Hukum Ketenagakerjaan
A. Sejarah Hukum Perburuhan di Indonesia[1]
1.
Perbudakan
Legalisasi:
sebuah aturan yang dikenal sebagai Black Code merupakan dari Jean-Baptiste
Colbert (1619-1683), dengan instrument hukum ia memasukkan perbudakan ke dalam
system. Di Prancis legalisasi terhadap perbudakan terlihat secara implisit
melalui “Dekrit” tahun 1685, di mana dalam Dekrit ini diatur hukuman yang
dikenakan oleh tuan para budak pada mereka (budak).
Perlawanan
fisik atas perbudakan terjadi pada 1791 di Santo Domingo (sekarang Haiti dan
Republik Dominika) memainkan peran krusial dalam penghapusan perdagangan budak trans-Atlantik, dan moment
itu oleh PBB diperingati sebagai titik awal penghapusan perbudakan di dunia.
a.
Di
Nusantara pada tahun 1811-1816 masa pendudukan Inggris dengan tokohnya Thomas
Stanford Raffles dikenal sebagai anti perbudakan, di tahun 1816 mendirikan “The
Java benevolent institution” semacam lembaga dengan tujuan penghapusan
perbudakan.
b.
Masa
pendudukan Nederland pada 1817 ada peraturan tentang larangan memasukkan budak
ke Pulau Jawa (Stb. 1817 No. 42).
c.
Selanjutnya
dikeluarkanlah peraturan-peraturan peraturan lainnya guna mendukung
Regeringsreglement tersebut di antaranya :
1)
Pendaftaran
Budak Stb 1819 No. 58, Stb 1820 No. 22 dan 34, Stb 1822 No. 8, Stb 1824 No. 11,
Stb. 1827 No. 20, Stb 1834 No. 47, Stb. 1841 No. 15.
2)
Pajak
atas pemilikan budak: Stb. 1820 No. 39 a, stb. 1822 No. 12 a, stb. 1827 No. 81,
Stb. 1828 No. 52, Stb.1829 No. 53, Stb. 1830 No. 16, Stb. 1835 No. 20 dan 53,
Stb. 1836 No. 40.
3)
Larangan
Pengangkutan Budak Kanak-kanak di bawah umur 10 tahun: Stb. 1829 No. 29, Stb.
1851 No 37.
4)
Pendaftaran
anak budak: Stb. 1833 No. 67• 67. Pembebasan dari perbudakan bagi pelaut yang
dijadikan budak : Stb 1848 No. 49.
5)
Penghapusan
perbudakan di Indonesia terjadi secara berangsur, ditandai dengan beralihnya
hubungan ini dan diganti dengan system “perhambaan”.
2.
Perhambaan
Sistem
ini dapat dikatakan pelunakan dari perbudakan (pandelingschap) dengan
menetapkan sejumlah uang sebagai utang (pinjaman) dari si-hamba (bekas budak)
kepada si bekas pemilik (disebut juga pemegang gadai karena diibaratkan adanya
peristiwa pinjam meminjam uang dengan jaminan pembayarannya adalah diri si
peminjam/berutang).
Larangan
terhadap praktek Perhambaan justru telah ada sebelum digencarkannya larangan
perbudakan, tercatat di Tahun 1616 sudah ada larangan praktek perhambaan. Salah
satu aturan terhadap larangan ini adalah Regelingreglement 1818 dan Stb. 1822
No. 10.
3.
Kerja Rodi
Rodi yang berlangsung di Indonesia
digolongkan dalam tiga golongan:
a.
Rodi-gubernemen,
yaitu rodi untuk kepentingan gubernemen dan para pegawainya (herendienst);
b.
Rodi
perorangan, yaitu rodi untuk kepentingan. Kepentingan kepala-kepala dan
pembesar-pembesar Indonesia (persoonlijke diensten);
c.
Rodi-desa,
yaitu rodi untuk kepentingan desa (desa diensten).
4. Poenale Sanctie
a.
"AgrarischeWet"
(Undang-Undang Agraria) tahun 1870 yang mendorong timbulnya perusahaan
perkebunan swasta besar, soal perburuhan menjadi sangat penting.
b.
Hubungan
antara majikan dan buruh pada mulanya diatur oleh “Politie Straaf Reglement”
(Peraturan Pidana Polisi) yang lebih melindungi kepentingan majikan peraturan
ini dihapuskan pada tahun 1879.
c.
Penggantinya
Koeli Ordonantie (1880) memuat sanksi-sanksi terhadap pelanggaran kontrak oleh
buruh dan sanksi bagi majikan yang melakukan kesewenangwenangan pada buruhnya.
Karena adanya sanksi tersebut maka Koeli Ordonantie dijuluki Poenale Sanctie
yang artinya sanksi pidana bagi buruh yang berasal dari luar Sumatera Timur,
karena buruh dari rakyat setempat atau suku di Sumatera Timur tidak terkena
ordonansi ini.
5. Sejarah hubungan kerja
a.
Pemerintahan
Soekarno Pasca Proklamasi (1945-1958).
Peraturan
ketenagakerjaan yang ada pada masa ini cenderung memberi jaminan sosial dan
perlindungan kepada buruh, dapat dilihat dari beberapa peraturan di bidang
perburuhan yang diundangkan pada masa ini. Beberapa Peraturan Perundangan
Ketenagakerjaan di Masa Pemerintahan Soekarno 1945 s/d 1958 :
1)
UU
No. 12 tahun 1948 Tentang Kerja
2)
UU No. 33 Tahun 1947 Tentang Kecelakaan Kerja
3)
UU
No. 23 Tahun 1948 Tentang Pengawasan Perburuhan
4)
UU
No. 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan antara Serikat Buruh dan
Majikan
5)
UU
No. 22 Tahun 1957 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
6)
UU
No. 18 Tahun 1956 Tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional
(ILO) No. 98 mengenai Dasar-dasar dari Hak Untuk Berorganisasi dan Berunding
Bersama.
7)
Permenaker
No. 90 Tahun 1955 Tentang Pendaftaran Serikat Buruh
b.
Pemerintahan
Soekarno Masa Orde Lama (1959-1966)
1)
Pada
masa ini kondisi perburuhan dapat dikatakan kurang diuntungkan dengan sistem
yang ada. Buruh dikendalikan oleh tentara antara lain dengan dibentuknya Dewan
Perusahaan yang diambil alih dari Belanda dalam rangka program nasionalisasi,
untuk mencegah meningkatnya pengambil alihan perusahaan Belanda oleh buruh.
2)
Gerak
politis dan ekonomis buruh juga ditandai dengan dikeluarkannya Peraturan
Penguasa Perang Tertinggi No. 4 Tahun 1960 Tentang Pencegahan Pemogokan
dan/atau Penutupan (lock out) di, jawatan-jawatan dan badan-badan vital.
3)
Perbaikan
nasib buruh terjadi karena ada gerakan buruh yang gencar melalui
Serikat-serikat Buruh seperti PERBUM, SBSKK, SBPI, SBRI, SARBUFIS, SBIMM,
SBIRBA.
c.
Pemerintahan
Soeharto di Masa Orde Baru
1)
Pada
5 Juni dikeluarkan Keputusan Presiden No. 83 Tahun 1998 yang mensahkan Konvensi
ILO No.87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk
Berorganisasi (Concerning Freedom of Association and Protection of the Right to
Organise) berlaku di Indonesia.
2)
Meratifikasi
K.ILO tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja/Concerning Minimum Age
for Admission to Employment (Konvensi No. 138 tahun 1973) yang memberi
perlindungan terhadap hak asasi anayang anak dengan membuat batasan usia untuk
diperbolehkan bekerja melalui UU No. 20 Tahun 1999.
3)
Rencana
Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Indonesia Tahun 1998-2003 yang salah
satunya diwujudkan dengan pengundangan UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia, dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU (Perppu) No. 1 tahun 1999
Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
d.
Pemerintahan
Abdurrahman Wahid (1999- 2001)
Dilihat
dari peraturan ketenagakerjaan yang dihasilkan, pemerintahan
Abdurrahmadihasilkan, Abdurrahman Wahid ini dinilai sangat melindungi kaum
pekerja/buruh dan memperbaiki iklim demokrasi dengan UU serikat pekerja/serikat
buruh yang dikeluarkannya yaitu UU No 21 Tahun 2000.
e.
Pemerintahan
Megawati Soekarno Putri (2001-2004)
peraturan
perundangan ketenagakerjaan dihasilkan, di antaranya yang sangadihasilkan,
sangat fundamental adalah UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
menggantikan sebanyak 15 (limabelas) peraturan ketenagakerjaan, sehingga
Undang-Undang ini merupakan payung bagi peraturan lainnya.
Undang-Undang
yang juga sangat fundamental lainnya adalah UU No. 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang disahkan pada 1Hubungan 14
Januari 2004 dan UU No. 39 Tentang Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri.
f.
Pemerintahan
Susilo Bambang Yudhoyono (2004-2009)
Di
masa pemerintahan ini beberapa usaha dilakukan untuk memperbaiki iklim
investasidilakukan investasi, menuntaskan masalah pengangguran, meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Kebijakan di bidang ketenagakerjaan sehubungan dengan hal
di atas, kurang mendapat dukungan kalangan pekerja/buruh.
B.
Sumber-sumber
Hukum Perburuhan
Sumber hukum
ketenagakerjaan ialah:[2]
1.
Sumber Hukum
ketenagakerjaan dalam arti materiil (tempat dari mana materi hukum itu
diambil). Yang dimaksud dengan sumber hukum materiil atau lazim disebut sumber
isi hukum ialah kesadaran hukum masyarakat
yakni kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat mengenai sesuatu yang
seyogyanya atau seharusnya. Profesor Soedikno Mertokusumo menyatakan bahwa
sumber hukum materiil merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. Sumber
Hukum Materiil Hukum Ketenagakerjaan ialah Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum dimana setiap pembentukan peraturan perundang-undangan bidang
ketenagakerjaan harus merupakan pengejawantahan dari nilai-nilai Pancasila.
2.
Sumber Hukum
Perburuhan dalam artian formil (tempat atau sumber dari mana suatu peraturan
itu memperoleh kekuatan hukum). Sumber hukum formil merupakan tempat atau
sumber dimana suatu peraturan memperoleh kekuatan hukum. Sumber formil hukum
perburuhan yaitu:
a.
Undang-undang
merupakan peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan DPR.
Berdasarkan ketentuan Pasal II Aturan Peralihan UUD 45 maka beberapa peraturan
yang lama yang masih berlaku karena dalam kenyataan belum banyak peraturan yang
dibuat setelah kemerdekaan yaitu:
1)
Wet
2)
Algmeen Maatregalvan
Bestuur
3)
Ordonantie-ordonantie
4)
Regeeringsverordening
5)
Regeeringbesluit
6)
Hoofdvanafdeling
van arbeid.
b. Peraturan lainnya:
1) Peraturan Pemerintah yaitu
Aturan yang dibuat untuk melaksanakan UU.
2) Keputusan Presiden yaitu Keputusan
yang bersifat khusus (einmalig) untuk melaksanakan peraturan yang ada di
atasnya.
3) Peraturan atau keputusan instansi lainnya.
c. Kebiasaan
Paham yang menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum
hanyalah undang-undang, sudah banyak yang ditinggalkan sebab kenyataannya tidak
mungkin mengatur kehidupan bermasyarakat yang begitu komplek dalam suatu
undang-undang. Disamping itu undang-undang yang bersifat statis itu mengikuti
perubahan kehidupan masyarakat yang begitu cepat.
Kebiasaan merupakan kebiasaan manusia yang dilakukan
berulang-ulang dalam hal yang sama dan diterima oleh masyarakat, sehingga
bilamana ada tindakan yang dirasakan berlawanan dengan kebiasaan tersebut
dianggap pelanggaran perasaan hukum. Berkembangnya hukum kebiasaan dalam bidang
ketenagakerjaan disebabkan beberapa hal antara lain:
1) Perkembangan masalah-masalah
perburuhan jauh lebih cepat dari perundang-undangan yang ada.
2) Banyak peraturan yang dibuat jaman
Hindia Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan ketenagakerjaan
sesudah Indonesia merdeka.
d. Putusan
Putusan disini
adalah putusan yang dikeluarkan oleh sebuah panitia yang menangani
sengketa-sengketa perburuhan yaitu: 1) Putusan P4P (Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Pusat), 2) Putusan P4D ( Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah). Panitia penyelesaian perburuhan sebagai suatu
compulsory arbitration (arbitrase wajib) mempunyai peranan yang penting dalam
pembentukan hukum ketenagakerjaan karena peraturan yang ada kurang lengkap atau
tidak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. Panitia ini tidak jarang melakukan
interpretasi (penafsiran) hukum atau bahkan melakukan rechtvinding
(menemukan) hukum. Mengingat bahwa
Undang-undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
dan Undang-undang Nomor 12 tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di
Perusahan Swasta sudah tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam rangka
untuk memperolah keadilan dan kepastian hukum maka dikeluarkanlah Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial yang
menggantikan peraturan sebelumnya. Sebelum terbentuk Pengadilan Hubungan
Industrial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat tetap melaksanakan fungsi dan tugasnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No. 2 Tahun 2004 dimungkinkan
penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui jalur yuridis (litigasi)
maupun jalur non yuridis (non litigasi) seperti perundingan bipartite,
arbitrase, kondisi, serta mediasi.
e. Perjanjian
Perjanjian merupakan peristiwa dimana pihak yang satu
berjanji kepada pihak yang lainnya untuk melaksanakan sesuatu hal, akibatnya
pihak-pihak yang bersangkutan terikat oleh isi perjanjian yang mereka adakan.
Kaitannya dengan masalah perburuhan, perjanjian yang merupakan sumber hukum
perburuhan ialah perjanjian perburuhan dan perjanjian kerja. Prof. Imam Soepomo
menegaskan, karena kadang-kadang perjanjian perburuhan mempunyai kekuatan hukum
seperti undang-undang. (Imam Soepomo,1972-24)).
f. Traktat
Traktat ialah perjanjian yang diadakan oleh dua Negara
atau lebih. Lazimnya perjanjian Internasional memuat peraturan-peraturan hukum
yang mengikat secara umum. Sesuai dengan asas “pacta sunt servanda”
maka masing-masing Negara sebagai rechtpersoon
(publik) terikat oleh perjanjian yang dibuatnya.
Hingga saat ini Indonesia belum pernah mengadakan
perjanjian dengan Negara lain yang berkaitan dengan perburuhan.
(Setikno,1977:24). Meskipun demikian dalam hokum internasional ada suatu
pranata seperti traktat yaitu convention. Pada hakikatnya convention ini
merupakan rencana perjanjian internasional di bidang perburuhan yang ditetapkan
oleh Konperensi Internasional ILO (International
Labour Organisation) (Sutikno,1977:10). Meskipun Indonesia sebagai anggota
ILO tetapi tidak secara otomatis terikat. Supaya Convention mengikat maka harus
dirafikasi terlabih dahulu. Beberapa convention yang telah dirafikasi oleh
Indonesia:
1) Convenion No. 98 tentang berlakunya
dasar-dasar hak untuk berorganisasi dan untuk berunding yakni dalam UU No. 18
Tahun 1956
2) Convention No. 100 tentang
pengupahan yang sama bagi buruh laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang
sama nilainya, yakni dalam UU No. 80 Tahun 1957
3) Convention No. 120 tentang higyene
dalam perniagaan dan kantor-kantor yakni dalam UU No. 3 Tahun 1969
Sementara itu, peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia adalah sebagai
berikut :
1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek, Staatsblad 18 No. 23) khususnya pasal
(1313, 1338,1320)
2) UU NO 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 No: 39
3) Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 31 TAHUN 2006 Tentang Sistem Pelatihan Kerja Nasional.
4) Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI
Nomor : KEP.100/MEN/VI/2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjain Kerja
Waktu Tertentu.
5) Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI
Nomor : KEP.48/MEN/IV/2004 tentang Tata cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan
Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
6) Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor :
KEP.261/MEN/XI/2004 tentang Perusahaan yang Wajib Melaksanakan Pelatihan Kerja.
7) Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI
Nomor : PER.08/MEN/III/2006 tentang Perubahan Keputusan Menteri Tenaga
Kerja dan Transmigrasi Nomor KEP-48/MEN/IV/2004 tentang Tata cara
Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan
Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
8) Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia
Nomor PER.22/MEN/IX/2009 Tentang
Penyelenggaraan Pemagangan di dalam Negeri.
9) Peraturan Menteri Tenaga kerja dan Transmigrasi RI
Nomor: PER.21/MEN/X/2007 tentang Tata cara Penetapan Standar Kompetensi Kerja
Nasional Indonesia
C.
Hubungan Kerja
dan Perjanjian Kerja
Pada
dasarnya hubungan kerja, yaitu hubungan antara pekerja dan pengusaha terjadi
setelah diadakan perjanjian oleh pekerja dengan pengusaha di mana pekerja
menyatakan kesanggupannya untuk menerima upah dan pengusaha menyatakan
kesanggupannya untuk mempekerjakan pekerja dengan membayar upah.[3] Di
dalam Pasalo 50 UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dijelaskan bahwa hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dengan pekerja.[4]
Pengertian
perjanjian kerja diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dalam Pasal
1601 a KUH Perdata disebutkan kualifikasi agar suatu perjanjian dapat disebut
perjanjian kerja. Kualifikasi yang dimaksud adalah adanya pekerjaan, di bawah
perintah, waktu tertentu dan adanya upah.[5]
Kualifikasi mengenai adanya pekerjaan dan di bawah perintah orang lain
menunjukkan hubungan subordinasi atau juga sering dikatakan sebagai hubungan
diperatas (dienstverhouding), yaitu pekerjaan yang dilaksanakan pekerja
didasarkan pada perintah yang diberikan oleh pengusaha.
Undang-undang
Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan definisi tentang perjanjian
kerja dalam Pasal 1 Ayat (14) yaitu : perjanjian kerja adalah perjanjian antara
pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja,
hak dan kewajiban para pihak.
Di dalam
perjanjian kerja ada 4 unsur yang harus dipenuhi yaitu adanya unsure work atau
pekerjaan, adanya servis atau pelayanan, adanya unsur time atau waktu tertentu,
suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Sedangkan perjanjian kerja akan
menjadi sah jika memenuhi ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata yaitu :
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, Kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, Suatu hal tertentu, Sebab yang halal.
D. Hak dan Kewajiban Pekerja dan Pemberi Kerja
Pada dasarnya hakikat “hak pekerja/buruh merupakan kewajiban pengusaha”, dan sebaliknya “hak pengusaha merupakan kewajiban pekerja/buruh”.
1.
Hak
dan Kewajiban Tenaga Kerja[6]
·
Setiap tenaga
kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh
pekerjaan. (Pasal 5)
·
Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari
pengusaha. (Pasal 6)
·
Setiap tenaga
kerja berhak untuk memperoleh dan/atau meningkatkan dan/atau mengembangkan
kompetensi kerja sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya melalui pelatihan
kerja. (Pasal 11)
·
Tenaga kerja
berhak memperoleh pengakuan kompetensi kerja setelah mengikuti pelatihan kerja
yang diselenggarakan lembaga pelatihan kerja pemerintah, lembaga pelatihan
kerja swasta, atau pelatihan di tempat kerja. (Pasal 18)
·
Setiap tenaga
kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan atau pindah
pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri.
(Pasal 31)
·
Pekerja/buruh
perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum
saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan
menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. (Pasal 82)
·
Setiap
pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :
-
keselamatan dan
kesehatan kerja;
-
moral dan
kesusilaan; dan
-
perlakuan yang
sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama (Pasal 86)
·
Setiap
pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan. (Pasal 88)
·
Setiap
pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga
kerja. (Pasal 99)
·
Setiap
pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat
buruh. (Pasal 104)
·
Sekurang-kurangnya
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat.
·
Sekurang-kurangnya
dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara
tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat (Pasal 140).
·
Apabila terjadi
PHK, pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1(satu) kali sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam
Pasal 156 ayat (4). (pasal 163)
2.
Hak
dan Kewajiban Pemberi Kerja[7]
·
Pemberi kerja
yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan
atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja. (Pasal 35:1)
·
Setiap pemberi
kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari
Menteri atau pejabat yang ditunjuk. (Pasal 42:1)
·
Tenaga kerja
asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) yang masa kerjanya habis dan tidak
dapat diperpanjang dapat digantikan oleh tenaga kerja asing lainnya. (Pasal
42:6)
·
Perusahaan dapat
menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat
secara tertulis. (jasa outsourcing) Pasal 64
·
Upah tidak
dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan. (Pasal 93:1)
·
Pelanggaran yang
dilakukan oleh pekerja/buruh karena kesenjangan atau kelalaiannya dapat
dikenakan denda. (Pasal 95:1)
·
Tuntutan
pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2(dua) tahun sejak
timbulnya hak. (Pasal 96)
·
Setiap pengusaha
berhak membentuk dan manjadi anggota organisasi pengusaha. (Pasal 105)
·
Menyusun PKB
(Pasal 116 :1)
·
Setiap pengusaha
wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja selama 40 jam/minggu (Pasal 77) diluar
itu pengusaha wajib membayar uang lembur (Pasal 78)
·
Memberikan upah
(pasal 88),
·
Jamsostek (pasal
100)
·
Mendapatkan
laporan mogok kerja dari pekerja (Pasal 140)
·
Terkait mogok
kerja, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara ;
-
melarang para
pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
-
bila dianggap
perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
(Pasal 140:4)
·
Mogok kerja yang
dilakukan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan
Pasal 140 adalah mogok kerja tidak sah.(Pasal 142)
·
Penutupan
perusahaan (lock-out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh
sebagaian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya
perundingan.(Pasal 146)
·
Menghindari PHK
(pasal 153)
·
Pengusaha wajib memberikan THR / Tunjangan Hari Raya kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan
secara terus menerus atau lebih . Dasar Hukum pemberian
Tunjangan Hari Raya adalah Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia
Nomor : Per-04/MEN/1994 tanggal 16 September 1994 tentang Tunjangan Hari Raya
Keagamaan bagi Pekerja di Perusahaan
E.
Pemutusan
Hubungan Kerja
Definisi
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menurut UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan
adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu
hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.
PHK dapat
terjadi karena bermacam sebab, yaitu sebagai berikut :[8]
a.
PHK
Sukarela
Pekerja
dapat mengajukan pengunduran diri kepada pengusaha secara tertulis tanpa
paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti
pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk
mengundurkan diri, pekerja harus memenuhi syarat: (i) mengajukan permohonan
selambatnya 30 hari sebelumnya, (ii) tidak ada ikatan dinas, (iii) tetap
melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.
Undang-undang
melarang pengusaha memaksa pekerjanya untuk mengundurkan diri. Namun dalam
praktik, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak pengusaha. Kadang kala,
pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik
bagi pekerja maupun pengusaha. Disatu sisi, reputasi pekerja tetap terjaga.
Disisi lain pengusaha tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila
pengusaha harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan pekerja. Pengusaha dan
pekerja juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.
Pekerja
yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi seperti sisa cuti
yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan perawatan, dll sesuai
Pasal 156 (4) UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Pekerja mungkin
mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan
terdapat silang pendapat antara pekerja dan pengusaha, terkait apakah pekerja
yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan penghargaan masa
kerja.
b.
PHK
Tidak Sukarela
1) PHK
Oleh Pengusaha
Seseorang
dapat dipecat (PHK tidak sukarela) karena bermacam hal, antara lain rendahnya
performa kerja, melakukan pelanggaran perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau kebijakan-kebijakan lain yang dikeluarkan pengusaha. Tidak semua kesalahan
dapat berakibat pemecatan. Hal ini tergantung besarnya tingkat kesalahan.
Pengusaha
dimungkinkan memPHK pekerjanya dalam hal pekerja melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama. Ini, setelah sebelumnya kepada pekerja diberikan
surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut. Surat
peringatan masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali
ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
Pengusaha
dapat memberikan surat peringatan kepada pekerja untuk berbagai pelanggaran dan
menentukan sanksi yang layak tergantung jenis pelanggaran. Pengusaha
dimungkinkan juga mengeluarkan misalnya SP 3 secara langsung, atau terhadap
perbuatan tertentu langsung memPHK. Hal ini dengan catatan hal tersebut diatur
dalam perjanjian kerja (PK), peraturan perusahaan (PP), atau perjanjian kerja
bersama (PKB), dan dalam ketiga aturan tersebut, disebutkan secara jelas jenis
pelanggaran yang dapat mengakibatkan PHK. Tak lupa penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Selain
karena kesalahan pekerja, pemecatan mungkin dilakukan karena alasan lain.
Misalnya bila perusahaan memutuskan melakukan efisiensi, penggabungan atau
peleburan, dalam keadaan merugi, pailit, maupun PHK terjadi karena keadaan
diluar kuasa pengusaha (force majeure).
2) Permohonan
PHK oleh Pekerja
Pekerja juga berhak untuk mengajukan permohonan PHK ke
LPPHI bila pengusaha melakukan perbuatan seperti (i) menganiaya, menghina
secara kasar atau mengancam pekerja; (ii) membujuk dan/atau menyuruh pekerja
untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan; (iii) tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah
ditentukan selama 3 bulan berturut-turut atau lebih; (iv) tidak melakukan
kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja; (v) memerintahkan pekerja untuk
melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; (vi) memberikan pekerjaan
yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
3)
PHK oleh Hakim
PHK dapat pula terjadi karena putusan
hakim. Apabila hakim memandang hubungan kerja tidak lagi kondusif dan tidak
mungkin dipertahankan maka hakim dapat melakukan PHK yang berlaku sejak putusan
dibacakan.
4)
PHK karena
Peraturan Perundang-undangan
Pekerja yang meninggal dunia, Perusahaan
yang pailit, dan force majeure merupakan alasan PHK diluar keinginan para
pihak. Meski begitu dlama praktek force majeure sering dijadikan alasan
pengusaha untuk mem-PHK pekerjanya.
Selain itu, dalam hal terjadi PHK,
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima (Pasal 156 ayat (1) UU 13/2003).
Perhitungan uang pesangon paling sedikit sebagai
berikut (Pasal 156 ayat (2) UU 13/2003)
:
a.
Masa kerja 1
tahun = 1 bulan upah.
b.
Masa kerja 1
tahun/lebih tetapi kurang dari 2 tahun = 2 bulan upah.
c.
Masa kerja 2
tahun/lebih tetapi kurang dari 3 tahun = 3 bulan upah.
d.
Masa kerja 3
tahun/lebih tetapi kurang dari 4 tahun = 4 bulan upah.
e.
Masa kerja 4
tahun/lebih tetapi kurang dari 5 tahun = 5 bulan upah.
f.
Masa kerja 5
tahun/lebih tetapi kurang dari 6 tahun = 6 bulan upah.
g.
Masa kerja 6
tahun/lebih tetapi kurang dari 7 tahun = 7 bulan upah.
h.
Masa kerja 7
tahun/lebih tetapi kurang dari 8 tahun = 8 bulan upah.
i.
Masa kerja 8
tahun/lebih = 9 bulan upah.
F.
Perselisihan
perburuhan
Perselisihan
Perburuhan diIndonesia telah diistilahkan dalam UU No. 13 tahun 2003 dan UU N0.
2 tahun 2004 dengan sebutan Perselisihan Hubungan Industrial. Sedangkan
perselisihan Hubungan Industrial ialah pertentangan antara Pengusaha/Gabungan
Pengusaha dengan Serikat Pekerja/Gabungan Serikat Pekerja berhubung tidak
adanya persesuaian pendapat mengenai keadaan ketenagakerjaan, hubungan kerja,
dan syarat-syarat kerja.
1.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial /PPHI (UU No. 2 Tahun 2004
Tentang PPHI).
Beberapa
pengertian (pasal 1) :[9]
1) Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang
mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan
pekerja/buruh atau SP/SB karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar SP/SB dalam satu perusahaan.
2) Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul
karena tidak dipenuhinya hak akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau
penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja
peraturan perusahaan atau PKB.
3) Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul
dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan
dan atau syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan atau PKB.
4) Perselisihan PHK adalah perselisian yang timbul
karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja
yang dilakukan oleh salah satu pihak.
5) Perselisihan antar SP/SB adalah perselisihan antara SP/SB
dengan SP/SB lain hanya dalam satu perusahaan karena tidak adanya persesuaian
paham mengenai keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan.
6) Perundingan Bipartit adalah perundingan antara buruh dan
SP/SB dengan Pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.
7) Mediasi adalah penyelesaian perselisihan
hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK dan perselisihan antar SP/SB
hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau
lebih mediator yang netral.
8) Konsiliasi adalah penyelesaian perselisihan
kepentingan, perselisihan PHK atau perselisihan antar SP/SB hanya dalam satu
perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih
konsiliator yang netral.
9) Arbitrase adalah penyelesaian suatu
perselisihan kepentingan dan perselisihan antar SP/SB hanya dalam satu perusahaan,
diluar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para
pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada
arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
10) Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang
dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili
dan memberi Putusan terhadap perselisihan hubungan industrial.
11) Jenis perselisihan hubungan industrial meliputi perselisihan hak, perselisihan kepentingan,
perselisihan PHK dan perselisihan antar SP/SB hanya dalam satu perusahaan (Pasal
2).
12) Dalam hal terjadi perselisihan
hubungan industrial pada usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang tidak
berbentuk perusahaan tetapi mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain
dengan membayar upah maka perselisihannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan
UU No. 2 Tahun 2004 (Pasal 123).
Dalam
penyelesaian perselisihan hubungan industrial ada beberapa sarana penyelesain
perselisihan hubungan industrial, yakni sebagai berikut:
a. Di Luar
Pengadilan (Non litigasi)
·
Bipartit, penyelesaian dilakukan oleh pihak
pekerja/serikat pekerja dengan pengusaha/gabungan pengusaha yang berselisih.
·
Arbitrase, penyelesaian perselisihan yang
disepakati secara tertulis oleh para pihak dengan memilih arbiter tunggal atau
mejelis arbiter dari daftar arbiter yang ditetapkan oleh Menakertrans.
·
Konsiliasi, penyelesaian melalui musyawarah yang
ditengahi seorang atau lebih konsiliator (terdaftar diinstansi ketenagakerjaan
kabupaten/kota) yang netral yang dipilih atas kesepakatan para pihak.
·
Mediasi, penyelesaian perselisihan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral yang
terdaftar di instansi ketenagakerjaan.
b. Di
Pengadilan (Litigasi) yakni Pengadilan Hubungan Industrial.
Dalam
UU No tahun 2004, tidak semua obyek perselisihan dapat diselesaikan melalui
semua mekanisme Non Litigasi tersebut diatas atau tidak ada kebebasan memilih
mekanisme penyelsaian oleh para pihak. Dalam UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI
telah mengaskan cara penyelesaian masing-masing perselisihan. Bahwa obyek
perselisihan masing-masing penyelesaian secara non litigasi berbeda, yaitu
sebagai berikut:
1)
Perselisihan yang dapat diselesaikan lewat Arbitrase hanya:
·
Perselisihan kepentingan
·
Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam satu
perusahaan.
2)
Perselisihan yang dapat diselesaikan lewat Konsiliasi:
·
Perselisihan Kepentingan;
·
Perselisihan Hak;
·
Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam satu
perusahaan.
3)
Perselisihan yang dapat diselesaikan lewat Mediasi:
·
Perselisihan Hak;
·
Perselisihan Kepentingan;
·
Perselisihan PHK;
·
Perselisihan antar Serikat Pekerja dalam satu
perusahaan.
Sehingga
segala perselisihan industrial tidak begitu saja diselesaiakan dengan semua
sarana penyelesaian secara non litigasi, jadi dalam hal ini kita harus
menganalisa persoalan yang dihadapi tersebut terkualifikasi masuk dalam
sengketa jenis apa agar pilihan sarana penyelesaian sesuai dengan kewenanganya.
G.
Kelemahan Sistem
Ketenagakerjaan
UU No.
13/2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai pengganti UU No.25/1997 mengandung
banyak permasalahan, misalnya masalah inkonsistensi antara pasal yang satu
dengan pasal yang lain sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Pasal-pasal
yang inkonsisten tersebut antara lain sebagai berikut:
1.
Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu. Di satu sisi Perjanjian Kerja Waktu Tertentu dapat dibuat
berdasarkan jangka waktu yang berarti tidak mempersoalkan apakah pekerjaan itu
bersifat tetap atau tidak. Di lain pihak, ada pasal lain dalam UU No.13/2003
ini yang melarang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu untuk pekerjaan yang bersifat
tetap. Bahkan apabila ketentuan terakhir ini dilanggar, maka perjanjian kerja
waktu tertentu tersebut akan berubah secara otomatis menjadi perjanjian kerja
waktu tidak tertentu. Ketidakpastian hukum dalam masalah ini menjadi persoalan
yang sering muncul ke permukaan karenapihak pengusaha cenderung untuk
mempekerjakan pekerjanya dengan perjanjian kerja waktu tertentu, sedangkan
pekerja lebih memilih perjanjian kerja waktu tidak tertentu karena lebih
menjamin job security. Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang
memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk kemudian direkrut
kembali dengan perjanjian kerja waktu tertentu (kontrak). Dalam situasi
demikian, pekerja tidak ada pilihan lain kecuali menerima tawaran itu.
2.
Outsourcing.
Sejak diundangkannya UU No.13/2003, outsourcing pekerja menjadi menjamur. Hal
ini disebabkan pengusaha dalam rangka efisiensi merasa aman jika buruh yang
dioutsource adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang bertanggung
jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan jasa pekerja.
Perusahaan-perusahaan ini merasa diback up oleh pasal 6 ayat 2 a yang
menyatakan bahwa antara perusahaan jasa pekerja harus ada hubungan kerja dengan
buruh yang ditempatkan pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak buruh
yang dioutsource juga merasa diback up oleh pasal 1 butir 15 yang menyatakan
bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan jasa pekerja melainkan dengan
perusahaan pengguna. Hal ini disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan
perintah hanya ada dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna bukan dengan
perusahaan jasa pekerja. Kedua pasal ini juga menimbulkan ketidakpastian hukum
bagi pengusaha dan buruh apalagi outsourcing pekerja pada saat ini lagi
ngetren. Banyak perusahaan memutuskan hubungan kerjanya dengan buruhnya untuk
selanjutnya direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing
pekerja). Hal ini berarti bahwa melalui pasa; 6 ayat 2 a UU No.13/2003
Pemerintah melagalkan bukan sekedar perbudakan modern melainkan juga termasuk
human-trafficking. Suatu pelanggaran hak asasi manusia.
[1] Dr. Agusmidah, Sejarah Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Internet, diakses pada 26
Juli 2012.
[2] Imam soepomo, Rachmat Pengantar Hukum Perburuhan, jakarata, Djambatan
2003, hlm 13-25
[3] Imam Soepomo, 1999, Pengantar
Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, hal.88.
[4] Lihat Pasal 50, Undang-undang
Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
[5] R. Goenawan Oetomo, 2004, Pengantar Hukum Perburuhan dan Hukum
Perburuhan di Indonesia, Grhadika Binangkit Press, Jakarta, Hal. 15.
[6] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
[7] Lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
1 comments