Pro dan Kontra terhadap Usulan Perubahan Pemilihan Gubernur
Diskursus tentang perubahan sistem pemilihan kepala daerah khususnya
pemilihan Gubernur mulai bergulir sejalan dengan banyaknya ketidakpuasan
berbagai pihak untuk tidak lagi menggunakan sistem pemilihan Gubernur secara
langsung oleh rakyat. Usulan terhadap perubahan mekanisme pemilihan
Gubernur tersebut mencuat ketika Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri
mengusulkan Rancangan Undang-undang Pemillihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). RUU
Pilkada yang merupakan bagian dari revisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) yang di dalamnya mengatur pemilihan
gubernur secara langsung. Saat ini, RUU Pilkada sedang dalam proses pembahasan
oleh DPR sebagai bagian dari program legislasi nasional.
Dalam RUU Pilkada tersebut, Pemerintah mengajukan
usulan perubahan sistem pemilihan Gubernur yaitu merubah sistem pemilihan
Gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi sistem pemilihan Gubernur secara
perwakilan oleh DPRD Provinsi. Sementara untuk mekanisme pemilihan bupati/wali
kota tetap secara langsung oleh rakyat. Di samping itu, untuk mekanisme
pemilihan wakil kepala daerah tidak lagi dipilih secara berpasangan dengan
kepala daerah, tetapi wakil kepala daerah diusulkan oleh kepala daerah terpilih
dari pegawai negeri sipil. Hal itu untuk menghindari fenomena “pecah kongsi”
yang mengakibatkan tidak efektifnya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Beberapa
usulan perubahan mendasar lainnya yang tercantum dalam RUU Pilkada adalah
mencegah politik dinasti dan politik transaksi, mendukung netralitas birokrasi,
efisiensi kampanye, pengaturan terhadap calon inkumben, dan penyelesaian
sengketa pilkada.
Secara
konstitusional Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menegaskan, bahwa kepala daerah
dipilih secara demokratis. Konstitusi secara tegas tidak
mengharuskan Gubernur dipilih secara langsung oleh rakyat, melainkan hanya
dipilih secara demokratis. Rumusan
“dipilih secara demokratis” lahir dari perdebatan panjang di Panitia Ad Hoc 1
Badan Pekerja MPR tahun 2000 antara pendapat yang menghendaki kepala daerah
dipilih oleh DPRD dan pendapat lain yang menghendaki dipilih secara langsung
oleh rakyat. Namun memang makna “demokratis” bisa
berkonotasi dua yaitu pertama, bisa
dipilih secara langsung oleh rakyat dan kedua,
bisa dipilih oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Dalam konteks sejarah ketatanegaraan di Indonesia berkaitan
dengan pemilihan kepala daerah, beberapa sistem mekanisme pemilihan kepala
daerah telah dilaksanakan. Pertama,
(era kemerdekaan pra-1958) pemerintah pusat menunjuk kepala daerah. Kedua, (1959-1973) Presiden mempunyai
kewenangan langsung menunjuk para kepala daerah. Ketiga, (1974-1998) DPRD menominasikan calon kepala daerah kepada
Presiden dan akan diputuskan oleh Presiden. Keempat,
(1999-2003) DPRD memilih kepala daerah tanpa keterlibatan dari pemerintah pusat.
Kelima, (2004-sekarang) pemilihan
kepala daerah diubah menjadi pemilihan langsung oleh rakyat yang menggunakan
mekanisme satu orang satu suara yg lebih lanjut di atur dalam UU No. 32 Tahun
2004 tentang Pemda.
Namun setelah sekian lama implementasi UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemda mulai dari tahun 2004 hingga sekarang, banyak masyarakat
Indonesia mempertanyakan, apakah mekanisme pemilihan Gubernur secara langsung
oleh rakyat masih sesuai dengan tujuan demokrasi itu sendiri?. Hal itulah yang
menjadi usulan Pemerintah melalui RUU Pilkada untuk mengubah mekanisme
pemilihan Gubernur secara langsung oleh rakyat menjadi pemilihan Gubernur oleh
DPRD. Usulan perubahan pemilihan Gubernur tersebut merupakan topik yang sangat serius,
karena mengingat berpotensi menyurutkan pembangunan demokrasi di Indonesia yang
bermaksud mengurangi peran rakyat dalam menentukan pemimpinnya di daerah.
Setidaknya
terdapat pro dan kontra terkait dengan usulan pemerintah yang
mengusulkan pemilihan Gubernur oleh DPRD. Bagi pihak yang kontra terhadap usulan
pemilihan Gubernur oleh DPRD menyatakan, bahwa pemilihan Gubernur oleh DPRD adalah merupakan suatu kemunduran yang luar biasa bagi demokrasi Indonesia. Karena Pemilihan Gubernur oleh DPRD
tidak mencerminkan kedaulatan rakyat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 ayat (2) UUD 1945.
Masyarakat luas tidak tahu siapa dan bagaimana visi dan misi para calon
Gubernur mereka, artinya DPRD menjadi sebagai kekuatan dominan yang akan
membajak hak rakyat untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Dengan demikian pemilihan
Gubernur Oleh DPRD dapat mengingkari hak konstitusional warga negara untuk memilih dan dipilih (rights to vote and rights to be candidate),
merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional. Maka pembatasan, penyimpangan,
peniadaan dan penghapusan akan hak dimaksud merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi warga negara.
Berbeda juga alasan bagi pihak yang pro, setidaknya
ada dua alasan khusus untuk yang setuju dengan pemerintah dalam hal usulan pemilihan
gubernur oleh DPRD. Pertama, yaitu
untuk meningkatkan efisiensi anggaran pemilu yang memiliki biaya yang sangat
tinggi untuk prosedur pemilihan Gubernur. I Gusti Putu Artha, mantan Anggota
Komisi Pemilihan Nasional menyebutkan, bahwa anggaran yang dibutuhkan untuk
setiap pemilihan gubernur langsung oleh rakyat adalah sekitar Rp 70 miliar
menjadi Rp 90 miliar atau sekitar US $ 7,5 juta menjadi US $ 10 juta. Bahkan Menteri
Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga menyatakan, bahwa setiap calon yang ingin
menjalankan dalam pemilihan gubernur langsung membutuhkan setidaknya lebih dari
Rp 20 miliar atau sekitar US $ 2 juta. Sementara itu, gaji pokok gubernur sebesar
Rp 8,7 juta per bulan, kalau mau menjadi seorang gubernur membutuhkan uang Rp
20 miliar, dengan gaji gubernur sebesar Rp 8,7 juta per bulan, maka butuh waktu
berapa lama untuk mengembalikan uang Rp 20 miliar itu? (Kompas, 23 Juli 2010). Oleh
karena itu, kita dapat mengasumsikan bahwa calon terpilih memanfaatkan
kesempatan apapun untuk mendapatkan kembali uang mereka yang dikeluarkan selama
proses kampanye mereka. Kedua, bahwa
Gubernur hanya memiliki tingkat otoritas yang rendah. Rendahnya intensitas
hubungan antara Gubernur dan masyarakat tidaklah menuntut akuntabilitas yang
tinggi dari Gubernur kepada masyarakat. Oleh karena itu, Pemerintah mencatat,
bahwa proses pemilihan langsung akan terlalu mahal hanya untuk pemilihan
gubernur karena otoritas mereka hanya sebagai wakil pemerintah pusat di tingkat
daerah. Kalau
kewenangan Gubernur sangat terbatas, mengapa harus dipilih dengan biaya yang
sangat mahal?.
Demikian beberapa argumen yang masih menimbulkan pro dan kontra, sehingga hal
terebut menarik untuk dikaji dalam perspektif hukum dan politik untuk menentukan
mekanisme yang demokratis dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.
M. Lutfi Chakim
Mobile: 085334613500
1 comments