Ethical Norms
Tulisan berikut telah dipublikasikan di Majalah Konstitusi Mahkamah Konstitusi No. 104 - Oktober 2015.
Good and clean governance dalam suatu negara dapat terwujud apabila seluruh elemen bangsa khususnya
pejabat publik tidak hanya memiliki kompetensi
keilmuan, leadership, namun juga kompetensi etika, karena jika tanpa
memiliki kompetensi etika pejabat publik cenderung berperilaku tidak
profesional (unprofessional conduct)
dalam melaksanakan pelayanan publik. Pada dasarnya norma etika (ethical norms) mengajarkan
manusia dan menekankan setiap individu bagaimana mengikuti dan mengambil ajaran
moral atau bagaimana seseorang bisa mengambil sikap dan memastikan tindakan
apapun yang ditempuh dengan senantiasa bersandarkan pada nilai-nilai moral.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mengartikan etika adalah sebagai ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk, dan tentang hak kewajiban moral (akhlak) atau nilai dan norma
moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur
tingkah lakunya.
Sedangkan
menurut Weihrich dan Koontz (2005:46) sebagaimana dikutip Wahyudi
Kumorotomo, dkk, dalam Etika Publik
(2015) menyatakan, etika yaitu “the dicipline dealing
with what is good and bad and with moral duty and obligation”.
Secara lebih spesifik Collins Cobuild (1990:480) mendefinisikan etika sebagai “an idea or moral believe that influences the
behaviour, attitudes and philosophy of life of a group of people”. Pengertian
tersebut menunjukkan bahwa konsep etika merupakan sinonim dengan moral.
Berdasarkan definisi diatas, etika dapat dipahami sebagai refleksi atas
baik/buruk (good and bad), serta
benar/salah (right and wrong) yang
harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik/benar, sedangkan moral
mengacu pada kewajiban untuk melakukan apa yang baik atau apa yang seharusnya
dilakukan.
Norma etika (ethical
norms) berbeda dengan
norma hukum (legal norms), namun keduanya memiliki hubungan yang
sinergis. Menurut Jimly Assiddiqie dalam Peradilan Etik dan Etika Konstitusi:
Perspektif Baru tentang “Rule of Law and
Rule of Ethics” & “Constitutional
Law and Constitutional Ethics” (2014) mengatakan, bahwa hubungan antara hukum dan etika dizaman sekarang sudah mengalami
transformasi yang sangat berbeda dari zama-zaman dahulu. Jika dahulu sistem
norma agama, norma etika, dan norma hukum cenderng terpisah dan dipisahkan,
sekarang kebutuhan praktik diseluruh dunia menunjukkan gejala yang sebaliknya,
ketiganya mulai saling bergantung dan membutuhkan hubungan komplementer yang
bersifat sinergis antara satu dengan yang lain. Kerena itu, Earl Warren, Ketua
Mahkamah Agung Amerika Serikat (1953-1969) pernah berkata, “law floats in a sea of ethics”, hukum
mengapung diatas samudra etika, hukum tidak dapat tegak, jika air samudra etika
itu tidak mengalir. Jika kehidupan sosial tidak beretika, mana mungkin kita
menegakkan hukum yang berkeadilan. Artinya, ada hubungan sinergi antara hukum
dan etika, etika lingkupnya lebih luas daripada hukum. Sesuatu yang melanggar
etika belum tentu melanggar hukum, meskipun sesuatu yang melangar hukum dapat
dikatakan juga melanggar etika.
Oleh karena itu, kita tidak
dapat lagi mengatakan bahwa hukum itu lebih tinggi daripada etika. Bahkan etika
juga tidak perlu atau tidak dapat dikatakan lebih tinggi daripada hukum.
Hubungan diantara keduanya disamping bersifat luas sempit seperti tersebut,
adalah juga bersifat luar-dalam, bukan atas-bawah secara vertikal. Agama adalah
sumber etika, etika adalah hukum, maka jika hukum adalah jasad, maka etika
adalah rohnya yang berintikan nilai-nilai agama. Hukum tidak boleh terlepas
dari rohnya, yaitu etika keadilan. Dengan demikian, dalam konteks pengertian
konstitusi, kita tidak boleh menafikan adanya norma hukum dan norma etika
didalamnya. Karena itu, dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945) terkandung pengertian tentang norma hukum konstitusi (constitutional law), dan sekaligus norma
etika konstiusi (constitutional ethics).
Pancasila disamping merupakan sumber hukum (source
of law), juga merupakan sumber etika (source
of ethics) dalam rangka berbangsa dan bernegara. Kemudian UUD 1945
disamping merupakan sumber hukum konstitusi (constitutional law), juga merupakan sumber etika konstitusi (constitutional ethics). (Jimly
Assiddiqie dalam Peradilan Etik dan Etika Konstitusi: Perspektif Baru tentang “Rule of Law and Rule of Ethics” & “Constitutional Law and Constitutional Ethics”,
2014).
Dalam UUD 1945, rumusan norma etika setidaknya dapat ditemukan melalui larangan bagi
penyelenggaran negara untuk melakukan perbuatan tercela, sebagaimana terdapat
dalam Pasal 7A UUD 1945, “Presiden
dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden”. Kemudian Pasal 24A (2) UUD 1945, “Hakim agung harus memiliki
integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan
berpengalaman di bidang hukum”. Pasal 24B
(2) UUD 1945, “Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan
dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela”. Pasal 24C (5) UUD 1945, “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan
kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai
konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”.
Sebagai
pedoman dalam bertindak dan berperilaku, maka etika dirumuskan dalam bentuk
aturan (code) tertulis yang secara sistematik dibuat berdasarkan
prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat dibutuhkan akan
bisa difungsikan sebagai
alat untuk menghakimi
segala macam tindakan yang secara
logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari Kode Etik. Dengan demikian, Kode Etik dibuat dan diterapkan dari
dan untuk kepentingan kelompok profesi itu sendiri. Selain itu, Kode etik diperlukan
untuk menjaga martabat serta kehormatan profesi, dan disisi lain melindungi
masyarakat dari segala
bentuk penyimpangan maupun
penyalahgunaan keahlian.
Dalam
rangka memastikan Kode Etik dapat ditaati dan dilaksanakan, maka dibentuk lembaga
khusus yang memiliki kewenangan untuk menegakkan Kode Etik, diantaranya seperti
Komisi Yudisial (KY) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim, Dewan Pers
sebagai lembaga penegak Kode Etik jurnalis, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI)
sebagai lembaga pengawas penyiaran di Indonesia, Dewan Kehormatan Penyelenggara
Pemilu (DKPP) yaitu lembaga penegak Kode Etik penyelenggara pemilu, Dewan Etik
Hakim Konstitusi yaitu lembaga yang memiliki fungsi menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran, martabat dan kode etik hakim konstitusi, dan masih
banyak lembaga yang lain yang memiliki fungsi serupa.
Dengan demikian, bagi
penyelenggara negara yang terbukti melanggar Kode
Etik, maka
lembaga-lembaga yang memiliki fungsi
menegakkan Kode Etik tersebut dapat memberikan sanksi sesuai
dengan tingkat pelanggarannya, yaitu mulai dari teguran tertulis,
pemberhentian sementara, hingga pemberhentian tetap.
M
Lutfi Chakim
0 comments