PENGGUNAAN HAK MENYATAKAN PENDAPAT PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG NOMOR 27 TAHUN 2009
Fungsi cheks and balances dalam lembaga kenegaraan merupakan tujuan utama amandemen UUD 1945. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi bertumpu pada satu institusi Negara saja. Amandemen UUD 1945 membawa implikasi yang sangat luas terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang memegang peranan penting dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya untuk benar-benar melaksanakan demokrasi. Peran penting tersebut diberikan sebagai konsekuensi dari pergeseran model pemerintahan menjadi sistem presidensiil.
Berdasarkan pasal 20A ayat (1) UUD 1945 menyatakan, DPR merupakan Dewan perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga Negara, yang memiliki fungsi antara lain: (1). Fungsi Legislasi, yaitu fungsi untuk membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden, untuk mendapat persetujuan bersama. (2). Fungsi Anggaran, yaitu fungsi untuk menyusun dan menetapkan anggaran pendapatan dan belanja Negara (APBN). (3). Fungsi Pengawasan, yaitu fungsi melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UUD RI, undang-undang, dan peraturan pelaksananya, mekanisme pengawasan tersebut karena demi menghindari jalannya pemerintahan yang otoriter, sebagaimana pernah dialami dalam sejarah republik.
Dalam rangka menjalankan tugas dan wewenangnya tersebut, maka berdasarkan pasal 20A ayat (2) UUD 1945 Jo. Pasal 77 UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), menyatakan sebagai Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki tiga hak, antar lain: (1). Hak Interplasi, yaitu hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. (2). Hak Angket, yaitu hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. (3). Hak Menyatakan Pendapat, yaitu hak DPR untuk menyatakan pendapat atas :
- kebijakan Pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi ditanah air atau di dunia internasional;
- tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dan hak angket ; atau
- dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Mahkamh Konstitusi (MK) pada 12 januari lalu dalam putusannya No23-26/PUU-VIII2010, menyatakan pasal 184 (4) UU No. 27 Tahun 2009 bertentangan dengan UUD 1945, dan akibatnya tidak mempunyai kekuatan mengikat. Putusan MK tersebut mengabulkan sejumlah anggota DPR, yaitu Lily Chadidjah Wahid, Bambang Soesatyo, dan Akbar Faizal. Para pemohon mempermasalahkan pasal 184 (4) UU No. 27 Tahun 2009 yang mengatur ratio hak menyatakan pendapat harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit ¾ (tiga perempat), dengan persetujuan ¾ (tiga perempat) dari sejumlah anggota DPR yang hadir.
Argumentasi Pemohon dalam Perkara No. 23-26/PUU-VIII/2010 Judicial Review
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009
Para pemohon berargumentasi bahwa, rumusan pasal 184 (4) UU No. 27 Tahun 2009 tersebut bertentangan dengan pasal 7B ayat (3) serta pasal 20A ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945. Selain itu, menurut Maqdir Ismail (kuasa hukum pemohon), pengaturan dalam pasal 184 (4) tersebut telah mempersulit pelaksanaan atau bahkan mereduksi hak konstitusional bagi para anggota DPR dalam melaksanakan tugasnya sebagai pengawas pemerintah. Apalagi dalam konteks pelaksanaan prinsip cheks and balances, hak menyatakan pendapat adalah representasi dari fungsi DPR sebagai lembaga pengawas terhadap kinerja pemerintah (eksekutif). Alasannya rumusan dalam pasal tersebut melebihi dari apa yang telah ditentukan dalam konstitusi dan sangat sulit untuk dipenuhi. Akibatnya potensi DPR untuk menggelar sidang hak menyatakan pendapat akan sangat kecil, bahkan mustahil.
Selain itu, konstitusi juga telah mengatur batas kuorum terkait pengajuan permintaan pendapat dari DPR kepada MK. Dan, persyaratan kuorumnya relative lebih ringan dibandingkan pengaturan didalam UU No. 27 Tahun 2009, yakni pengajuan permintaan (pendapat) dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang peripurna dan dihadiri sekurang-kurangnya oleh 2/3 dari jumlah anggota DPR.
Menurut, M. Fajrul Falaakh (Ahli yang dihadirkan pemohon), sebagai perbandingan, jika jumlah anggota DPR adalah 560 orang, maka presentase kehadiran sesuai UU No. 27 Tahun 2009 adalah 75%, sedangkan pasal 7B ayat (3) UUd 1945 ‘hanya’ mensyaratkan 66%. Begitupula syarat kuorum pengambilan keputusan, untuk UU No. 27 Tahun 2009 harus disetujui oleh minimal 315 orang. Padahal logikanya, jikapun memang ada pengaturan terkait hal itu, usul permintaan pendapat DPR ke MK seharusnya lebih berat dibandingkan usul hak menyatakan pendapat.
Perbandingan Pengaturan Jumlah Kuorum
Berdasarkan Pasal 7B ayat (3) UUD 945
1. Kuorum kehadiran Paling Sedikit
2/3 x 560 = 373 orang anggota DPR atau = 60% dari anggota DPR
2. Kuorum Pengambilan keputusan paling sedikit disetujui
2/3 x 373 orang = 248 orang anggota DPR atau = 44% dari anggota DPR
Berdasarkan Pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009
1. Kuorum kehadiran Paling Sedikit.
¾ x 560 = 420 Orang anggota DPR atau = 75% dari anggota DPR
2. Kuorum Pengambilan keputusan paling sedikit disetujui
¾ x 420 = 315 orang anggota DPR atau = 56% dari anggota DPR.
Oleh karena itu, syarat ¾ yang terdapat dalam UU No. 27 Tahun 2009 merupakan upaya memangkas hak konstitusional DPR, sekaligus merintangi hak DPR untuk menyatakan pendapat dalam rangka pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden, karena itu menurut menurut M. Fajrul Falaakh, ketidakhadiran ¼ atau 26% anggota pada rapat paripurna DPR akan menggagalkan kehendak untuk menggunakan hak menyatakan pendapat.
Argumentasi Pemerintah dalam Perkara No. 23-26/PUU-VIII/2010 Judicial Review
Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009
Sebaliknya, argumentasi pemerintah dan DPR, menegaskan bahwa pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 tidaklah bertentangan dengan UUD 1945. Pemerintah menjelaskan, rumusan itu muncul dengan pertimbangan agar pengambilan keputusan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat strategis dan dapat menimbulkan dapmpak tertentu yang bersekala nasional didukung oleh mayoritas anggota DPR secara signifikan.
Disisi lain persyaratan dukungan sekurang-kurangnya ¾ tersebut untuk memperkuat sistem pemerintahan peresidensil dimana kedaulatan berada pada rakyat, sehingga pemerintah tidak dengan mudah dijatuhkan (dimakzulkan) oleh DPR, serta bertujuan untuk memperkokoh pemerintah yang stabil dan demokratis. DPR, dalam jawabannya juga menyatakan secara substansi pasal Pasal 7B ayat (3) UUD 945 adalah berbeda dengan pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009, karena, dalam hal ini konstitusi mengatur mengenai syarat formil pengajuan permintaan DPR kepada MK, sedangkan UU No. 27 Tahun 2009 mengatur tentang syarat formil pengajuan hak menyatakan pendapat DPR dalam rapat paripurna DPR.
Putusan Mahkamah Konstitusi serta Penggunaan Hak Menyatakan Pendapat Pasca Putusan Perkara No. 23-26/PUU-VIII/2010 Judicial Review Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009
Mahkamah Konstitusi (MK) berpendapat, menurut sistem ketatanegaraan Indonesia, hak menyatakan pendapat ada yang bersifat umum (lex generalis) sebagaimana diatur dalam pasal 20A UUD 1945; dan ada yang bersifat khusus (Lex specialis) sebagaimana diatur dalam pasal 7B UUD 1545 dilakukan dalam sidang paripurna yang dihadri paling sedikit 2/3 anggota DPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 anggota DPR yang hadir.
Sedangkan pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009, mengatur semua jenis hak menyatakan pendapat baik berdasarkan pasal 20A UUD 1945 (Lex generalis) maupun pasal 7A dan 7B UUD 1945 (Lex Specialis). Semua jenis hak itu mencakup hak DPR untuk menyatkan pendapat atas kebijakan pemerintah, kejadian luar biasa, tindak lanjut hak interplasi dan hak angket, serta dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum.
Mahkamah Konstitusi (MK), berkesimpulan bahwa syarat kuorum dan persetujuan tersebut mengakibatkan DPR tidak dapat secara efektif melaksanakan pengawasan terhadap pemerintah, sehingga tidak sejalan dengan prinsip chek and balances yang dianut dalam UUD 1945. MK sependapat dengan para ahli, bahwa rumusan dalam pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 jauh lebih berat dari persyaratan yang diperlukan dalam perubahan UUD 1945 yang justru terkait dengan system pemerintahan Indonesia.
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya No23-26/PUU-VIII2010, bahwa, pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 bertentangan dengan pasal 7B ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan usul pemberhentian presiden dan/atau Wakil Presiden ke MK harus memperoleh 2/3 dukungan dari jumlah anggota DPR yang hadir. MK beralasan, pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 memunculkan penambahan syarat kuorum dari 2/3 menjadi 3/4 , maupun syarat persetujuan keputusan DPR. Aturan tersebut tentu akan lebih mempersulit pelaksanaan hak menyatakan pendapat. Akibatnya ketentuan pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 tidak mempunyai kekuatan mengikat
Dan dengan menimbang bahwa dengan tidak berlakunya ketentuan pasal 184 ayat (4) UU No. 27 Tahun 2009 berdasarkan putusan MK ini, ketentuan persyaratan pengambilan keputusan mengenai ‘usul’ penggunaan hak menyatakan pendapat berlaku ketentuan mayorutas sederhana.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Putusan Mahkamah Konstititusi dalam Perkara No. 23-26/PUU-VIII/2010.
Majalah Konstitusi, Edisi No. 48-Januari-2011.
Penulis : M. Lutfi Chakim, Mahasiswa FH-UMM
0 comments