Latest Posts

MENGHAPUSKAN SISTEM KONTRAK KARYA UNTUK INVESTOR ASING DALAM KEGIATAN USAHA MINYAK DAN GAS (MIGAS) SEBAGAI LANGKAH STRATEGIS MENUJU KEDAULATAN ENERGI

By 6:12:00 PM , , ,


Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam (SDA), baik sumberdaya alam yang terbarukan (renewable) maupun yang tidak terbarukan (non renewable), hal ini merupakan sumberdaya alam yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Salah satu sumberdaya alam yang dimiliki oleh Indonesia adalah minyak dan gas (migas), yang termasuk dalam golongan sumberdaya alam non renewable. Minyak dan gas (migas), diyakini banyak kalangan sebagai komoditi tulang punggung ekonomi Indonesia hingga kini. Dilihat dari angka-angka, sektor migas merupakan salah satu andalan untuk mendapatkan devisa dalam rangka kelangsungan pembangunan negara. Hal ini merupakan upaya yang sungguh-sungguh untuk mencapai suatu kehidupan yang dicita-citakan, yaitu tertuang pada alinea 4 pembukaan UUD 1945 yakni, “…melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum…”. Selain itu, juga untuk mewujudkan welfare state atau negara kesejahteraan sesuai dengan amanat pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sehingga dengan adanya amanat tersebutlah yang mengharuskan pemerintah untuk merumuskan langkah-langkah strategis menuju kedauatan energi yaitu dengan cara menghapuskan sistem kontrak karya (KK) untuk investor asing dalam kegiatan usaha minyak dan gas (migas) yang selama ini di terapkan.

Istilah kontrak karya merupakan terjemahan dari kata work of contract. Salim HS, dalam bukunya yang berjudul Perancangan Kontrak, mengartikan kontrak karya adalah: “suatu kerja sama di mana pihak asing membentuk suatu badan hukum Indonesia dan badan hukum Indonesia ini bekerja sama dengan badan hukum Indonesia yang menggunakan modal nasional”.

Keberadan sistem kontrak melalui kontrak karya migas ini dalam prakteknya sangatlah merugikan kepentingan nasional, masyarakat dan lingkungan. Karena dalam sistem kontrak karya yang ditawarkan adalah membuka suatu kesempatan bagi perusahaan swasta lain untuk ikut berkompetisi dalam distribusi dan pemasaran migas. Sepintas ide ini cukup menarik, namun ancaman di balik itu sungguh sangat mengerikan. Karena saat ini yang paling siap untuk berkompetisi adalah perusahaan-perusahaan multinasional seperti Mobil Oil, Shell, Caltex, Texaco, Unocal, Vico, Total dan lain sebagainya. Karena perusahaan mulinasional tersebut yang paling siap untuk berkompetisi, maka perusahaan multinasional tersebutlah yang nantinya akan merebut pangsa pasar distribusi dan pemasaran migas di Indonesia. Pada akhirnya yang akan terjadi adalah bergantinya monopoli pertamina pada oligopoli perusahaan multinasional.

Saat ini, banyak perusahaan asing yang mengeksplorasi migas dengan sistem kontrak karya. Umumnya, kontrak karya itu berlangsung lama sekitar 30 tahun. Hal ini sangatlah merugikan negara, karena satu hal yang harus disadari bahwa, keberadaan investor asing kedalam suatu negara adalah semata-mata untuk mencari keuntungan dari negara yang dimasukinya. Sulit untuk berharap bahwa keberadaan infestor asing bukan tidak membawa kebaikan. Karena, dalam sistem kontrak karya pemerintah tidak dapat terlibat langsung untuk mengawasi kegiatan eksplorasi migas. Sebab, dalam kontrak karya investor asing mempunyai kendali penuh terhadap proses ekplorasi migas. Alhasil, pemerintah tidak tahu persis besarnya hasil eksplorasi migas. Sehingga ada kekhawatiran, hasil eksplorasi migas tersebut lebih banyak dibawa lari ke luar negeri tanpa sepengetahuan pemerintah Indonesia.

Dari perpektif konstitusi, penerapan kontrak karya migas sangatlah bertentangan dengan amanat Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang memberikan mandat kepada negara melalui hak penguasaaan negara, tafsir Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa yang dimaksut dengan hak menguasai negara adalah negara dalam posisi untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga dengan adanya kontrak karya migas maka hak penguasaaan negara atas sumberdaya alam migas menjadi hilang, negara juga tidak lagi masih mempunyai hak penuh atas Beleid (perumusan kebijakan), Bestuursdaad (pengurusan), Regelendaad (pengaturan), Beheersdaad (pengelolaan), dan Toezichthoudendaad (pengawasan).

Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) juga dapat timbul dari kontrak karya migas oleh perusahaan asing, misalnya hak rakyat rakyat atas lingkungan hidup yang dijamin oleh peraturan perundang-undangan. Perusahaan asing dalam mengeksplorasi migas sangatlah merusak lingkungan, sehingga persoalan ini menjadi pemicu lahirnya perlawanan rakyat, seperti kasus Aceh, Riau dan Kaltim. Kasus Mobil Oil yang sudah lama disengketakan orang Aceh, masih juga belum cukup jadi referensi bagi pengambil kebijakan untuk mengubah susbstansi dan perilaku kebijakan. Negara secara semena-mena mereduksi perlawanan rakyat atas ketidakadilan menjadi persoalan perimbangan keuangan semata. Pandangan seperti itu tidak akan menyelesaikan masalah.

Berdasarkan uraian diatas, maka guna menetapkan strategi yang tepat dalam menuju kedaulatan energi yang merupakan sesuatu yang urgen dan relevan untuk segera dilakukan. Oleh karena itu, tema sentral yang diangkat dalam penulisan ini adalah “Menghapuskan Sistem Kontrak Karya untuk Investor Asing dalam Kegiatan Usaha Minyak dan Gas (Migas) Sebagai Langkah Strategis Menuju Kedaulatan Energi”.

Meletakkan Kontrak Karya pada Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bukan pada Investor Asing

Pengaturan tentang perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, didasarkan pada Pasal 33 UUD 1945 sebagai landasan bagi sistem ekonomi Pancasila, yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi. Dengan rumusan sebagai berikut:
1)      Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
2)      Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
3)      Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
4)      perekonomian Indonesia diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
5)      ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang.


Jiwa Pasal 33 UUD 1945 diatas berlandaskan semangat sosial, yang menempatkan penguasaan barang untuk kepentingan publik (seperti sumber daya alam) pada negara. Pengaturan ini berdasarkan anggapan bahwa, pemerintah adalah pemegang mandat untuk melaksanakan kehidupan kenegaraan di Indonesia. Untuk itu, pemegang mandat ini seharusnya punya legitimasi yang sah dan ada yang mengontrol kebijakan yang dibuatnya dan dilakukannya, sehingga dapat tercipta peraturan perundang-undangan sebagai penjabaran Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang sesuai dengan semangat demokrasi ekonomi.

Tetapi saat ini, penerapan pasal 33 UUD 1945 dilapangan menimbulkan polemik, kontroversi bahkan perlawanan masyarakat. Beberapa Permasalahan dalam implementasi Pasal 33 UUD 1945, misalnya masyarakat yang menanggung resiko terbesar dari aktivitas eksploitasi sumberdaya alam termasuk minyak dan gas (migas), tanpa mendapat perlindungan selayaknya. Kasus masuknya infestor asing yang mengeruk habis sumberdaya alam khususnya migas di Indonesia dengan menerapkan kontrak karya sama sekali tidak mencerminkan jiwa pasal 33 UUD 1945. Sehingga perkembangan ekonomi Indonesia bergerak menuju ekonomi liberal, hal itu tercermin dari penerapan sistem kontrak karya untuk investor asing dalam eksplorasi pertambangan minyak dan gas (migas).

Maka dari itu, langkah strategis yang tepat menuju kedaulatan energi adalah dengan cara menghapuskan sistem kontrak karya bagi investor asing dalam kegiatan usaha migas melalui revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001.  Sebagai gantinya, sistem kontrak karya hanya akan dipegang oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yaitu pertamina bukan pada investor asing.

Pertamina merupakan state company atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tentu saja ada tujuan sosial, disamping untuk memperoleh keuntungan (profit). Untuk itu, pertamina harus menjadi bagian dari ketahanan (energi) nasional dengan target menyediakan energi didalam negeri Indonesia.  Pertamina harus mampu menguasai cadangan (reserves) besar di Indonesia. Kita harus mengarahkan agar Pertamina mulai bisa mandiri dan jadi pemain lokal. Dan jika sudah besar, maka diharapkan akan dapat bermain di tingkat global.

M. Lutfi Chakim (Mahasiswa FH-UMM)

You Might Also Like

0 comments