Plea Bargaining
Tulisan berikut telah dipublikasikan di "Rubrik Kamus Hukum" Majalah Konstitusi Mahkamah Konstitusi No. 100 Juni 2015, selengkapnya dapat di
download dan dibaca via www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
merupakan upaya untuk mewujudkan hukum acara pidana nasional yang lebih
memberikan jaminan kepastian hukum, penegakan hukum yang adil, dan perlindungan
Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satu perubahan mendasar tercantum dalam Pasal
199 RUU KUHAP yaitu mengatur tentang Jalur Khusus, yang dapat diartikan sebagai
sebuah pengakuan yang memberi keuntungan. Mekanisme Jalur Khusus dalam RUU
KUHAP mungkin terdengar asing dalam sistem peradilan pidana Indonesia, namun sebenarnya
mekanisme tersebut sudah lama diimplementasikan di beberapa negara common
law seperti Amerika Serikat yang telah ada sejak abad ke-19 yaitu dikenal
dengan istilah Plea Bargaining.
Black’s Law Dictionary Ninth Edition (2009) mengartikan Plea Bargaining adalah
sebagai suatu
bentuk negosiasi atau kesepakatan dalam prosedur hukum antara
jaksa penuntut umum dengan terdakwa, dimana terdakwa yang mengakui kesalahannya
akan mendapat kompensasi berupa pengurangan hukuman atau didakwa dengan
tindak pidana yang lebih ringan.
Sementara menurut John H. Langbein dalam Understanding
The Short History of Plea Bargaining (1979) yang dikutip Ichsan Zikry (2014) menyatakan, Plea Bargaining mengandung
perjanjian antara penuntut umum dan terdakwa atau penasehat hukumnya yang
berujung pada pengakuan bersalah oleh terdakwa. Jaksa penuntut umum setuju
untuk memberikan tuntutan yang lebih ringan dibanding dengan menempuh mekanisme
persidangan yang mungkin akan merugikan terdakwa karena kemungkinan mendapatkan
hukuman yang lebih berat.
Sedangkan Timothy Lynch dalam The Case Againts Plea Bargaining (2003) menyatakan, Plea Bargaining terdiri dari kesepakatan
(formal maupun informal) antara terdakwa dan jaksa penuntut umum. Jaksa penuntut
umum biasanya setuju dengan mengurangi hukuman penjara yang dalam hal ini
mengesampingkan hak konstitusional non
self incrimination dan hak untuk diadili dari terdakwa.
Berdasarkan definisi diatas, hal yang menarik dalam
membahas Plea Bargaining adalah jaksa penuntut umum dan terdakwa akan bernegosiasi
untuk mencari kesepakatan yang paling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Namun
mekanisme tersebut bukan dalam kerangka tawar-menawar hukuman, namun lebih
kepada tujuan untuk efesiensi dan efektivitas penegakan hukum.
Menurut Romly Atmasasmita
dalam Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme
(1996), alasan pokok bagi penuntut umum untuk melakukan Plea Bargaining disebabkan
oleh 2 (dua) hal yaitu, pertama,
karena beban perkara yang sangat besar sehingga menyulitkan kedudukan penuntut
umum untuk bekerja secara efektif mengingat faktor waktu. Kedua, karena penuntut umum berpendapat bahwa kemungkinan akan
berhasilnya penuntutan sangat kecil karena kurangnya bahan pembuktian atau si
terdakwa merupakan orang yang dianggap “respectable” dikalangan juri.
Faktor-faktor lain yang
mempengaruhi implementasi Plea Bargaining menurut Mardjono Reksodiputro
dalam Renungan Perjalanan Reformasi Hukum (2013) yaitu, 1) masalah pembuktian
yang dirasa jaksa penuntut umum kurang kuat; 2) masalah saksi yang dirasakan jaksa
penuntut umum kurang meyakinkan; 3) adanya kemungkinan diversi (pretrial
diversion). Plea Bargaining dilakukan dengan suatu “guilty plea”
dari terdakwa dengan imbalan dakwaan yang diperingan dan/atau tuntutan pidana
yang diperingan. Dengan proses ini hakim tidak lagi melakukan pemeriksaan di sidang
(trial) dan segera dapat menjatuhkan pidana. Sehingga Plea Bargaining dianggap cost
effective dan mengurangi beban kejaksaan dan pengadilan (murah dan cepat).
Praktik di negara-negara
yang yang
telah mengatur Plea Bargaining, menurut
Regina Rauxloh dalam Plea Bargaining in National and
International Law (2012) yang dikutip Choky Ramadhan (2013) menyatakan,
mekanisme negosiasi antara jaksa dan terdakwa secara umum ada 3 (tiga) bentuk, yaitu,
1) charge bargaining (negosiasi pasal yang didakwakan), yaitu
jaksa menawarkan untuk menurunkan jenis tindak pidana yang didakwakan; 2) fact
bargaining (negosiasi fakta hukum), yaitu jaksa hanya akan
menyampaikan fakta-fakta yang meringankan terdakwa; dan 3) sentencing
bargaining (negosiasi hukuman), yaitu negosiasi antra jaksa dengan terdakwa
mengenai hukuman yang akan diterima terdakwa, hukuman tersebut umumnya lebih
ringan.
Dalam praktik di Amerika Serikat, menurut Timothy
Lynch dalam The Case Againts Plea
Bargaining (2003), bahwa 90% kasus diselesaikan dengan mekanisme Plea
Bargaining, alasan yang mendorong penggunaan mekanisme tersebut adalah
karena pihak penuntut umum dievaluasi positif berdasarkan tingkat keberhasilan
dakwaan yang diajukan. Sehingga, strategi win at all cost sering
digunakan. Dalam negara-negara yang sudah mengakuinya, setiap orang memiliki
hak due process, sehingga mereka dapat menolak Plea Bargaining.
Namun, sering kali jika seseorang menolak Plea Bargaining, justru akan
mendapatkan dakwaan penuh dalam persidangan. Contohnya adalah kasus Bordenkircher
vs. Hayes pada tahun 1978, dimana terdakwa Hayes didakwa karena memalsukan
uang senilai $88.30 dan diancam dengan hukuman 2-10 tahun. District Attorney
atau Jaksa Penuntut Umum menawarkan Hayes 5 tahun hukuman sesuai prosedur Plea
Bargaining, namun, Hayes menolak dan kemudian maju ke persidangan.
Akhirnya, Hayes mendapatkan hukuman seumur hidup dengan alasan Hayes merupakan
seorang recidivis dengan 2 (dua) tindak kejahatan sebelumnya.
Sedangkan di Indonesia, sebenarnya juga telah mengenal
konsep semacam Plea Bargaining,
hal itu dapat ditemukan pada ketentuan Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang menyatakan, “Seorang saksi yang juga tersangka dalam
kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat
dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan”.
Namun, ketentuan tersebut jarang sekali digunakan oleh jaksa dan hakim dalam
memutus suatu perkara.
Disamping itu, kententuan yang khusus mengatur mekanisme
semacam Plea Bargaining terdapat pada
Pasal 199 RUU KUHAP menyatakan, Pada
saat penuntut umum membacakan surat dakwaan, terdakwa mengakui semua perbuatan
yang didakwakan dan mengaku bersalah melakukan tindak pidana yang ancaman
pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun, penuntut umum dapat
melimpahkan perkara ke sidang acara pemeriksaan singkat. Namun hakim juga dapat
menolak pengakuan terdakwa jika hakim ragu terhadap kebenaran pengakuan
terdakwa. Dengan
hadirnya mekanisme Jalur Khusus dalam RUU KUHAP tersebut, maka proses
persidangan yang memakan waktu lama dan bertele-tele akan berlangsung cepat,
sehingga menjadi efektif dan efisien.
Berdasarkan penjelasan diatas, terdapat perbedaan
antara Plea Bargaining di Amerika
Serikat dengan Jalur Khusus yang diatur dalam RUU KUHAP, perbedaan mendasarnya
adalah, 1) Plea Bargaining di Amerika
Serikat dapat implementasikan terhadap seluruh tindak pidana, mulai dari tindak
pidana ringan hingga tindak pidana berat. Sedangkan Jalur Khusus dalam RUU KUHAP
dibatasi yaitu hanya dapat dilakukan pada tindak pidana yang ancaman pidananya
tidak lebih dari 7 tahun penjara. 2) Pengakuan bersalah pada “Jalur
Khusus” yang diatur dalam RUU KUHAP tidak menggunakan negosisasi (negotiation before trial) sebagai
dorongan dari penuntut umum untuk memaksa tersangka/terdakwa sehingga mengakui
kesalahannya, hal itu berbanding terbalik dalam Plea Bargaining. 3) mekanisme
Plea bergaining di Amerika Serikat
dalam menggali pengakuan terdakwa tidak dilakukan di depan hakim, sedangkan di
Indonesia mekanisme Jalur Khusus dilakukan di depan hakim.
Perbedaan tersebut yang
membuat Jalur Khusus dalam RUU KUHAP kurang tepat jika disebut sebagai Plea
Bargaining. Meminjam istilah Graham Hughes dalam Pleas Without Bargains
(1980) yang dikutip Choky
Ramadhan (2013) menyatakan, bahwa Jalur Khusus dalam RUU KUHAP lebih tepat
disebut “pleas without bargains” atau
“pengakuan bersalah tanpa negosiasi”.
M Lutfi Chakim
0 comments