Baru setelah orang-orang mencari
unsur hukumnya dari konstitusi yang hidup dalam masyarakat itu untuk dijadikan
dalam satu kesatuan kaidah hukum, maka konstitusi itu disebut Rechtsverfassung
(Die Verselbstandgle Rechtsverfassung).
Tugas untuk mencari unsur hukum dalam ilmu pengetahuan hukum disebut dengan
istilah abstraksi.
3. Kemudian orang mulai menuliskan
dalam suatu naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam
suatu negara. Dengan demikian menjadi jelaslah bagi kita, bahwa bilamana kita
menghubungkan pengertian konstitusi tersebut dengan pengertian Undang-Undang
Dasar, maka Undang-Undang Dasar itu hanyalah merupakan sebagian dari pengertian
konstitusi itu sendiri. Dengan perkataan lain, konstitusi itu (die geschriebene verfassung), menurut
beberapa para sarjana merupakan sebagian dari konstitusi dalam pengertian umum.
Pada dasarnya
peraturan-peraturan (Konstitusi) ada yang tertulis sebagai keputusan badan yang
berwenang, berupa UUD atau UU dan ada yang tidak tertulis yang berupa usage, understanding, customs atau
convention.[8]
Dalam hal itu, A.A.H
Struycken sebagaimana dikutip oleh Sri Soemantri, menjelaskan bahwa konstitusi
merupakan sebuah dokumen formal yang berisikan empat hal pokok, yakni:[9]
1. Hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang
lampau;
1.
Tingkat-tingkat
tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;
2.
Pandangan
tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik untuk waktu sekarang maupun
untuk masa yang akan datang; dan
3.
Suatu
keinginan, dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaraan bangsa hendak
dipimpin.
Lebih lanjut James
Bryce, menyatakan terdapat tiga tujuan (objectives)
dari pembentukan suatu konstitusi, yakni:[10]
1. “to establish and maintain a frame of government
under which the work of the state can be effciently carried on, the aims of such
a frame of government being on the one hand to associate the people with the
government and on the other hand, to preserve public order, to avoid hasty
decision and to maintain a tolerable continuity of policy” (untuk membangun dan mempertahankan kerangka
pemerintah di mana pekerjaan negara dapat
dilaksanakan secara efisien pada, tujuan
seperti kerangka pemerintah
berada di satu sisi untuk mengasosiasikan masyarakat dengan pemerintah
dan di sisi lain,
untuk menjaga ketertiban umum,
untuk menghindari keputusan terburu-buru dan untuk mempertahankan kelangsungan ditoleransi kebijakan);
2. “to provide due security for the rights of the
individual citizen as respects person, property, and opinion, so that he shall
have nothing to fear from the executive of from the tyranny of an excited
majority” (untuk memberikan keamanan karena hak-hak dari perseorangan
warga negara sebagai pribadi, properti, dan pendapat, sehingga ia tidak perlu takut dari eksekutif tirani mayoritas);
3.
“to hold the
state together, not only to prevent its disruption by the revolt or secession
of a part of the nation, but to strengthen the cohesiveness of the country by
creating good machinery for connecting the outlying parts with the center, and
by appealing to every motive of interest and sentiment, that can leas all
sections of the inhabitants to desire to remain united under on governments” (untuk memegang negara bersama-sama,
tidak hanya untuk mencegah gangguan
oleh pemberontakan atau pemisahan diri dari
bagian bangsa, tetapi untuk memperkuat kekompakan negara dengan menciptakan mesin yang baik untuk
menghubungkan bagian-bagian terpencil
dengan pusat, dan dengan motif menarik bagi setiap
kepentingan dan sentimen, yang semua bagian penduduk menginginkan untuk tetap bersatu di bawah pemerintahan).
(Terjemah oleh Penulis).
Merujuk pada beberapa
pendapat tersebut diatas, tampaklah betapa pentingnya konstitusi bagi bangunan
ketatanegaraan bagi suatu Negara. Karena konstitusi adalah dasar bagi landasan
pijak dan arah kemana negara akan dibawa terutama dalam mewujudkan good government.
[1] Istilah “konstitusi” dalam bahasa Indonesia
antara lain berpadanan dengan kata “constitution”
(bahasa Latin), “constitution”
(bahasa Inggris), “constitutie”
(bahasa Belanda), “constitutionnel”
(bahasa Perancis), “verfassung”
(bahasa Jerman), “masyrutiyah”
(bahasa Arab), lihat Astim Riyanto, 2000, Teori
Konstitusi, YAPEMDO, Bandung, hal. 17.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4] Istilah Konstitusi pada ummumnya
dipergunakan untuk menunjuk kepada seluruh peraturan mengenai ketatanegaraan
suatu negara yang secara keseluruhan akan menggambarkan system ketatanegaraan.
Lihat K.C. Wheare, 1969, Modern
Constitution, Oxford University Press, London, hlm. 68.
[5] A. Hamid S.
Attamimi, 1990, Peranan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintah Negara (Suatu
Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam
Kurun Waktu Pelita I – Pelita VI. Disertasi Doktor Universitas Indonesia,
Jakarta, hal. 288, dalam Maria Farida
Indrawati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang
Undangan: Dasar-Dasar Dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, hal. 28.
[6] Dahlan Thaib,
Jazim Hamidi, dan Ni’matul Huda, 2005, Teori
Dan Hukum Konstitusi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 11.
[7]
Astim Riyanto, op cit, hal.
20.
[8]
Walaupun peraturan-peraturan ini tidak merupakan Undang-undang, tatapi
tidak berarti tidak efektif dalam mengatur Negara. Disamping itu pada
kebanyakan Negara, system ketatanegaraannya (yang terdapat dalam hokum tata
negaranya) merupakan campuran antara yang tertulis dan yang tidak tertulis.
Misalnya dikerajaan Inggris, suatu Negara yang menganut (common law system). Di Indonesia sendiri dalam pidato kenegaraan
setiap tanggal 16 agustus, sebagai suatu konvensi yang sanagat berpengaruh
dalam penyelenggaraan ketatanegaraan. Titik Triwulan tutik, 2008, pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia
Pasca Amandemen UUD 1945, Serdas Pustaka, Jakarta, hal. 106.
[9]
Sri Soemantri, 2006, Prosedur dan
Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, hal. 3.
[10]
Ibid, hal.56.
0 comments