ANALISIS PUTUSAN DEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILU (DKPP) NOMOR 23-25/DKPP-PKE-I/2012
A. Posisi
Kasus
Berdasarkan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012, putusan tersebut merupakan
putusan dalam pengaduan perkara Nomor
055/I-P/L-DKPP/2012 tanggal 31 Oktober 2012 yang diregistrasi dengan Nomor
Perkara 25/DKPPPKE-I/2012 dan pengaduan Nomor 045/I-P/L-DKPP/2012 tanggal 29
Oktober 2012 yang diregistrasi dengan Nomor Perkara 26/DKPP-PKE-I/2012 yang
diajukan oleh Pengadu I yaitu, Dr. Muhammad, S.IP.,M.Si (Ketua Badan Pengawas
Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia) dan Pengadu II yaitu, Said Salahuddin
(Pegiat Pemilu/Konsultan Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA).
Dr. Muhammad,
S.IP.,M.Si (Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia) sebagai
Pengadu I menemukan adanya dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu
yakni pada ketentuan Pasal 2 Juncto Pasal 26 ayat (2) UU Nomor 15 Tahun 2011,
Pasal 7 huruf d, Pasal 11 huruf a dan huruf c, dan pasal 16 huruf a, huruf b,
dan huruf c, Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan
Umum, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2012,
Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara
Pemilihan Umum.
Bawaslu mengkualifikasikan
temuan pelanggaran tersebut dengan menarik ke dalam konstruksi etika, yakni
Teradu Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia diduga tidak
menghargai dan menghormati sesama lembaga, tidak tegas, tidak prosedur, tidak
tertib, dan tidak ada kepastian hukum, dalam penundaan pengumuman penelitian
administrasi hasil perbaikan Partai Politik.
Sedangkan Said
salahuddin, Pegiat Pemilu Sinergi Masyarakat Untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA)
sebagai Pengadu II menyatakan penemuannya bahwa, Ketua dan Anggota Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) diduga tidak cermat, tidak adil,
tidak berasaskan Kepastian hukum, tidak tertib, tidak terbuka, tidak
profesional, dan tidak akuntabilitas, dalam penyelenggaraan Verifikasi Peserta
Pemilu.
Sementara itu,
pihak Teradu yaitu Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberikan
jawaban atas gugatan pengadu dalam persidangan pada tanggal 9 November 2012, 13
November 2012, dan 21 November 2012 yang pada pokoknya sebagai berikut:
1. Berkaitan dengan Penundaan pengumuman pemberitahuan hasil
penelitian administrasi hasil perbaikan, yang seyogyanya diumumkan antara
tanggal 23-25 Oktober 2012 menjadi tanggal 28 Oktober 2012. KPU menyatakan
bahwa, sesuai
putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2012, KPU boleh mengubah jadwal
verifikasi jika ada obyek yang menyebabkan verifikasi berubah keseluruhan atau
konsekuensi hukum yang terjadi atas keputusan itu. Dalam penundaan
pengumaman hasil verifikasi administratif KPU menyatakan bahwa, tidak ada
intervensi politik, tidak ada transaksi, dan hal-hal lain yang menyimpang dari
perundang-undangan. Penundaan tersebut lebih pada karena alasan kehati-hatian
dan teknis kebutuhan untuk mengambil keputusan berdasarkan data yang akurat dan
lengkap. Yang kemudian penundaan pengumuman hasil verifikasi administrasi
dilakukan dengan perubahan Peraturan KPU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tahapan, Program,
dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014
sebagaimana diubah dengan Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2012 dan ditindaklanjuti
dengan pengundangan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal
25 Oktober 2012.
2. Mengenai rekomendasi Bawaslu tentang dugaan pelanggaran
administrasi oleh KPU cacat prosedur. KPU memberikan penjelasan bahwa, KPU sudah
beritikad baik meminta penjelasan kepada Bawaslu, dengan menyerahkan dokumen
hasil penelitian administrasi 18 partai Politik dan menindaklanjuti rekomendasi
Bawaslu. Terhadap rekomendasi dugaan pelanggaran administrasi Pemilu, ketentuan
Pasal 255 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang menyatakan KPU
memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi paling lama 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya rekomendasi Bawaslu. Sampai dengan batas waktu sebagaimana dimaksud
pada Pasal 255 ayat(1) Nomor 8 Tahun 2012 untuk melakukan pemeriksaan atas
rekomendasi Bawaslu dan sampai pada kesimpulan 12 Partai Politik dinyatakan
tidak memenuhi syarat administrasi sehingga tidak dapat ditindaklanjuti
verifikasi faktual.
3. Berkaitan dengan dugaan pelanggaran etik menyangkut sistem
informasi partai politik (SIPOL) dan keterlibatan IFES dalam tahapan verifikasi
partai politik. KPU menyatakan bahwa, dengan memperhatikan ketentuan UU Nomor 8
Tahun 2012, dalam menyusun kebijakan, KPU memperhatikan asas-asas penyelenggaraan
Pemilu, antara lain transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas. Dalam rangka
pelaksanaan asas-asas penyelenggaraan Pemilu, KPU menempuh kebijakan dengan membangun
sistem informasi partai politik (SIPOL). Sehingga KPU menyelenggarakan lokakarya
sistem Informasi pemilu terintegrtas dengan mengundang international
foundation for elektoral system (IFES) sebagai narasumber. Hasilnya IFES
memberikan bantuan tenaga ahli untuk mewujudkan sistem informasi partai
Politik. Tenaga ahli bekeerja sepenuhnya dengan arahan dan kontrol sebagaimana
kebijakan KPU.
Berdasarkan pengaduan dari temuan-temuan pengadu dan jawaban Teradu di atas dan setelah menjalani proses persidangan, pada 27 November 2012 DKPP akhirnya
membacakan putusannya yang pada intinya memutuskan
bahwa :
- Pihak Teradu yaitu Ketua dan Anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI) tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk untuk melanggar kode etik penyelenggara Pemilu, dan mengingatkan agar para Teradu dapat bekerja secara lebih profesional, transparan, jujur, adil, dan akuntabel untuk seluruh tahapan Pemilu berikutnya.
- Menyatakan Saudara Suripto Bambang Setiadi selaku Sekretaris Jenderal KPU, Saudara Asrudi Trijono selaku Wakil Sekretaris Jenderal KPU dan Ketua Pokja Verifikasi Partai Politik, serta Saudara Nanik Suwarti selaku Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU, dan Saudara Teuku Saiful Bahri Johan selaku Wakil Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU melanggar kode etik penyelenggara Pemilu dan merekomendasikan kepada KPU untuk menjatuhkan sanksi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu kepada Saudara Suripto Bambang Setiadi selaku Sekretaris Jenderal KPU, Saudara Asrudi Trijono selaku Wakil Sekretaris Jenderal KPU, Saudara Nanik Suwarti selaku Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU, dan Saudara Teuku Saiful Bahri Johan selaku Wakil Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU, dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya mengembalikan yang bersangkutan beserta pejabat-pejabat lainnya yang terlibat pelanggaran kepada instansi asal sejak dibacakannya Putusan ini.
- Menyatakan pengaduan Pengadu terbukti untuk sebagian, dan membenarkan rekomendasi Pengadu agar KPU mengikutsertakan partai politik yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan KPU, dan memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum agar 18 (delapan belas) partai politik calon peserta pemilu, yang terdiri atas 12 (dua belas) partai politik yang direkomendasikan oleh Bawaslu ditambah 6 (enam) partai politik lainnya yang tidak lolos verifikasi administrasi tetapi mempunyai hak konstitusional yang sama untuk diikutsertakan dalam verifikasi faktual dengan tidak mengubah jadwal tahapan Pemilu dan kedelapan belas partai politik tersebut di atas harus menyesuaikan dengan ketentuan verifikasi faktual yang ditetapkan oleh KPU.
B. Analisis Yuridis Terhadap Putusan
DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012
Dugaan Putusan DKPP Nomor
23-25/DKPP-PKE-I/2012 Melampaui Kewenangannya (Out of Authority)
Berdasarkan
pengaduan dari temuan-temuan pengadu, jawaban Teradu dan setelah menjalani
proses persidangan, pada 27
November 2012 akhirnya DKPP
membacakan putusannya Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012 yang pada intinya memutuskan bahwa :
1. Pihak
Teradu yaitu Ketua dan Anggota KPU RI tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk
untuk melanggar kode etik penyelenggara Pemilu.
2. Menyatakan
Sekretaris Jenderal KPU, Wakil Sekretaris Jenderal KPU dan Ketua Pokja
Verifikasi Partai Politik, serta Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU,
dan Wakil Kepala Biro Hukum melanggar kode etik penyelenggara Pemilu.
3. Memrintahkan
kepada KPU agar mengikutsertakan 18 partai politik yang tidak lolos verifikasi
administrasi untuk diberi kesempatan mengikuti verifikasi faktual sesuai dengan
jadwal yang telah ditetapkan KPU.
4. Memerintahkan
kepada KPU untuk melaksanakan Putusan ini, dan kepada Bawaslu untuk mengawasi
pelaksanaan Putusan ini.
Terhadap Putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012 tersebut, kami menyatakan bahwa DKPP telah keliru
menilai pengaduan para pengadu dan bahkan melampaui batas kewenangannya (out of authority). Sehingga menjadi alasan kenapa putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012 sangatlah kontroversial dan menimbulkan
berbagai tanda tanya publik. Hal itu disebabkan karena DKPP memberikan sebuah putusan yang tidak hanya memutus pengaduan
pelanggaran kode etik namun sudah menyentuh ranah teknis penyelenggaraan
tahapan pemilu. Padahal sebenarnya
UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu memberikan batasan
kepada
DKPP yang hanya memiliki tugas utama menjaga kode etik penyelenggara
pemilu. Oleh karena itu, DKPP dalam memutus perkara tersebut bisa
dikatakan
sebagai pelanggaran terhadap prinsip ultra petita atau dilarang untuk memberikan putusan diluar dari apa yang tidak diminta.
Selain itu, jika kita mengkaji secara
mendalam terhadap Putusan DKPP, maka kita secara jelas dapat menyatakan bahwa
Putusan DKPP melampaui batas
kewenangannya (out of
authority) yang tercermin pada pokok putusannya, yaitu sebagai berikut :
1.
Tentang Putusan DKPP yang
merekomendasikan kepada KPU untuk menjatuhkan sanksi pelanggaran kode etik
penyelenggara Pemilu terhadap pihak terkait yaitu kepada Sekretaris Jenderal
KPU, Wakil Sekretaris Jenderal KPU dan Ketua Pokja Verifikasi Partai Politik,
serta Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal KPU, dan Wakil Kepala Biro Hukum.
Padahal, pihak-pihak terkait tersebut
sesungguhnya tidak termasuk para pihak dalam perkara Pelanggaran Kode Etik yang
diadukan oleh pengadu ke DKPP, karena pengadu hanya mengadukan Teradu yang terdiri dari Ketua dan Anggota KPU RI.
Merujuk pada Pasal 1 angka 6 UU No. 15
Tahun 2011 menyatakan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga Penyelenggara
Pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri yang bertugas melaksanakan
Pemilu. Selanjutnya Pasal 55 UU No. 15 Tahun 2011 menjelaskan, untuk mendukung
kelancaran tugas dan wewenang KPU dibentuklah Sekretariat Jendral KPU. Sehingga
dapat diartikan UU No. 15 Tahun 2011 memberikan penjelasan bahwa, yang dimaksud
penyelenggara Pemilu adalah Komisoner KPU bukanlah Sekretariat Jendral KPU,
karena secara tegas Sekretariat Jendral KPU hanyalah berfungsi sebagai
pendukung dari tugas dan dan wewenang KPU sebagai penyelenggara Pemilu.
Apabila dilihat dari aspek hukum, maka
DKPP dapat dinilai keliru dalam menerapkan norma hukum. Karena sebenarnya
Sekretariat jenderal KPU sebagai birokrasi yang terdiri dari PNS tentu taat
terhadap Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok kepegawaian, PP
Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil dan PP Nomor 42 tahun
2004 tentang Pembinaan Jiwa korps dan Kode Etik PNS. Sehingga Kode Etik yang
dimiliki oleh Sekretariat jenderal KPU sebagai birokrasi yang terdiri dari PNS tentunya
berbeda dari Kode Etik yang berlaku bagi Komisioner KPU. Sebagai PNS, tugas dan
penilaian terhadap kesekjenan harus berdasarkan undang-undang tentang PNS.
Sedangkan DKPP sebagai lembaga penegak etika penyelenggara pemilu harus
berdasarkan pada undang-undang penyelenggara pemilu.
Apalagi di dalam
keterangannya, Sekjend KPU memaparkan beberapa point yang pada intinya
membantah tuduhan-tuduhan yang bahwa pihaknya melanggar kode etik, seperti : Tidak
benar kalau Sekjend KPU kesulitan untuk menghadirkan 68 personil untuk
melaksanakan verifikasi partai politik. Begitu juga Biro Hukum telah bekerja
optimal seperti penyiapan PKPU, penyiapan aplikasi bekerjasama dengan BPPT,
yang tidak sesuai dengan pernyataan bahwa dukungan Sekretariat Jenderal tidak
optimal terhadap kebijakan KPU,saat RDP
antar KPU dan Kimisi II DPR tanggal 23 Oktober 2012.
2. Berkaitan
dengan Putusan DKPP yang menyatakan bahwa, agar KPU mengikutsertakan 18 partai
politik yang tidak lolos verifikasi administrasi untuk diberi kesempatan
mengikuti verifikasi faktual. Putusan ini sesungguhnya menyatakan bahwa 18
partai politik yang sebelumnya oleh KPU dinyatakan tidak lolos verifikasi
administrasi, maka melalui Putusan DKPP ini secara otomatis dinyatakan 18
partai politik telah lolos verifikasi administrasi dan berhak mengikuti tahap
selanjutnya yaitu tahap verifikasi faktual.
Padahal sebenarnya kelolosan dalam tahap
verifikasi administrasi oleh KPU menjadi syarat mutlak bagi keikutsertaan tahap
verifikasi faktual, seperti dijelaskan dalam Peraturan KPU yang mengatur
tentang tahap pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu. Sehingga nantinya
ketika KPU menjalankan perintah DKPP maka proses verifikasi faktual atas 18
parpol yang sebulumnya tidak lolos verifikasi administrasi adalah tidak
memiliki dasar hukum.
Putusan DKPP yang memerintahkan KPU
terhadap 18 parpol yang tidak lolos verifikasi administrsi untuk ikut serta
pada tahap verifikasi faktual, bukanlah merupaka ranah etik penyelenggara
pemilu, tetapi merupakan sengketa administrasi pemilu. Maka berdasarkan UU No.
8 Tahun 2012 lembaga yang mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa
administrasi pemilu merupakan kewenangan Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PTTUN), bukan ranah kewenangan DKPP.
Selain itu, Pasal 4 ayat (2) huruf c UU Nomor 8 Tahun
2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD menyatakan bahwa, tahapan
penyelenggaraan Pemilu meliputi pendaftaran dan verifikasi Peserta Pemilu.
Karena verifikasi
parpol adalah bagian dari tahapan pemilu, maka terhadap Putusan DKPP yang
memerintahkan KPU untuk melakukan verifikasi terhadap 18 parpol yang tidak
lolos tahap verifikasi administrasi adalah bentuk intervensi DKPP terhadap KPU
yang menyelenggarakan pemilu dan hal tersebut juga sangat berbahaya karena
dapat mengancam independensi KPU sebagai penyelenggara pemilu.
3. Putusan
DKPP juga memerintahkan kepada KPU agar melakukan verifikasi faktual dengan
“tidak mengubah jadwal tahapan Pemilu” serta harus mengikutsertakan 18 partai
politik yang tidak lolos verifikasi administrasi oleh KPU untuk ikut verifikasi
faktual. Jadwal tahapan Pemilu yang berlaku selanjutnya adalah jadwal tahapan
Pemilu yang berlaku pada saat Putusan DKPP No. 25-26/DKPP-PKE-I/2012 dibacakan.
Yaitu Peraturan KPU No. 15 tahun 2012, tetapi pasca dibacakannya putusan DKPP,
KPU telah memperbaruhinya kembali dengan Peraturan KPU No. 18 tahun 2012.
Terhadap putusan DKPP ini dapat dinilai
tidak realistis bagi KPU, karena secara waktu sekarang telah sampai pada masa
perbaikan hasil verifikasi faktual. Maka Putusan ini bukan malah menyelesaikan
permasalahan malah sebaliknya menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerancuan
dalam penyelenggaraan pemilu. Putusan DKPP tersebut terlihat jelas bahwa
lagi-lagi DKPP melampaui kewenangannya yang dimiliki (out of authority) yang sebenarnya tidak ada sama sekali kaitannya
dengan kode etik, melainkan memutuskan sampai menyentuh ranah teknis penyelenggaraan tahapan pemilu yang menjadi ranah kekuasaan KPU.
4. Yang
terakhir adalah berkaitan dengan Putusan DKPP No. 25-26/DKPP-PKE-I/2012 yang
“memerintahkan” kepada KPU untuk melaksanakan Putusan ini, dan kepada Bawaslu
untuk mengawasi pelaksanaan Putusan ini. Mengingat berdasarkan UU No. 15 Tahun
2011, putusan DKPP tersebut bersifat final dan mengikat, dan tidak terdapat
upaya hukum yang dapat membatalkan putusan DKPP tersebut. Maka berarti melekat dengan
seluruh konsekuensinya KPU harus menerima, tidak ada kata lain bagi KPU kecuali
menjalankan seluruh keputusan DKPP. Padahal Putusan DKPP tersebut menimbulkan
dua sisi yang saling kontradiktiktif, yaitu disatu sisi DKPP memutus perkara
yang diluar dari kewenangannya (out of
authority) tetapi disisi lain DKPP memerintahkan agar KPU melaksanakannya.
Sehingga pada akhirnya putusan DKPP tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum.
Putusan DKPP
tersebut dapat menimbulkan preseden buruk dan legitimasi secara tidak langsung
kepada DKPP dikemudian hari untuk dapat mengintervensi tahapan-tahapan pemilu
selanjutnya dengan alasan ada pengaduan terhadap penyelenggara pemilu yang
melanggar kode etik. Jika hal tersebut menjadi kenyataan, maka DKPP akan
menjadi lembaga yang seenaknya dapat memutuskan perkara yang bukan merupakan
tugas dan wewenangnya.
C. Analisis terhadap Proses
Persidangan
1. Sidang
DKPP atas dugaan pelanggaran kode etik komisioner KPU pertama kali dilaksanakan
pada Jumat (9/11/2012) lalu, pada proses persidangan pertama ini Komisioner KPU
Ida Budiati menuding terkendalanya tahapan verifikasi karena ulah Sekretariat
Jenderal yang melakukan pembangkangan birokrasi. Namun dalam sidang kedua yang
dilakukan Selasa (13/11/2012), Sekretariat Jenderal KPU dalam sidang kedua
membantah pernyataan Komisioner KPU Ida Budiati. Sekretariat Jenderal KPU
Suripto Bambang dalam pledoinya menuding Ida membohongi sidang DKPP dengan
menyatakan bahwa, sehubungan dengan pernyataan bahwa Sekretariat Jenderal mengadakan
rapat tanggal 24 Oktober 2012 adalah bagian dari pemboikotan Pemilu dan
pembangkangan birokrasi hal itu adalah tidak benar.
Namun DKPP tidak mempertimbangkan sama
sekali pembelaan dari Sekretariat Jenderal KPU dengan tetap memutuskan bahwa Sekretariat
Jenderal KPU terbukti melanggar Kode Etik dan memerintahkan KPU untuk
memberikan saksi. Putusan DKPP tersebut jauh menyimpang dari koridor
kewenangannya yang diatur dalam UU No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan
Pemilu, disamping itu juga salah dalam menerapkan norma hukum.
2. Adapun,
dalam sidang ketiga yang dilaksanakan Kamis (22/11/2012), dalam persidangan terungkap
fakta mengenai Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) dengan keterlibatan International
Foundation for Electoral Systems (IFES) dalam tahapan verifikasi partai
politik. Pada persidangan itu pengadu menyatakan bahwa, keterkaitan IFES dalam
program SIPOL ini dinilai sebagai ketidakmandirian Teradu dan karena itu
merupakan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu karena merupakan bantuan
asing. Hal itu dijelaskan dalam Pasal 2 huruf a Undang-Undang Nomor 15 Tahun
2011 dinyatakan, bahwa asas yang menjadi pedoman bagi setiap anggota
penyelenggara Pemilu adalah "mandiri". Namun DKPP memutuskan lain
dengan menyatakan para Teradu tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk untuk
melanggar kode etik penyelenggara Pemilu.
DKPP cenderung tidak memperhatikan aspek
hukum dalam menyikapi keterlibatan IFES dalam tahapan verifikasi partai
politik. Tetapi DKPP memutuskan hanya berdasarkan output atau hasil dari
aplikasi SIPOL yang justru membingungkan dan menambah beban sebagian partai
politik yang mengikuti verifikasi. Berdasarkan hal itu DKPP berkesimpulan bahwa
dalam penerapan SIPOL para Teradu terbukti tidak merencanakan dengan baik dan
tidak sanggup mengatasi kekurangan dan kesalahan dalam penerapannya. Sehingga DKPP
memutuskan para Teradu tidak terbukti mempunyai i’tikad buruk untuk melanggar
kode etik penyelenggara Pemilu.
Dalam hal ini, seharusnya DKPP justru lebih memperhatikan terkait dengan aspek hukum keterlibatan IFES dalam tahapan verifikasi partai politik, bukan malah mempertimbangkan aplikasi SIPOL.
D. Kesimpulan
Dari hasil analisis yuridis atas Putusan DKPP No.
25-26/DKPP-PKE-I/2012, secara sederhana
dapat disimpulkan bahwa:
1. Putusan DKPP Nomor 23-25/DKPP-PKE-I/2012 telah melampaui batas kewenangannya (out of authority). Karena dianggap tidak hanya memutus pengaduan pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu namun sudah menyentuh ranah teknis penyelenggaraan tahapan pemilu yang
menjadi kewenangan KPU RI, yang tercermin pada :
a. Putusan DKPP yang memerintahkan KPU untuk melakukan verifikasi faktual terhadap
18 parpol yang sebelumnya dinyatakan tidak lolos verifikasi administrasi.
b. Putusan DKPP yang merekomendasikan kepada KPU untuk
menjatuhkan sanksi pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu terhadap pihak
terkait yaitu kepada Sekretaris Jenderal KPU, Wakil Sekretaris Jenderal KPU dan
Ketua Pokja Verifikasi Partai Politik, serta Kepala Biro Hukum Sekretariat
Jenderal KPU, dan Wakil Kepala Biro Hukum. Padahal, pihak-pihak terkait tersebut sesungguhnya tidak termasuk
para pihak dalam perkara Pelanggaran Kode Etik yang diadukan oleh pengadu ke
DKPP, karena pengadu hanya mengadukan Teradu yang terdiri dari
Ketua dan Anggota KPU RI
2. DKPP
tidak bisa memposisikan dirinya sebagai sebuah lembaga yang memutus Kode Etik
penyelenggara pemilu sesuai
peraturan perundang-undangan yang ada serta dijalankan secara benar tanpa
mengesampingkan peran penyelenggara pemilu yang satu dengan lainnya.
3. Sekiranya DKPP dalam melaksanakan proses
persidangan secara benar dan cermat, maksutnya memperhatikan dengan baik pokok
pengaduan pemohon, mempertimbangkan segala argumentasi para pihak dan fakta-fakta
persidangan, maka Putusan DKPP tidak akan keluar dari koridor kewenangannya dan
menimbulkan kontroversi.
E. Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat di sampaikan dari
hasil analisis Putusan DKPP No.
25-26/DKPP-PKE-I/2012 ini adalah sebagai berikut :
1. Di
masa mendatang DKPP dalam mengeluarkan putussannya harus dipastikan hanya
melakukan penegakan kode etik penyelenggara pemilu sesuai peraturan
perundang-undangan dan tidak mengeluarkan putusan yang justru bisa mengganggu
tatanan penyelenggara pemilu di Indonesia serta berpotensi mengambilalih
kewenangan lembaga penyelenggara pemilu yang lain.
2. KPU
dan Bawaslu harus terus membangun koordinasi yang baik sebagai satu kesatuan
penyelenggara pemilu.
1. Kepada
DKPP agar dalam melaksanakan persidangan sungguh-sungguh memperhatikan pokok
pengaduan pengadu, sehingga pada waktu mengeluarkan putusan benar-benar sesuai
dengan pengaduan pengadu dan tidak keluar dari koridor kewenangannya yang
diatur dalam UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu.
0 comments