MENGHAPUSKAN SISTEM KONTRAK KARYA UNTUK INVESTOR ASING DALAM KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS (MIGAS) SEBAGAI LANGKAH STRATEGIS MENUJU KEDAULATAN ENERGI
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam
(SDA), baik sumberdaya alam yang terbarukan (renewable) maupun yang tidak terbarukan (non renewable), hal ini merupakan sumberdaya alam yang esensial
bagi kelangsungan hidup manusia. Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki oleh
Indonesia adalah minyak dan gas (migas), yang termasuk dalam golongan
sumberdaya alam non renewable. Minyak
dan gas (migas), diyakini banyak kalangan sebagai komoditi tulang punggung
ekonomi Indonesia hingga kini. Dilihat dari angka-angka, sektor migas merupakan salah satu
andalan untuk mendapatkan devisa dalam rangka kelangsungan pembangunan negara. Hal
ini merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai suatu kehidupan yang
dicita-citakan, yaitu tertuang
pada alinea 4 pembukaan UUD 1945 yakni, “…melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum…”. Selain itu, juga untuk mewujudkan welfare state atau negara kesejahteraan sesuai
dengan amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sehingga dengan adanya amanat
tersebutlah yang mengharuskan pemerintah untuk merumuskan langkah-langkah strategis
menuju kedauatan energi yaitu dengan cara menghapuskan sistem kontrak karya (KK)
untuk investor asing dalam kegiatan usaha minyak dan gas (migas) yang selama
ini di terapkan.
Istilah kontrak karya merupakan terjemahan dari kata work of contract. Salim HS, dalam
bukunya yang berjudul Perancangan Kontrak, mengartikan kontrak karya adalah:
“suatu kerja sama di mana pihak asing membentuk suatu badan hukum Indonesia dan
badan hukum Indonesia ini bekerja sama dengan badan hukum Indonesia yang
menggunakan modal nasional”.
Keberadan sistem
kontrak melalui kontrak karya migas ini dalam prakteknya sangatlah merugikan
kepentingan nasional, masyarakat dan lingkungan. Karena dalam sistem kontrak karya yang
ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk
ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup
menarik, namun ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Karena saat ini
yang paling siap untuk berkompetisi adalah perusahaan-perusahaan multinasional
seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain
sebagainya. Karena perusahaan mulinasional tersebut yang paling siap untuk
berkompetisi, maka perusahaan multinasional tersebutlah yang nantinya akan
merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Pada akhirnya
yang akan terjadi adalah bergantinya monopoli pertamina pada oligopoli
perusahaan multinasional.
Saat ini, banyak perusahaan asing yang mengeksplorasi migas
dengan sistem kontrak karya. Umumnya, kontrak karya itu berlangsung lama
sekitar 30 tahun. Hal ini sangatlah merugikan negara, karena satu
hal yang harus disadari bahwa, keberadaan investor asing kedalam suatu negara
adalah semata-mata untuk mencari keuntungan dari negara yang dimasukinya. Sulit
untuk berharap bahwa keberadaan infestor asing bukan tidak membawa kebaikan.
Karena, dalam sistem kontrak karya pemerintah tidak dapat terlibat langsung untuk mengawasi
kegiatan eksplorasi migas. Sebab, dalam kontrak karya investor asing mempunyai
kendali penuh terhadap proses ekplorasi migas. Alhasil, pemerintah tidak tahu
persis besarnya hasil eksplorasi migas. Sehingga ada kekhawatiran, hasil
eksplorasi migas tersebut lebih banyak dibawa lari ke luar negeri tanpa
sepengetahuan pemerintah Indonesia.
Dari perpektif
konstitusi, penerapan kontrak karya migas sangatlah bertentangan dengan amanat Pasal
33 ayat 3 UUD 1945 yang memberikan mandat kepada negara melalui hak penguasaaan negara, tafsir
Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa yang dimaksut dengan hak menguasai negara
adalah negara dalam posisi untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga dengan adanya kontrak karya migas maka hak penguasaaan
negara atas sumberdaya alam migas menjadi hilang, negara juga tidak lagi masih
mempunyai hak penuh atas Beleid (perumusan kebijakan), Bestuursdaad
(pengurusan), Regelendaad (pengaturan), Beheersdaad
(pengelolaan), dan Toezichthoudendaad (pengawasan).
Pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) juga dapat timbul dari kontrak karya migas oleh perusahaan asing,
misalnya hak rakyat rakyat atas lingkungan hidup yang dijamin oleh peraturan
perundang-undangan. Perusahaan
asing dalam mengeksplorasi migas sangatlah merusak
lingkungan, sehingga persoalan ini menjadi pemicu lahirnya perlawanan rakyat,
seperti kasus Aceh, Riau dan Kaltim. Kasus Mobil Oil yang sudah lama
disengketakan orang Aceh, masih juga belum cukup jadi referensi bagi pengambil
kebijakan untuk mengubah susbstansi dan perilaku kebijakan. Negara secara
semena-mena mereduksi perlawanan rakyat atas ketidakadilan menjadi persoalan
perimbangan keuangan semata. Pandangan seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah.
Berdasarkan uraian
diatas, maka guna menetapkan strategi yang tepat dalam menuju kedaulatan energi
yang merupakan sesuatu yang urgen dan relevan untuk segera dilakukan. Oleh
karena itu, tema sentral yang diangkat dalam penulisan ini adalah “Menghapuskan Sistem Kontrak Karya
untuk Investor Asing dalam Kegiatan Usaha Minyak dan Gas (Migas) Sebagai Langkah
Strategis Menuju Kedaulatan Energi”.
Meletakkan Kontrak Karya pada
Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan pada Investor Asing
Pengaturan tentang perekonomian nasional dan
kesejahteraan sosial, didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan bagi
sistem ekonomi Pancasila, yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi. Dengan
rumusan sebagai berikut:
1)
Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2)
Cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3)
Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4)
perekonomian Indonesia diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5)
ketentuan lebih lanjut mengenai
pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.
Jiwa Pasal 33 UUD 1945 diatas
berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan penguasaan barang untuk
kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara. Pengaturan ini
berdasarkan anggapan bahwa, pemerintah adalah pemegang mandat untuk
melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Untuk itu, pemegang mandat ini
seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang mengontrol kebijakan yang dibuatnya
dan dilakukannya, sehingga dapat tercipta peraturan perundang-undangan sebagai
penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang sesuai dengan semangat
demokrasi ekonomi.
Tetapi saat ini,
penerapan pasal 33 UUD 1945 dilapangan menimbulkan polemik, kontroversi bahkan
perlawanan masyarakat. Beberapa Permasalahan
dalam implementasi Pasal 33 UUD 1945, misalnya masyarakat yang
menanggung resiko terbesar dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam termasuk
minyak dan gas (migas), tanpa mendapat perlindungan selayaknya. Kasus masuknya
infestor asing yang mengeruk habis sumberdaya alam khususnya migas di Indonesia
dengan menerapkan kontrak karya sama sekali tidak mencerminkan jiwa pasal 33
UUD 1945. Sehingga
perkembangan ekonomi Indonesia bergerak menuju ekonomi liberal, hal itu
tercermin dari penerapan sistem kontrak karya untuk investor asing dalam
eksplorasi pertambangan minyak dan gas (migas).
Maka dari itu, langkah strategis yang tepat
menuju kedaulatan energi adalah dengan cara menghapuskan sistem kontrak karya bagi investor asing dalam
kegiatan usaha migas melalui revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001. Sebagai gantinya, sistem kontrak karya hanya akan dipegang
oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu pertamina bukan pada investor asing.
Pertamina merupakan state
company atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tentu saja ada tujuan sosial,
disamping untuk memperoleh keuntungan (profit).
Untuk itu, pertamina harus menjadi bagian dari ketahanan (energi) nasional dengan
target menyediakan energi didalam negeri Indonesia. Pertamina harus mampu menguasai cadangan (reserves) besar di Indonesia. Kita harus
mengarahkan agar Pertamina mulai bisa mandiri dan jadi pemain lokal. Dan jika
sudah besar, maka diharapkan akan dapat bermain di tingkat global.
M. Lutfi Chakim (Mahasiswa FH-UMM)
0 comments