TERRA NULLIUS
Tulisan Berikut telah dipublikasikan di Majalah Konstitusi Mahkamah Konstitusi RI No. 102 Agustus 2015
Wilayah adalah salah satu unsur pokok dalam suatu negara,
di samping penduduk, pemerintahan yang berdaulat, dan pengakuan dari negara
lain. Suatu wilayah menunjukkan identitas sebuah negara, Thomas
Hobbes dalam Leviathan or The Matter, Forme and Power of a Common Wealth Ecclesiasticall and
Civil (1651), menyatakan bahwa negara berdaulat (sovereignity state)
adalah negara yang mampu menjaga wilayah beserta etnis-etnis didalamnya. Namun,
persoalan wilayah juga kerap kali menimbulkan ketegangan atau konflik antar
negara, salah satunya yaitu wilayah yang dikategorikan sebagai terra nullius atau disebut sebagai wilayah
yang tidak bertuan.
Black's Law Dictionary Seventh Edition (1999), mengartikan
terra nullius adalah, “A territory not belonging to any particular
country”. Sedangkan menurut Wikipedia Indonesia, terra nullius adalah
istilah dalam bahasa Latin yang
berasal dari hukum Romawi, yang
berarti "tanah yang tidak dimiliki siapapun".
Menurut Hassan Wirajuda dalam makalah Kasus Sipadan Ligitan: Masalah Pengisian Konsep Negara Proses
Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (2003) juga
menggunakan istilah terra nullius yang diartikan sebagai “suatu wilayah yang tidak bertuan”. Sementara
dalam hukum internasional, terra nullius
diartiikan sebagai wilayah tanpa kepemilikan atau wilayah yang tidak pernah
menjadi bagian dari negara yang berdaulat atau tidak ada satupun negara
berdaulat yang dapat mengklaim atas wilayah tersebut.
Berdasarkan definisi diatas, hal yang menarik
dalam membahas terra nullius adalah suatu wilayah yang tidak bertuan atau
tidak menjadi bagian dari negara manapun. Sehingga wilayah terra nullius memiliki potensi besar akan timbulnya
konflik antar negara, konflik atas wilayah terra nullius mayoritas terletak di perbatasan
antara pulau-pulau terluar suatu negara dengan negara-negara tetangga, konflik
yang terjadi biasanya berbentuk overlapping claim atau saling mengklaim
atas wilayah terra nullius. Selain
itu, overlapping claim juga kerap terjadi dengan ditandai adanya pergeseran
atau hilangnya patok wilayah terra
nullius.
Salah satu contoh sengketa wilayah yang menarik perhatian
publik adalah terkait kedaulatan atas pulau yang melibatkan Indonesia dan
Malaysia dalam sengketa wilayah Pulau Sipadan dan Ligitan. Kedua pulau tersebut
mulai disengketakan sejak tahun 1967 ketika Indonesia dan Malaysia memasukkan
Sipadan dan Ligitan kedalam batas wilayahnya dalam pertemuan teknis hukum laut
kedua negara.
Indonesia dan Malaysia sama-sama menyatakan bahwa
kedaulatan atas pulau Sipadan dan Ligitan masih belum jelas bagi kedua negara.
Dengan kata lain, kedua pulau tersebut ketika ditemukan masih merupakan wilayah
terra nullius. Sehingga Indonesia dan Malaysia sama-sama mengklaim
kedaulatan atas kedua pulau tesebut, namun dalam negosiasi dan diplomasi pada
berbagai tingkat seperti Joint Working Group Meetings, Senior
Official Meetings, dan Joint Commission Meetings antar kedua
negara tidak berhasil mencapai kesepakatan final, akhirnya Indonesia dan
Malaysia sepakat untuk menyelesaikan Sengketa wilayah tersebut melalui Mahkamah
Internasional. Pada tahun 1997, sengketa pulau
Sipadan dan Ligitan dibawa ke Mahkamah Internasional yang disebut dengan
Special Agreement for the Submission to the International Court of Justice
the Dispute between Indonesia and Malaysia concerning the Sovereignty
over Pulau Sipadan and Ligitan.
Pada Selasa, 17 Desember 2002 Mahkamah
Internasional akhirnya memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan bagian
dari wilayah kedaulatan Malaysia, dengan pertimbangan bahwa perjanjian antara
Inggris dan Belanda adalah perjanjian batas wilayah darat, bukan wilayah
perairan dan sangat sulit untuk dijadikan argumen untuk mengklaim Sipadan dan
Ligitan. Selain itu, berdasarkan pertimbangan prinsip effectivity atau penguasaan efektif, Mahkamah
Internasional menyatakan bahwa Inggris selaku penjajah atau pendahulu Malaysia
terbukti telah melakukan penguasaan efektif terhadap kedua pulau tersebut, hal
ini ditunjukkan dengan pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan pengaturan dan
administratif (regulatory and administrative assertions of authority
over Territory) secara nyata berupa
penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap
pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak tahun 1960. (International Court of
Justice, 2002)
Terlepas dari kasus diatas, suatu negara
memang dapat memperoleh wilayah terra nullius dengan beberapa cara yaitu, 1) Occupation,
yaitu cara memperoleh wilayah melalui
pendudukan terhadap terra nullius, occupation
mengandung 2 (dua) unsur pokok yaang terdiri dari penemuan (discovery) dan pengawasan yang efektif (administration), 2) Annexation, yaitu cara pemilikan suatu
wilayah berdasarkan kekerasan (penaklukan),
dan 3) Accretion,
yaitu cara perolehan suatu wilayah baru melalui proses alam (geografis).
Cara-cara tersebut tetap harus memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam hukum
internasional, sehingga tidak ada satupun negara yang merasa dirugikan.
Menurut I Made Andi Arsana dalam
Akankah Indonesia Kehilangan Pulau? Belajar Dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau
Berhala, Miangas Hingga Semakau (Jurnal Opinio Juris Vol. 12, Januari-April
2013), menyatakan bahwa untuk kasus
pulau-pulau yang terra nullius maka prinsip effectivity atau penguasaan efektif menjadi berlaku dalam
menentukan kedaulatannya. Dengan kata lain, pertanyaan “siapa yang telah
mengelola, siapa yang sudah mengembangkan, dan siapa yang menduduki” penting
untuk menentukan kedaulatan atas sebuah pulau jika pulau itu tidak ada yang
memiliki (terra nullius). Begitu juga
sebaliknya, jika pulau tersebut sudah resmi menjadi bagian dari kedaulatan
suatu negara maka penguasaan dan pengelolaan atasnya tidak akan mengubah status
kedaulatan terhadapnya. Artinya kedaulatan atas sebuah pulau yang sudah pasti
menjadi bagian wilayah suatu negara tidak akan dengan mudah berpindah ke negara
lain hanya karena negara lain mengklaimnya.
Dalam konteks Indonesia, sebagai negara kepulauan yang
memiliki lebih dari 17 ribu pulau, maka tentu memerlukan usaha yang yang sangat
serius untuk menjaga dan melestarikannya, pulau-pulau Indonesia juga sudah
tidak ada lagi yang dikategorikan sebagai terra nullius, sehingga
tidak ada negara lain yang berhak mengklaim pulau-pulau Indonesia. Bahkan hukum
internasional juga tidak membenarkan apabila suatu negara mengklaim kedaulatan
atas suatu pulau yang sudah resmi menjadi milik suatu negara.
M Lutfi Chakim
0 comments