SAPTA KARSA HUTAMA
Tulisan berikut telah dipublikasikan di rubrik kamus hukum majalah konstitusi - Mahkamah Konstitusi edisi Nomor 122 April 2017
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dalam Pasal 24C ayat (5)
telah menentukan persyaratan yang sangat tinggi dan berat untuk menjadi hakim
konstitusi, yaitu “Hakim konstitusi harus
memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang
menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat
negara”.
Persyaratan
yang begitu tinggi dan berat bagi hakim konstitusi di atas dapat diterima,
karena Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki posisi dan peran yang strategis dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia, yakni berfungsi sebagai penjaga dan penafsir akhir
konstitusi yang berwenang menangani perkara di bidang ketatanegaraan
sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
Betapapun
hakim konstitusi sesungguhnya adalah juga manusia biasa yang sejatinya bersifat
lemah dan tidak mungkin luput dari kesalahan. Oleh karena itu, sangat penting
untuk menjadikan kode etik sebagai pedoman dan tata cara dalam berperilaku baik
dalam menjalankan tugas dan fungsinya maupun dalam keseharian, dimana dalam kode etik ditekankan kepada hakim
konstitusi mengenai bagaimana mengambil sikap
dan memastikan tindakan apapun yang dilakukan dengan senantiasa bersandarkan
pada prinsip-prinsip etika.
Kode etik bagi hakim konstitusi pada dasarnya
telah diatur dalam Bab IVA Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi. Seolah tidak cukup dengan hanya diatur dalam undang-undang,
maka sebagai upaya untuk melengkapi ketentuan yang sudah ada, dalam hal ini MK
telah membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor
09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim
Konstitusi (Sapta Karsa Hutama).
Istilah Sapta
Karsa Hutama menurut asal kata berasal dari bahasa sanskerta, (Sapta berarti tujuh, Karsa berarti daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup
untuk berkehendak, dan Hutama
merupakan bentuk lain dari utama), dalam arti terdapat tujuh prinsip sebagai pedoman
bagi
hakim konstitusi yang bertujuan untuk menjaga, memelihara, dan meningkatkan
integritas pribadi, kompetensi, dan perilaku hakim konstitusi.
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi
(Sapta Karsa Hutama) dideklarasikan
pada tanggal 1 Desember 2006 oleh sembilan Hakim Konstitusi generasi pertama
2003-2008 (Jimly Asshiddiqie, HM. Laica Marzuki, Abdul Mukthie Fadjar, Achmad
Roestandi, HAS. Natabaya, Harjono, I Dewa Gede Palguna, Maruarar Siahaan, dan
Soedarsono). Kemudian kode Etik Hakim Konstitusi yang saat ini berlaku adalah mengadopsi
dari ketentuan The Bengalore Principles
of Judicial Conduct 2002 yang telah disesuaikan dengan sistem hukum dan
peradilan Indonesia, serta etika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara Indonesia.
Sapta
Karsa Hutama memuat tujuh prinsip yang masing-masing
diderivasi dalam butir-butir penerapannya sebagai Kode etik dan pedoman
perilaku Hakim Konstitusi, Prinsip pertama Independensi dengan enam butir
penerapan; Prinsip kedua Ketakberpihakan (Imparsialitas) dengan lima butir
penerapan; Prinsip ketiga Integritas dengan empat butir penerapan; Prinsip
keempat Kepantasan dan Kesopanan dengan sebelas butir penerapan; Prinsip kelima
Kesetaraan dengan lima butir penerapan; Prinsip keenam Kecakapan dan
Keseksamaan dengan lima butir penerapan; dan Prinsip ketujuh Kearifan
Kebijaksanaan dengan lima butir penerapan.
Prinsip-prinsip tersebut di atas pada
pokoknya menyatakan bahwa hakim konstitusi berkewajiban untuk menjaga dan meningkatkan integritas,
independensi, kompetensi, kecakapan, dan lain-lain yang dijadikan tolok ukur
untuk menilai perilaku hakim konstitusi secara terus menurus. Dalam rangka memastikan Sapta Karsa Hutama dapat ditaati dan dilaksanakan, maka dibentuk perangkat
yang bersifat tetap atau permanen dalam hal ini Dewan Etik Hakim Konstitusi yang
diposisikan sebagai pelengkap keberadaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi
(MKMK) yang bersifat sementara (ad hoc)
sebagaimana telah diatur dalam UU MK.
Dalam
melaksanakan kewenangannya, Dewan Etik lebih difokuskan dalam rangka melakukan
tugas sehari-hari (day to day), Dewan
Etik merupakan instrumen tingkat pertama MK untuk menjaga dan menegakkan Kode
Etik, karena mempunyai kewenangan menjatuhkan sanksi berupa pelanggaran ringan terhadap
Kode Etik. Dalam hal terjadi pelanggaran
berat atas dasar laporan masyarakat dan/atau informasi yang disampaikan atau
diterima Dewan Etik, kemudian Dewan Etik dapat mengusulkan pembentukan MKMK.
Sehingga, dengan adanya Dewan Etik dan MKMK maka dapat menjadi saluran
masyarakat yang merasa tidak puas terhadap penanganan perkara di MKRI dan tidak
puas terhadap sikap/perilaku Hakim Konstitusi.
Berdasarkan
uraian tersebut di atas, menunjukkan betapa relevan dan aktualnya kehadiran Sapta Karsa Hutama dan mekanisme
penegakannya di MK, tanpa mengurangi proses hukum yang juga harus ditegakkan
secara konsisten di lembaga peradilan.
M. LUTFI CHAKIM
0 comments