SAMENSPANNING
Tulisan berikut dipublikasikan di Majalah Konstitusi - Mahkamah Konstitusi No. 108 - Februari 2016
Suatu perbuatan dapat
dikategorikan sebagai sebuah tindak pidana (strafbaar
feit) apabila oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana, sebagaimana telah
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun tindak pidana khusus yang diatur secara khusus pada
Undang-Undang Khusus. Salah satu Tindak pidana yang dipandang serius dan sangat berbahaya terutama
terhadap keamanan negara yaitu berkenaan dengan tindak pidana permufakatan jahat atau
dikenal dengan istilah “samenspanning”.
Pengaturan tentang tindak
pidana permufakatan jahat (samenspanning) dapat ditemukan antara lain
dalam Pasal 88, Pasal 110, Pasal 116, Pasal 125, Pasal 139c, Pasal 164, Pasal
457, dan Pasal 462 KUHP. Dalam Pasal 88 KUHP, menyatakan “dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah
sepakat akan melakukan kejahatan”. Kemudian Pasal 110 ayat (1) KUHP,
menyatakan “Permufakatan jahat untuk
melakukan kejahatan menurut Pasal 104, 106, 107 dan 108 diancam berdasarkan
ancaman pidana dalam Pasal-Pasal tersebut", Pasal 104, Pasal 106,
Pasal 107 dan Pasal 108 KUHP tersebut
mengatur terkait tindak pidana yang sangat berbahaya dan dapat mengancam keamanan
negara, seperti upaya makar, menyebarkan atau
mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, dan pemberontakan.
Melihat pengaturan
permufakatan jahat dalam KUHP tersebut menurut Van Bemmelen-Van Hattum Hand en
Leerboek II sebagaimana dikutip dalam Putusan Mahkamah Agung No.
496 K/Pid.Sus/2012, bertanggal 29 November 2012, menjelaskan
mengapa permufakatan jahat terhadap ketentuan-ketentuan dalam Pasal
104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108 KUHP harus dijatuhi hukuman. Hal ini
dikarenakan pembuat Undang-Undang memandang kejahatan-kejahatan (tindak pidana)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108
KUHP tersebut telah dipandang sebagai kejahatan yang serius dan sangat
berbahaya terutama terhadap keselamatan Negara. Oleh karena itu, kejahatan yang
disebut staatsgevaarlijke misdrijven (kejahatan terhadap
keselamatan Negara) sudah harus dicegah atau diberantas pada waktu kejahatan
itu masih pada tingkat persiapan atau masih berada pada voorbereidingsstadium.
Dalam perkembangan peraturan perundang-undangan di
Indonesia, ketentuan tentang tindak pidana permufakatan jahat juga terdapat
dalam Undang-Undang tindak pidana khusus, antara lain diatur dalam Pasal
1 angka 18 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengartikan
permufakatan jahat, yaitu “Permufakatan
Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersekongkol atau bersepakat
untuk melakukan, melaksanakan, membantu, turut serta melakukan, menyuruh,
menganjurkan, memfasilitasi, memberi konsultasi, menjadi anggota suatu
organisasi kejahatan Narkotika, atau mengorganisasikan suatu tindak pidana
Narkotika”.
Kemudian permufakatan jahat juga
diatur dalam tindak pidana pencucian uang, Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
juga memberikan arti, yaitu “Permufakatan
Jahat adalah perbuatan dua orang atau lebih yang bersepakat untuk melakukan
tindak pidana Pencucian Uang”. Selain itu, sebagai upaya dalam rangka
pemberantasan korupsi, permufakatan jahat juga dimasukkan dalam ketentuan Pasal
15 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengatur adanya
ancaman pidana bagi setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau
pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi.
Sedangkan permufakatan jahat
dalam tindak pidana terorisme diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme,
menyatakan “Setiap Orang yang melakukan
permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana
pendanaan terorisme dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme
dengan pidana”
Ketentuan sebagaimana tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa tindak
pidana permufakatan jahat dianggap telah terjadi apabila dilakukan oleh dua
orang atau lebih mencapai suatu kesepakatan untuk melakukan
tindak pidana tersebut, karena
perjanjian untuk melakukan kejahatan haruslah di antara mereka telah terdapat
kata sepakat, sehingga tindak
pidana permufakatan jahat tidak mungkin dilakukan oleh hanya satu orang saja.
Mengenai konsepsi
“kesepakatan” untuk melakukan tindak pidana, menurut
Eddy OS Hiariej sebagaimana dikutip oleh Luthvi Febryka Nola dalam Permufakatan Jahat dalam Tindak Pidana
Korupsi (Info Singkat Vol. VII, No. 24/II/P3DI/Desember/2015), menjelaskan
bahwa konsepsi “kesepakatan” tersebut perlu dibuktikan dengan adanya meeting
of mind yang tidak mengharuskan adanya kesepakatan antara yang disuap
dengan penyuap atau pemeras dengan yang diperas. Namun demikian, dengan adanya
kesepakatan dua orang atau lebih untuk meminta sesuatu tanpa harus ada
persetujuan dari yang akan menyuap atau yang akan diperas kiranya sudah cukup
kuat. Ditegaskan pula bahwa meeting of mind tidak perlu dengan
kata-kata yang menandakan persetujuan secara eksplisit akan tetapi cukup dengan
bahasa tubuh dan kalimat-kalimat yang secara tidak langsung menandakan adanya
kesepakatan. Adapun dasar pemikiran yang digunakan adalah Pasal 55 KUHP. Selain
itu. Dalam teori hukum pidana dikenal dengan istilah sukzessive
mittaterscraft yang berarti adanya keikutsertaan dalam suatu kejahatan
termasuk permufakatan jahat dapat dilakukan secara diam-diam.
Namun demikian, adanya pengaturan
tentang tentang tindak pidana permufakatan jahat baik dalam KUHP maupun dalam
Undang-Undang tindak pidana khusus diatas menunjukkan betapa serius dan berbahayanya
tindak pidana tersebut khususnya terhadap keamanan negara, sehingga harus
dicegah dan diberantas pada waktu tindak pidana tersebut baru direncanakan. Oleh karena dianggap sebagai tindak pidana yang serius, maka
ancaman pidana yang dikenakan pada tindak pidana permufakatan jahat tentunya
harus lebih berat jika dibandingkan dengan tindak pidana yang lain.
0 comments