Latest Posts

TERRA NULLIUS

By 11:33:00 PM , ,


Tulisan Berikut telah dipublikasikan di Majalah Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI No. 102 Agustus 2015

Wilayah adalah salah satu unsur pokok dalam suatu negara, di samping penduduk, pemerintahan yang berdaulat, dan pengakuan dari negara lain. Suatu wilayah menunjukkan identitas sebuah negara, Thomas Hobbes dalam Leviathan or The Matter, Forme and Power of a Common Wealth Ecclesiasticall and Civil (1651), menyatakan bahwa negara berdaulat (sovereignity state) adalah negara yang mampu menjaga wilayah beserta etnis-etnis didalamnya. Namun, persoalan wilayah juga kerap kali menimbulkan ketegangan atau konflik antar negara, salah satunya yaitu wilayah yang dikategorikan sebagai terra nullius atau disebut sebagai wilayah yang tidak bertuan.
Black's Law Dictionary Seventh Edition (1999), mengartikan terra nullius adalah, “A territory not belonging to any particular country”. Sedangkan menurut Wikipedia Indonesia, terra nullius adalah istilah dalam bahasa Latin yang berasal dari hukum Romawi, yang berarti "tanah yang tidak dimiliki siapapun".
Menurut Hassan Wirajuda dalam makalah Kasus Sipadan Ligitan: Masalah Pengisian Konsep Negara Proses Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (2003) juga menggunakan istilah terra nullius yang diartikan sebagai “suatu wilayah yang tidak bertuan”. Sementara dalam hukum internasional, terra nullius diartiikan sebagai wilayah tanpa kepemilikan atau wilayah yang tidak pernah menjadi bagian dari negara yang berdaulat atau tidak ada satupun negara berdaulat yang dapat mengklaim atas wilayah tersebut.
Berdasarkan definisi diatas, hal yang menarik dalam membahas terra nullius adalah suatu wilayah yang tidak bertuan atau tidak menjadi bagian dari negara manapun. Sehingga wilayah terra nullius memiliki potensi besar akan timbulnya konflik antar negara, konflik atas wilayah terra nullius mayoritas terletak di perbatasan antara pulau-pulau terluar suatu negara dengan negara-negara tetangga, konflik yang terjadi biasanya berbentuk overlapping claim atau saling mengklaim atas wilayah terra nullius. Selain itu, overlapping claim juga kerap terjadi dengan ditandai adanya pergeseran atau hilangnya patok wilayah terra nullius.
Salah satu contoh sengketa wilayah yang menarik perhatian publik adalah terkait kedaulatan atas pulau yang melibatkan Indonesia dan Malaysia dalam sengketa wilayah Pulau Sipadan dan Ligitan. Kedua pulau tersebut mulai disengketakan sejak tahun 1967 ketika Indonesia dan Malaysia memasukkan Sipadan dan Ligitan kedalam batas wilayahnya dalam pertemuan teknis hukum laut kedua negara.
Indonesia dan Malaysia sama-sama menyatakan bahwa kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan masih belum jelas bagi kedua negara. Dengan kata lain, kedua pulau tersebut ketika ditemukan masih merupakan wilayah terra nullius. Sehingga Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim kedaulatan atas kedua pulau tesebut, namun dalam negosiasi dan diplomasi pada berbagai tingkat seperti Joint Working Group Meetings, Senior Official Meetings, dan Joint Commission Meetings antar kedua negara tidak berhasil mencapai kesepakatan final, akhirnya Indonesia dan Malaysia sepakat untuk menyelesaikan Sengketa wilayah tersebut melalui Mahkamah Internasional. Pada tahun 1997, sengketa pulau Sipadan dan Ligitan dibawa ke Mahkamah Internasional yang disebut dengan Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice the Dispute between Indonesia and Malaysia concerning the Sovereignty over Pulau Sipadan and Ligitan.
Pada Selasa, 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional akhirnya memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Malaysia, dengan pertimbangan bahwa perjanjian antara Inggris dan Belanda adalah perjanjian batas wilayah darat, bukan wilayah perairan dan sangat sulit untuk dijadikan argumen untuk mengklaim Sipadan dan Ligitan. Selain itu, berdasarkan pertimbangan  prinsip effectivity atau penguasaan efektif, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Inggris selaku penjajah atau pendahulu Malaysia terbukti telah melakukan penguasaan efektif terhadap kedua pulau tersebut, hal ini ditunjukkan dengan pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan pengaturan dan administratif (regulatory and administrative assertions of authority over Territory) secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak tahun 1960. (International Court of Justice, 2002)
Terlepas dari kasus diatas, suatu negara memang dapat memperoleh wilayah terra nullius dengan beberapa cara yaitu, 1) Occupation, yaitu cara memperoleh wilayah melalui pendudukan terhadap terra nullius, occupation mengandung 2 (dua) unsur pokok yaang terdiri dari penemuan (discovery) dan pengawasan yang efektif (administration), 2) Annexation, yaitu cara pemilikan suatu wilayah berdasarkan kekerasan (penaklukan), dan 3) Accretion, yaitu cara perolehan suatu wilayah baru melalui proses alam (geografis). Cara-cara tersebut tetap harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam hukum internasional, sehingga tidak ada satupun negara yang merasa dirugikan.   
Menurut I Made Andi Arsana dalam Akankah Indonesia Kehilangan Pulau? Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas Hingga Semakau (Jurnal Opinio Juris Vol. 12, Januari-April 2013), menyatakan bahwa untuk kasus pulau-pulau yang terra nullius maka prinsip effectivity atau penguasaan efektif menjadi berlaku dalam menentukan kedaulatannya. Dengan kata lain, pertanyaan “siapa yang telah mengelola, siapa yang sudah mengembangkan, dan siapa yang menduduki” penting untuk menentukan kedaulatan atas sebuah pulau jika pulau itu tidak ada yang memiliki (terra nullius). Begitu juga sebaliknya, jika pulau tersebut sudah resmi menjadi bagian dari kedaulatan suatu negara maka penguasaan dan pengelolaan atasnya tidak akan mengubah status kedaulatan terhadapnya. Artinya kedaulatan atas sebuah pulau yang sudah pasti menjadi bagian wilayah suatu negara tidak akan dengan mudah berpindah ke negara lain hanya karena negara lain mengklaimnya.
Dalam konteks Indonesia, sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17 ribu pulau, maka tentu memerlukan usaha yang yang sangat serius untuk menjaga dan melestarikannya, pulau-pulau Indonesia juga sudah tidak ada lagi yang dikategorikan sebagai terra nullius, sehingga tidak ada negara lain yang berhak mengklaim pulau-pulau Indonesia. Bahkan hukum internasional juga tidak membenarkan apabila suatu negara mengklaim kedaulatan atas suatu pulau yang sudah resmi menjadi milik suatu negara. 

M Lutfi Chakim

You Might Also Like

0 comments