Perlindungan terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum
1.
Pengertian Anak
Di Indonesia sendiri ada beberapa peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang anak, misalnya Undang-Undang No.
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
Undang-Undang Nomor 4 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak dan Berbagai peraturan lain
yang berkaitan dengan masalah anak.
Pengertian
anak berdasarkan Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak yaitu :
“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18
(delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”
Sedangkan
berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak juga menjelaskan tentang anak yang berkonflik
dengan hukum, yaitu :
“Anak yang Berkonflik
dengan Hukum yang selanjutnya disebut Anak adalah anak yang telah berumur 12
(dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga
melakukan tindak pidana.”
Kemudian menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia, juga menjelaskan tentang pengertian anak yaitu
sebagai berikut:
“Anak
adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum
menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi
kepentingannya.”
Pengertian
anak juga terdapat pada Pasal 1 Convention On The Rights of The Child,
anak diartikan sebagai setiap orang dibawah usia 18 tahun, kecuali berdasarkan
hukum yang berlaku terhadap anak, kedewasaan telah diperoleh sebelumnya.
Beberapa
negara juga memberikan definisi seseorang dikatakan anak atau dewasa dilihat
dari umur dan aktifitas atau kemampuan berpikirnya. Di negara Inggris, pertanggungjawaban
pidana diberikan kepada anak berusia 10 (sepuluh) tahun tetapi tidak untuk
keikutsertaan dalam politik. Anak baru dapat ikut atau mempunyai hak politik
apabila telah berusia di atas 18 (delapan belas) tahun.[1]
Sedangkan bila bertitik tolak dari laporan penelitian Katayen H
Cama, batas umur minimal bervariasi dari umur 7-15 tahun. Hal ini
dipertegas dengan redaksional yaitu, Bahwa dalam tahun 1953 berdasarkan laporan
Katayen H. Cama, hakim pengadilan Anak Bombay, India yang mengadakan
research untuk dapertamen Sosial dari Perserikatan Bangsa-bangsa atas
permintaan Social Commison dari Economic and Social Council menyatakan,
bahwa:
a. Di
Bima, Ceylon dan Pakistan, seorang anak dibawah usia 7 tahun dianggap tidak
melakukan kejahatan;
b. Di
Jepang, tindak pidana atau pelanggaran yang dilakukan oleh kurang dari 14 tahun
tidak dapat dihukum;
c. Di
Filipina, anak-anak dibawah 9 tahun tidak dapat dipertanggung jawabkan secara
criminal;
d. Di
Bima Ceylon dan Pakistan, seorang anak diantara umur 7 tahun dan dibawah 12
tahun dan Filipna seorang anak di antara umur 9 tahun dan dibawah 15 tahun
tidak dapat dipertanggungjawabkan atas tindak pidana yang dilakukannya, apabila
ia pada waktu melakukannya belum dapat menghayati bahwa apa yang dilakukannya
adalah salah.[2]
2. Perlindungan Anak
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan bahwa
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan
hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara
optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi.
Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur tentang asas dan tujuan
perlindungan anak yakni pasal 2 dan pasal 3, sebagai berikut:
Pasal 2: penyelenggara
perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar konvensi hak anak meliputi:
1. Non
diskriminasi
2. Kepentingan
yang terbaik bagi anak
3. Hak
untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
4. Penghargaan
terhadap anak.
Pasal 3: perlindungan
terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak, mulia
dan sejahtera.
Pasal 2 huruf c
Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menegaskan hak untuk hidup,
kelangsungan hidup, dan perkembangan merupakan hak asasi yang paling mendasar
bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintrah, keluarga, orang tua,
sekaligus merupakan hak setiap manusia yang paling asasi.
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang, orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 Undang-Undang
Perlindungan Anak menentukan:
“Negara,
pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan
bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”
Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu:
1. Menghormati
dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan,
jenis kelamin,etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran
anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21);
2. Memberikan
dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal
22);
3. Menjamin
perlindungan, pemeliharaan, dan kesejahteraan anak dengan memperhatikan hak dan
kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara umum bertanggung jawab
terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);
4. Menjamin
anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia
dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24)
Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak
dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan
perlindungan anak (Pasal 25 Undang-Undang Perlindungan Anak).
Kewajiban tanggungjawab keluarga dan orang tua dalam usaha
perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan
Anak, yaitu:
a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b. Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
3.
Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Berdasarkan
Pasal 1 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,
yang dimaksut dengan anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict
with the law), adalah sebagai berikut :
“Anak yang Berhadapan
dengan Hukum adalah Anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban
tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana.
Melihat kecendrungan yang ada di media saat ini, baik media cetak
maupun media elektronik, jumlah tindak pidana yang dilakukan oleh anak
(juvenile delinquency) semakin meningkat dan semakin beragam modusnya. Masalah
delinkuensi anak ini merupakan masalah yang semakin kompleks dan perlu segera
diatasi, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Menurut Romli Atmasasmita
dalam Wagiati Soetodjo, motivasi intrinsik dan ekstrinsik dari kenakalan anak
adalah sebagai berikut :[3]
1.
Yang termasuk motivasi
intrinsik dari pada kenakalan anak-anak adalah :
a.
Faktor intelegentia;
b.
Faktor usia;
c.
Faktor kelamin;
d.
Faktor kedudukan anak dalam
keluarga.
2. Yang termasuk motivasi ekstrinsik
adalah :
a.
aktor rumah tangga;
b.
Faktor pendidikan dan
sekolah;
c.
Faktor pergaulan anak;
d.
Faktor mass media.
Berbagai faktor tersebut memungkinkan bagi anak untuk melakukan
kenakalan dan kegiatan kriminal yang dapat membuat mereka terpaksa berhadapan
dengan hukum dan sistem peradilan. Anak yang melakukan tindak pidana ini bisa
disebut pula dengan anak yang berhadapan dengan hukum.
Terkait
upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum,
sistem peradilan pidana anak harus dimaknai secara luas, ia tidak hanya
dimaknai hanya sekedar penanganan anak yang berhadapan dengan hukum semata.
Namun sistem peradilan pidana anak harus juga dimaknai mencakup akar
permasalahan (root causes) mengapa anak melakukan perbuatan pidana dan
upaya pencegahannya. Lebih jauh, ruang lingkup sistem peradilan pidana anak
mencakup banyak ragam dan kompleksitas isu mulai dari anak melakukan kontak
pertama dengan polisi, proses peradilan, kondisi tahanan, dan reintegrasi
sosial, termasuk pelaku-pelaku dalam proses tersebut. 5 Dengan demikian,
istilah sistem peradilan pidana anak merujuk pada legislasi, norma dan standar,
prosedur, mekanisme dan ketentuan, institusi dan badan yang secara khusus
diterapkan terhadap anak yang melakukan tindak pidana.[4]
[1] Marlina, Peradilan
Pidana Anak Di Indonesia Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice ,
Refki Aditama, Bandung, 2009, hlm. 34-35.
[2] Lilik Mulyadi,
2005. Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana, Bandung, PT. Cipta Aditya
Bakti. Hal. 16-17.
[3] Soetodjo, Wagiati, 2006. Hukum Pidana Anak. Bandung, PT. Refika Aditama. Hal. 17.
[4] Anna Volz,
Advocacy Strategies Training Manual: General Comment No.10: Children’s Rights
in Juvenile Justice, Defence for Children International, 2009. Dalam Yayasan
Pemantau Hak Anak, Anak yang Berhadapan dengan Hukum dalam
Perspektif Hukum Hak Asasi Manusia Internasional, Internet, hal 1. Diakses pada 19 September
2012.
3 comments