Latest Posts

SAPTA KARSA HUTAMA

By 1:52:00 AM


Tulisan berikut telah dipublikasikan di rubrik kamus hukum majalah konstitusi -  Mahkamah Konstitusi edisi Nomor 122 April 2017


Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dalam Pasal 24C ayat (5) telah menentukan persyaratan yang sangat tinggi dan berat untuk menjadi hakim konstitusi, yaitu “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara”.
Persyaratan yang begitu tinggi dan berat bagi hakim konstitusi di atas dapat diterima, karena Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki posisi dan peran yang strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yakni berfungsi sebagai penjaga dan penafsir akhir konstitusi yang berwenang menangani perkara di bidang ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.
Betapapun hakim konstitusi sesungguhnya adalah juga manusia biasa yang sejatinya bersifat lemah dan tidak mungkin luput dari kesalahan. Oleh karena itu, sangat penting untuk menjadikan kode etik sebagai pedoman dan tata cara dalam berperilaku baik dalam menjalankan tugas dan fungsinya maupun dalam keseharian, dimana dalam kode etik ditekankan kepada hakim konstitusi mengenai bagaimana mengambil sikap dan memastikan tindakan apapun yang dilakukan dengan senantiasa bersandarkan pada prinsip-prinsip etika.
Kode etik bagi hakim konstitusi pada dasarnya telah diatur dalam Bab IVA Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi. Seolah tidak cukup dengan hanya diatur dalam undang-undang, maka sebagai upaya untuk melengkapi ketentuan yang sudah ada, dalam hal ini MK telah membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 09/PMK/2006 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama).
Istilah Sapta Karsa Hutama menurut asal kata berasal dari bahasa sanskerta, (Sapta berarti tujuh, Karsa berarti daya (kekuatan) jiwa yang mendorong makhluk hidup untuk berkehendak, dan Hutama merupakan bentuk lain dari utama), dalam arti terdapat tujuh prinsip sebagai pedoman bagi hakim konstitusi yang bertujuan untuk menjaga, memelihara, dan meningkatkan integritas pribadi, kompetensi, dan perilaku hakim konstitusi.
Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi (Sapta Karsa Hutama) dideklarasikan pada tanggal 1 Desember 2006 oleh sembilan Hakim Konstitusi generasi pertama 2003-2008 (Jimly Asshiddiqie, HM. Laica Marzuki, Abdul Mukthie Fadjar, Achmad Roestandi, HAS. Natabaya, Harjono, I Dewa Gede Palguna, Maruarar Siahaan, dan Soedarsono). Kemudian kode Etik Hakim Konstitusi yang saat ini berlaku adalah mengadopsi dari ketentuan The Bengalore Principles of Judicial Conduct 2002 yang telah disesuaikan dengan sistem hukum dan peradilan Indonesia, serta etika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia.
Sapta Karsa Hutama memuat tujuh prinsip yang masing-masing diderivasi dalam butir-butir penerapannya sebagai Kode etik dan pedoman perilaku Hakim Konstitusi, Prinsip pertama Independensi dengan enam butir penerapan; Prinsip kedua Ketakberpihakan (Imparsialitas) dengan lima butir penerapan; Prinsip ketiga Integritas dengan empat butir penerapan; Prinsip keempat Kepantasan dan Kesopanan dengan sebelas butir penerapan; Prinsip kelima Kesetaraan dengan lima butir penerapan; Prinsip keenam Kecakapan dan Keseksamaan dengan lima butir penerapan; dan Prinsip ketujuh Kearifan Kebijaksanaan dengan lima butir penerapan.
Prinsip-prinsip tersebut di atas pada pokoknya menyatakan bahwa hakim konstitusi berkewajiban untuk menjaga dan meningkatkan integritas, independensi, kompetensi, kecakapan, dan lain-lain yang dijadikan tolok ukur untuk menilai perilaku hakim konstitusi secara terus menurus. Dalam rangka memastikan Sapta Karsa Hutama dapat ditaati dan dilaksanakan, maka dibentuk perangkat yang bersifat tetap atau permanen dalam hal ini Dewan Etik Hakim Konstitusi yang diposisikan sebagai pelengkap keberadaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang bersifat sementara (ad hoc) sebagaimana telah diatur dalam UU MK.
Dalam melaksanakan kewenangannya, Dewan Etik lebih difokuskan dalam rangka melakukan tugas sehari-hari (day to day), Dewan Etik merupakan instrumen tingkat pertama MK untuk menjaga dan menegakkan Kode Etik, karena mempunyai kewenangan menjatuhkan sanksi berupa pelanggaran ringan terhadap Kode Etik. Dalam hal terjadi pelanggaran berat atas dasar laporan masyarakat dan/atau informasi yang disampaikan atau diterima Dewan Etik, kemudian Dewan Etik dapat mengusulkan pembentukan MKMK. Sehingga, dengan adanya Dewan Etik dan MKMK maka dapat menjadi saluran masyarakat yang merasa tidak puas terhadap penanganan perkara di MKRI dan tidak puas terhadap sikap/perilaku Hakim Konstitusi.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, menunjukkan betapa relevan dan aktualnya kehadiran Sapta Karsa Hutama dan mekanisme penegakannya di MK, tanpa mengurangi proses hukum yang juga harus ditegakkan secara konsisten di lembaga peradilan.
M. LUTFI CHAKIM

You Might Also Like

0 comments