Demokrasi Perwakilan
Aristoteles membedakan tiga macam pemerintahan berdasarkan jumlah
orang yang memerintah, yaitu monarki, oligarki dan demokrasi. Jika demokrasi
adalah kekuasaan pada rakyat, maka monarki adalah kekuasaan pada satu orang, dan
oligarki adalah kekuasaan pada sedikit orang.[1]
Salah satu tiga macam pemerintahan menurut Aristoteles tersebut
adalah demokrasi, yang kemudian dikenal bermacam-macam istilah. Ada yang dinamakan
demokrasi konstitusional, demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, demokrasi
pancasila, demokrasi rakyat, demokrasi soviet, demokrasi nasional, dan
sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang menurut asal kata
berarti rakyat yang berkuasa atau government
by the people, (kata yunani demos
berarti rakyat, kratos/kratein
berarti kekuasaan/berkuasa.[2]
Jadi demokrasi merupakan gagasan yang mengandaikan bahwa kekuasaan
itu adalah dari, oleh dan untuk rakyat. Dalam pengertian yang partisipatif,
demokrasi bahkan disebut sebagai kekuasaan dari, oleh dan bersama rakyat. Dan
oleh karena itu rakyatlah yang menentukan dan memberi arah serta yang
sesungguhnya menyelenggarakan kehidupan kenegaraan.[3]
Hampir semua teoritisi bahkan sejak zaman klasik selalu menekankan
bahwa sesungguhnya yang berkuasa dalam demokrasi adalah rakyat atau demos, populus. Oleh karena itu, selalu ditekankan peran demos yang
senyatanya dalam proses politik yang berjalan. Paling tidak, dalam dua tahap
utama: pertama, agenda setting, yaitu tahap untuk memilih
masalah apa yang hendak dibahas dan diputuskan. Kedua, deciding the outcome,
yaitu tahap pengambilan keputusan.[4]
Sesudah perang dunia ke II kita dapat melihat gejala bahwa, secara
formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara dunia. Menurut suatu
penelitian yang diselenggarakan oleh UNESCO dalam tahun 1949 maka: “mungkin
untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling
baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang
diperjuangkan oleh pendukung-pendukung
yang berpengaruh “Probably for the
first time in history democracy is claimed as the proper ideal description of
all system of political and social organizations advocated by in-fluential
proponents” (Mungkin untuk
pertama kalinya dalam sejarah demokrasi diklaim sebagai gambaran yang ideal yang
tepat dari semua sistem organisasi
politik dan sosial yang
dianjurkan oleh para pendukung).[5]
Kedudukan yang sentral dari demokrasi ini telah meluluhlantakkan
teori-teori lainnya mengenai tatanan kekuasaan yang baik, yang pernah
ditawarkan oleh kalangan filsuf, ahli hukum, dan pakar ilmu politik hingga awal
milenium ketiga ini. Sebagaimana ditelaah oleh Larry Berman dan Bruce Allen
Murphy dalam buku Approaching Democracy, disebutkan
sebagai berikut: [6]
“Democracy as a political system has become
increasingly popular. The number of democracies worldwide, just a handful a
century ago, increased from there of four dozen in the 1950s to 118 of the 191
countries by the end of 1996, containing 62 percent of the world’s population,
the highest total in history. Clearly, we live in an age of democratic
aspirations, and for many who seek to achieve democracy...” (Demokrasi sebagai sistem politik menjadi semakin
populer. Jumlah negara demokrasi di seluruh dunia, hanya beberapa abad yang
lalu meningkat dari tahun 1950 menjadi 118 dari 191 negara pada akhir 1996, 62
persen dari populasi dunia, jumlah tertinggi dalam sejarah. Jelas, kita hidup
di zaman aspirasi demokratis, dan bagi banyak orang yang berusaha untuk
mencapai demokrasi...). (Terjemah oleh Penulis).
Pemerintahan yang demokratis terdapat pada kurang dari separuh
negara yang ada didunia, yang berisikan kurang dari separuh penduduk dunia. Cina
dan Rusia memiliki penduduk besar baru melakukan transisi ke arah demokrasi.
Bahkan di negara-negara demokrasi yang telah lama berdiri saat ini sedang
mengalami krisis. Mereka mempersoalkan apakah para pemimpin yang terpilih,
partai politik, dan pejabat pemerintah, dapat dan mau dengan adil dan berhasil
menanggulangi masalah-masalah seperti pengangguran yang berlanjut, kemiskinan,
kriminalitas, kesejahteraan, imigrasi, perpajakan, dan korupsi.[7]
Negara-negara di dunia dapat dibagi menjadi negara yang tidak
demokratis, negara yang baru menjadi demokratis, dan negara demokratis lama.[8]
Negara yang tidak demokratis tantangannya adalah bagaimana melakukan transisi
kearah demokrasi. Bagi negara yang baru demokratis tantangannya adalah
bagaimana demokrasi dapat diperkuat atau di konsolidasikan sehingga dapat
bertahan terhadap berbagai ujian. Sedangkan bagi negara demokrasi lama adalah
bagaimana memperdalam demokrasi itu sendiri.[9]
Sebuah dorongan ke arah partisipasi demokratis akan berkembang
dari apa yang disebut logika persamaan. Hal inilah yang terjadi pada suku-suku
otonom pada masa lalu. Selama ribuan tahun, suatu bentuk demokrasi primitif
mungkin sekali telah menjadi sistem politik yang paling alami. Namun bersamaan
dengan perkembangan masyarakat yang menetap, yang menjadi lebih “alami” adalah
bentuk-bentuk dominasi dan hiararki. Akibatnya pemerintahan kerakyatan itu
menghilang dari masyarakat manusia. Demikianlah sejarah demokrasi yang terjadi
mulai dari masa Yunani Kuno, Romawi, bangsa-bangsa Viking, hingga munculnya
negara-negara bangsa di jaman modern.[10]
Berdasarkan kesamaan semua warga masyarakat, tidak ada satu
kelompokpun yang berhak untuk memerintah orang lain kecuali berdasarkan
penugasan dan persetujuan masyarakat. Keyakinan inilah yang menjadi inti dari
istilah kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat berdasarkan atas hak setiap orang
untuk menentukan diri sendiri dan untuk turut serta dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut seluruh masyarakat.[11]
Di sisi lain, sebagai suatu sistem politik, demokrasi juga
mengalami perkembangan dalam implementasinya. Banyak model demokrasi hadir
disini, dan itu semua tidak lepas dari ragam perspektif pemaknaan demokrasi
substansial. Yang menjadikan demokrasi banyak berkembang ke dalam banyak model,
antara lain karena terkait dengan kreatifitas para aktor politik diberbagai
tempat dalam mendesain praktik demokrasi prosedural sesuai dengan kultur,
sejarah dan kepentingan mereka.
Berbagai kriteria demokrasi pun dibuat untuk menggambarkan
bagaimana demokrasi di implementasikan di berbagai negara dengan berbeda-beda.
Carol C. Gould mengklasifikasikan demokrasi menjadi tiga model, yaitu model
individualisme, model pluralis, dan model sosialisme holistik.[12]
Sedangkan dalam pelaksanaan, demokrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan
pelaksanaan pemerintahan dengan berdasarkan cara yang digunakan, pada umumnya
dibagi dua yaitu :[13]
a.
Demokrasi
langsung (directe democratie)
Apabila semua
rakyat berkumpul bersama-sama untuk membuat undang-undang. Sistem ini masih
dilaksanakan di swiss dengan sistem referendum.
b.
Demokrasi
perwakilan (representative democratie)
Yaitu
apabila rakyat yang telah dewasa memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) baik di pusat maupun didaerah, yang akan melaksanakan
pemerintahan.
Demokrasi langsung menurut Franz Magnis Suseno, tidak hanya tidak
dapat direalisasikan, melainkan juga secara etis tidak perlu. Yang harus
dituntut adalah bahwa pemerintahan negara tetap berada dibawah kontrol efektif
warga negara. Rakyat membuat undang-undang melalui para wakil yang mereka
pilih. Sedangkan dalam demokrasi perwakilan memang ada unsur elitarisme.
Kontrol warga negara dilakukan melalui dua cara, yaitu secara langsung melalui
pemilihan umum dan secara tidak langsung melalui keterbukaan pemerintah.[14]
Klasifikasi yang ke dua tersebut menghendaki kedaulatan rakyat
dilaksanakan dengan cara perwakilan, atau yang sering disebut dengan demokrasi
perwakilan (representative democratie)
atau demokrasi tidak langsung (indirect democracy). Wakil-wakil rakyat
bertindak atas nama rakyat, baik itu dalam menetapkan tujuan negara (baik
jangka panjang maupun jangka pendek), corak maupun sistem pemerintahan.[15]
Menurut pemikiran Jhon Locke, walaupun kekuasaan telah diserahkan
kepada satu organ, namun masyarakat sebagai kesatuan politik masih dapat
menyampaikan tuntutan-tuntutan dan meminta perhatian terhadap pelanggaran yang
terjadi. Untuk membentuk masyarakat politik, dibuatlah undang-undang atau
hukum. Maka yang pertama kali perlu dibuat adalah badan pembuat undang-undang
yang dipilih dan di bentuk oleh rakyat.[16]
Untuk keperluan itulah diselenggarakan pemilihan umum yang
dilaksanakan secara berkala. Penyelenggaraan demikian menjadi penting karena
beberapa alasan. Pertama, pendapat atau aspirasi rakyat mengenai
berbagai aspek kehidupan bersama dalam masyarakat bersifat dinamis, dan
berkembang dari waktu ke waktu. Kedua, kondisi kehidupan bersama dalam
masyarakat dapat berubah, baik karena dinamika dunia internasional maupun
karena faktor-faktor dalam negeri. Ketiga, perubahan aspirasi dan
pendapat rakyat juga dapat dimungkinkan terjadi karena pertambahan jumlah
penduduk/rakyat yang dewasa sebagai pemilih baru (new voters). Keempat,
pemilihan umum perlu diadakan secara teratur dengan maksud menjamin terjadinya
pergantian kepemimpinan negara, baik di bidang legislatif maupun eksekutif.[17]
Dalam demokrasi perwakilan (representative
democratie), fungsi pemerintahan dialihkan dari warga negara kepada
organ-organ khusus. Hak menentukan nasib sendiri dalam demokrasi dibatasi pada
prosedur untuk membentuk dan memilih organ ini.[18]
Hans Kelsen menyatakan bahwa :[19]
“The
demoratic form of nomination is election. The organ authorized to create or
execute the legal norms is elected by subjects whoose behavior is regulated by
these norm” (Bentuk nominasi
demokrasi adalah pemilu. Organ berwenang untuk membuat
atau melaksanakan norma-norma
hukum dipilih oleh subyek yang perilakunya diatur
oleh norma ini). (Terjemah oleh
Penulis).
International
commission of jurist dalam konferensinya di Bangkok pada
tahun 1965 juga merumuskan pengertian representative
government sebagai berikut :[20]
“Representative goverment is a goverment
driving its power and authority from the people wich power and authority are
exercised through representative freely choosen and responsible to them”
(Representative goverment adalah pemerintah yang menjalankan kekuasaan dan otoritas
dari orang-orang dengan kekuasaan dan otoritas itu dilakukan melalui perwakilan
yang dipilih secara bebas dan bertanggung jawab kepada mereka). (Terjemah oleh
Penulis).
International
commission of jurist menentukan pula syarat-syarat representative government under the rule of
law, sebagai berikut :[21]
1.
Adanya
proteksi konstitusional,
2.
Adanya
pengadilan yang bebas dan tidak memihak,
3.
Adanya
pemilihan umum yang bebas,
4.
Adanya
kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat,
5.
Adanya
tugas oposisi,
6.
Adanya
pendidikan civic.
[1] Wirjono Projodikoro, 1981, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik,
Cetakan ke-2, PT. Eresco Jakarta, Bandung, hal. 22-23.
[2]
Miriam Budiardjo, 2010, Dasar-dasar
Ilmu Politik, Edisi Refisi, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 105.
[3] Jimly Assidiqie, 2005, Hukum Tata
Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pikiran Hukum, Media dan HAM, Konstitusi
press, Jakarta, hal. 241.
[4]
Afan Gaffar, 1999, Politik
Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Belajar, Yogyakarta, hal. 6.
[5]
Hasil studi UNESCO pada tahun 1950-an yang mengumpulkan 100 Sarjana
menunjukkan bahwa hampir semua negara telah menjadikan demokrasi sebagai asas
fundamental. Namun di negara-negara tersebut pemberian peranan kepada negara
dan masyarakat berbeda-beda porsinya. Lihat
Miriam Budiardjo, loc cit.
[6] Berman, Larry, and Bruce Allen
Murphy, 1999, Approaching Democracy,
Prentice Hall, New Jersey, Hlm. 3, dalam Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Democracy, PT Bumi Aksara,
Jakarta, hal.1.
[7]
Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi:
Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi secara Singkat, judul Asli: On Democracy, penerjemah: A. Rahman
Zainuddin, 1999, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 2.
[8]
Moh. Mahfud MD, 1999, Hukum dan
Pilar-pilar Demokrasi, Gama Media, Yogyakarta, hal. 5.
[9]
Robert A. Dahl, Op cit, hlm.
3.
[10]
Ibid, Hlm. 13-29.
[11] Franz Magnis-Suseno, 1999, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern, Cetakan Kelima, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.
289-290.
[12]
Hendra Nurtjahyo, 2002, perwakilan golongan di indonesia, Pusat Studi
Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 29-30.
[13]
Ramdlon Naning 1982, Aneka Asas Ilmu Negara, Bina Ilmu,
Jakarta, hal. 52.
[14]
Franz Magnis-Suseno, op cit,
hal. 290-291.
[15] Jean Bodin menyatakan bahwa kedaulatan
tidak dapat berpindah kepada pihak lain karena dia mempunyai sifat Tunggal,
Asli, Abadi dan Tidak dapat dibagi-bagi.
[16]
Deliar Noer, 1997, Pemikiran Politik di negeri barat,
Cetakan II, Mizan, Bandung, hal. 121.
[17] Jimly Asshidiqie, 2006, Pengantar
Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekjend Mahkamah Kosntitusi RI, Jakarta, hal.170.
[18]
Muchammad Ali Safa’at, op cit,
hal. 21.
[20]
Sri Sumantri, 1989, Tentang
Lembaga-lembaga Negara Menurut UUD 1945, Cetakan IV, Citra Aditya Bakti,
Bandung, hal. 12.
[21]
Ibid, hal. 12 dan 13.
0 comments