KONSEP DIVERSI
Diversi adalah sebuah tindakan atau perlakuan untuk
mengalihkan atau menempatkan pelaku tindak pidana anak keluar dari sistem
peradilan pidana.[1]
Undang-Undang No.
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana telah mengatur tentang diversi yang berfungsi agar anak yang berhadapan dengan
hukum tidak terstigmatisasi akibat proses peradilan yang harus dijalaninya. Hal
ini sesuai dengan yang tercantum dalam Resolusi PBB tentang UN Standard Minimum
Rules for the Administration of Juvenile Justice, (Beijing Rule) Rule 11 :[2]
“Diversion, involving removal from criminal justice processing,
and frequently redirection to community support services, is commonly practiced
on a formal and informal basis in many legal system. This practice serves to
hinder the negative effects of subsequent proceedings in juvenile justice
administration (for example the stigma of conviction and sentence). In many
cases, non intervention would be the best response. This diversion at the out
set and without referral to alternative (social) services may be the optimal
response. This is especially the case where the offence is of a non-serious
nature and where the family, the school r other informal social control
institutions have already reacted, or are likely to react, in an appropriate
and constructive manner”.
Konsep Diversi pertama kali dikemukakan sebagai kosa kata pada
laporan peradilan anak yang disampakan Presiden Komisi Pidana (president’s
crime commissionis) Australia di Amerika Serikat pada tahun 1960. Awalnya
konsep diversi telah ada sebelum tahun 1960 ditandai berdirinya peradilan anak
(children’s court) sebelum abad ke-19 yaitu diversi dari sistem
peradilan pidana formal dan formalisasi polisi untuk melakukan peringatan (police
cautioning). Prakteknya telah berjalan di Negara bagian Victoria Australia
pada tahun 1959 diikuti oleh negara bagian queensland pada tahun 1963.
Pelaksanaan
diversi dilatarbelakangi keinginan menghindari efek negatif terhadap jiwa dan
perkembangan anak oleh keterlibatannya dengan sistem peradilan
pidana.Pelaksanaan diversi oleh aparat penegak hukum didasari oleh kewenangan
aparat penegak hukum yang disebut discretion atau dalam bahasa Indonesia
diskresi. Dengan penerapan konsep diversi bentuk peradilan formal yang ada
selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan perlindungan bagi anak dari
tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa perlindungan anak dengan
kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat peradilan mulai dari
masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan melakukan pencegahan.Setelah
itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka tidak perlu diproses ke
polisi.
Prinsip
utama pelaksanaan konsep diversi yaitu tindakan persuasif atau pendekatan non
penal dan memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memperbaiki kesalahan.[3]
Diversi berupaya memberikan keadilan kepada kasus anak yang telah
terlanjur melakukan tindak pidana sampai kepada aparat penegak hukum sebagai
pihak penegak hukum. Kedua keadilan tersebut dipaparkan melalui sebuah
penelitian terhadap keadaan dan situasi untuk memperoleh sanksi atau tindakan
yang tepat (appropriate treatment) Tiga jenis pelaksanaan
program diversi yaitu :
1. Pelaksanaan kontrol secara sosial (social control orientation),
yaitu aparat penegak hukum menyerahkan pelaku dalam tanggung jawab pengawasan
atau pengamatan masyarakat, dengan ketaatan pada persetujuan atau peringatan
yang diberikan. Pelaku menerima tanggung jawab atas perbuatannya dan tidak
diharapkan adanya kesempatan kedua kali bagi pelaku oleh masyarakat.
2. Pelayanan sosial oleh masyarakat terhadap pelaku (social service
orientation), yaitu melaksanakan fungsi untuk mengawasi, mencampuri,
memperbaiki dan menyediakan pelayanan pada pelaku dan keluarganya. Masyarakat
dapat mencampuri keluarga pelaku untuk memberikan perbaikan atau pelayanan.
3. Menuju proses restorative justice atau perundingan (balanced or
restorative justice orientation), yaitu melindungi masyarakat, memberi
kesempatan pelaku bertanggung jawab langsung pada korban dan masyarakat dan
membuat kesepakatan bersama antara korban pelaku dan masyarakat. Pelaksanaannya
semua pihak yang terkait dipertemukan untuk bersama-sama mencapai kesepakatan
tindakan pada pelaku.
Penerapan ketentuan diversi merupakan hal yang penting untuk
dipertimbangkan, karena dengan diversi hak-hak asasi anak dapat lebih terjamin,
dan menghindarkan anak dari stigma sebagai “anak nakal”, karena tindak pidana
yang diduga melibatkan seorang anak sebagai pelaku dapat ditangani tanpa perlu
melalui proses hukum.[4]
Adapun
yang menjadi tujuan upaya diversi adalah :[5]
a.
Untuk
menghindari anak dari penahanan;
b.
Untuk
menghindari cap/label anak sebagai penjahat;
c.
Untuk
mencegah pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh anak;
d.
Agar
anak bertanggung jawab atas perbuatannya;
e. Untuk
melakukan intervensi-intervensi yang diperlukan bagi korban dan anak tanpa
harus melalui proses formal Menghindari anak mengikuti proses sistem peradilan;
f.
Menjauhkan
anak dari pengaruh dan implikasi negatif dari proses peradilan.
a.
Mendorong
anak untuk bertanggung jawab atas perbuatannya;
b. Memberikan
kesempatan bagi anak untuk mengganti kesalahan yang dilakukan dengan berbuat
kebaikan bagi si korban;
c.
Memberikan
kesempatan bagi si korban untuk ikut serta dalam proses;
d. Memberikan
kesempatan bagi anak untuk dapat mempertahankan hubungan dengan keluarga;
e. Memberikan
kesempatan bagi rekonsiliasi dan penyembuhan dalam masyarakat yang dirugikan
oleh tindak pidana.
Dengan penerapan konsep diversi bentuk
peradilan formal yang ada selama ini lebih mengutamakan usaha memberikan
perlindungan bagi anak dari tindakan pemenjaraan. Selain itu terlihat bahwa
perlindungan anak dengan kebijakan diversi dapat dilakukan di semua tingkat
peradilan mulai dari masyarakat sebelum terjadinya tindak pidana dengan
melakukan pencegahan.Setelah itu jika ada anak yang melakukan pelanggaran maka
tidak perlu diproses ke polisi.
[1]
http:// doktormarlina.htm Marlina, Penerapan
Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku TindakPidana dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak.Diakses pada 1
Okteber 2012
[2] Hadisuprapto,
Paulus. 2006. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Peradilan Restoratif : Model
Peradilan Anak Indonesia Masa Datang. Semarang : Badan Penerbit Universitas
Diponegoro. Dalam Lushiana Primasari, Keadilan
Restoratif Dan Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum,
Internet, Hal 3. Diakses pada 1 Oktober 2012.
[3]
http://
doktormarlina.htm Marlina, Penerapan
Konsep Diversi Terhadap Anak Pelaku TindakPidana dalam Sistem Peradilan Pidana
Anak. Diakses pada 1
Okteber 2012
[4] Lushiana
Primasari, Keadilan Restoratif Dan
Pemenuhan Hak Asasi Bagi Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Internet, Hal
3. Diakses pada 1 Oktober 2012.
[5] Ibid, hal 3-4.
0 comments