LITIS FINIRI OPORTET
Berikut artikel terbaru saya tentang, "Litis Finiri Oportet" telah terbit di Majalah Konstitusi edisi No. 132 Februari 2018.
Hakim
adalah salah satu aktor penegak hukum yang mempunyai peran penting dalam menegakkan
hukum dan keadilan. Dalam memutus suatu perkara, hakim harus mengkombinasikan
tiga prinsip penting yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Dengan cara
itu, maka pertimbangan-pertimbangan
hukum yang
menjadi dasar penyusunan putusan menjadi baik.
Namun
demikian, para pihak juga memiliki
hak untuk mengajukan upaya hukum apabila terdapat putusan hakim yang dirasa
tidak adil, sehingga pada umumnya tersedia upaya hukum dari banding,
kasasi, dan Peninjauan Kembali (PK). Upaya hukum tersebut merupakan hak
terdakwa/terpidana dan Jaksa/Penuntut Umum yang dapat dipergunakan apabila ada
pihak yang merasa tidak puas atas putusan hakim.
Secara normatif, Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP) membedakan upaya hukum menjadi dua macam, pertama, upaya hukum biasa yaitu Banding hingga Kasasi sebagaimana diatur dalam Bab XVII Pasal 233 KUHAP sampai dengan Pasal 258
KUHAP. Kedua, upaya
hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali (PK) yang diatur dalam
Pasal 263 KUHAP sampai dengan Pasal 269 KUHAP, kemudian upaya
hukum luar biasa yang lain adalah Kasasi demi
kepentingan hukum yang diatur dalam Pasal 259 KUHAP sampai dengan Pasal 262
KUHAP. Melalui upaya hukum yang tersedia tersebut, maka dalam rangka mewujudkan keadilan, para pihak memiliki hak untuk mengajukan upaya hukum apabila terdapat putusan
hakim yang dirasa tidak adil.
Khusus mengenai
upaya hukum luar biasa, secara historis lahirnya upaya hukum luar biasa
yaitu PK tidak terlepas dari adanya kasus Sengkon dan Karta pada tahun 1977.
Dalam kasus tersebut, negara telah salah menerapkan hukum (miscarriage of
justice) yaitu dengan mempidana orang yang tidak bersalah, sehingga yang
terjadi adalah proses peradilan sesat (rechterlijke dwaling). Oleh
karena itu, sebagai upaya untuk mengatasi kesalahan negara dalam kasus Sengkon
dan Karta, akhirnya Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 1980 tentang
Peninjauan Kembali Putusan yang Telah Memperoleh Kekuatan Hukum yang Tetap.
Kasus Sengkon dan Karta pula yang kemudian melatarbelakangi lahirnya Bab XVIII Pasal 263 KUHAP sampai dengan Pasal 269 KUHAP
yang mengatur tentang upaya hukum PK.
Secara tegas Pasal 263
ayat (1) KUHAP menyatakan, “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”
Bahkan saat
ini jika upaya hukum luar biasa yaitu PK telah
dilalui, selanjutnya dikemudian hari Terdakwa menemukan bukti baru (novum), maka diperbolehkan untuk
mengajukan PK lebih dari satu kali. Memang hal tersebut dapat mengingkari asas litis
finiri oportet yakni setiap perkara harus ada akhirnya, akan tetapi hal itu
semata-mata bertujuan untuk mewujudkan keadilan dan menemukan kebenaran
materiil.
Dasar
diperbolehkannya mengajukan upaya hukum PK lebih dari satu kali, terdapat dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 tentang pengujian Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana terhadap UUD 1945 yang menyatakan,
“Bahwa benar dalam ilmu hukum terdapat
asas litis finiri oportet yakni
setiap perkara harus ada akhirnya, namun menurut Mahkamah, hal itu berkait dengan kepastian hukum,
sedangkan untuk keadilan dalam perkara
pidana asas tersebut tidak secara rigid
dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan peninjauan kembali satu kali, terlebih lagi
manakala ditemukan adanya keadaan
baru (novum). Hal itu justru
bertentangan dengan asas keadilan yang
begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia untuk menegakkan hukum dan keadilan [vide
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945] serta sebagai
konsekuensi dari asas negara hukum.”
Berdasarkan pertimbangan MK diatas,
maka implementasi asas litis finiri oportet tidak secara rigid dapat dilaksanakan jika hal itu dapat membatasi hak
masyarakat untuk memperoleh keadilan. Senada dengan pendapat Yusril Ihza
Mahendra dalam keterangan ahli dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013 mengatakan, “... memang dalam ilmu hukum dikenal asas “litis finiri oportet", yakni
setiap perkara harus ada akhirnya. Namun pertanyaannya, akankah suatu perkara
berakhir semata-mata karena manusia harus mengakhiri perkara, padahal kita
menyadari dan mengetahui dengan sungguh-sungguh bahwa akhir perkara itu adalah
suatu ketidak-adilan yang nyata?.”
Akan tetapi, disisi lain bagaimana
dengan eksistensi asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan (speedy administration of justice),
apakah PK lebih dari satu kali tidak bertentangan dengan asas speedy administration of justice
tersebut. Padahal hal itu juga dipertegas dalam instrumen
internasional, Pasal 14 paragraf 3 (c) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik mengatur
perihal persyaratan jaminan minimal dalam pelaksanaan peradilan pidana, salah
satunya adalah hak untuk diadili tanpa penundaan (to be tried without undue
delay). Meski salah satu tujuan dari prinsip peradilan yang cepat ini
adalah untuk melindungi hak-hak terdakwa (untuk tidak ditahan terlalu lama
serta memastikan adanya kepastian hukum baginya). Prinsip peradilan yang cepat
ini harus diterapkan bukan saja untuk pengadilan tingkat pertama, namun juga
pengadilan di tingkat selanjutnya, yang dalam bahasa Komentar Umum No. 32
dinyatakan “all stages, whether in first instance or on appeal must take
place “without undue delay”. Karena pentingnya prinsip tersebut, politisi Inggris William Gladstone berpandangan, yang kemudian menjadi
ungkapan terkenal yaitu, “justice delayed is justice
denied”.
Sebelumnya pada tahun 2010, MK juga
pernah memutuskan bahwa PK hanya dapat dilakukan satu kali telah sesuai dengan
asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan (speedy administration of justice), hal itu terdapat pada
pertimbangan MK dalam Putusan No.
16/PUU-VIII/2010 menyatakan, “...
Pembatasan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas penyelesaian
suatu perkara, sehingga seseorang tidak dengan mudahnya melakukan upaya hukum
peninjauan kembali secara berulang-ulang. Lagi pula pembatasan ini sejalan
dengan proses peradilan yang menghendaki diterapkannya asas sederhana, cepat,
dan biaya ringan. Dengan pembatasan itu pula akan terhindarkan adanya proses
peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya
memperoleh keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan pengingkaran
terhadap keadilan itu sendiri sebagaimana dilukiskan dalam adagium “justice delayed justice denied.”
Namun kemudian dalam Putusan MK No.
34/PUU-XI/2013, dalam pertimbangan hukumnya MK memberikan penjelasan
konstitusional terkait dengan pembatasan pengajuan PK yaitu, “Menurut Mahkamah, pembatasan yang dimaksud
oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 tersebut tidak dapat diterapkan untuk
membatasi pengajuan PK hanya satu kali karena pengajuan PK dalam perkara pidana
sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yaitu menyangkut
kebebasan dan kehidupan manusia. Lagi pula, pengajuan PK tidak terkait dengan
jaminan pengakuan, serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan
tidak terkait pula dengan pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang
demokratis.”
Pertimbangan MK dalam Putusan No.
34/PUU-XI/2013 di atas setidaknya mencakup 2 (dua) hal, yaitu penekanan aspek
keadilan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Karena memang dua hal
tersebut merupakan aspek fundamental dalam penegakan hukum khususnya terkait
dengan upaya hukum PK, jadi PK lebih dari satu kali merupakan hal yang sangat
penting dalam melindungi hak masyarakat untuk memperoleh keadilan. Amanat untuk
menegakkan keadilan tercantum dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan,”Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kemudian Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menyatakan,
“Setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil”. Dengan demikian
penekanan dari kedua pasal di atas bukan hanya pada kepastian hukum saja,
melainkan juga keadilan.
0 comments