STARE DECISIS
Artikel berikut telah dipublikasikan di Rubrik Kamus Hukum, Majalah Konstitusi No. 136 Juni 2018
***
Sistem hukum adalah kesatuan kaidah hukum yang berlaku di negara-negara di dunia. Secara umum sistem hukum dapat dibagi menjadi dua macam yaitu common law system (Anglo-American legal system) dan civil law system (Continental Europe legal system). Common law merupakan suatu sistem hukum yang didasarkan pada yurispudensi, yaitu putusan hakim terdahulu yang dijadikan dasar putusan hakim selanjutnya. Sistem hukum ini diterapkan antara lain di Irlandia, Inggris, Australia, Selandia Baru, dll. Sedangkan civil law merupakan sistem hukum yang didasarkan pada peraturan perundang-undangan, sebagaimana diterapkan di Belanda, Jerman, Indonesia, dll.
Sebagai contoh di Amerika Serikat, setiap negara bagian di Amerika Serikat menggunakan sistem common law (yang berarti mereka mengandalkan stare decisis), kecuali untuk Louisiana, yang masih mempertahankan sistem civil law. Oleh karena itu, meskipun di pengadilan Louisiana juga bergantung pada preseden, namun ketergantungannya jauh lebih lemah dibandingkan sistem pengadilan di negara bagian lain.
Sumber hukum dalam sistem hukum common law adalah yurisprudensi, dan manifestasi metodologis yang paling jelas dari yurisprudensi adalah munculnya doctrine of precedent. Bahasa Latin dari doctrine of precedent adalah stare decisis (stand by that decided). Stare berasal dari kata “sto, stare, steti, status” yang berarti berdiri, sedangkan decisis merupakan kata kerja “decido, decidere, decidi, decisus” yang berarti untuk memutuskan. (Lane V. Sunderland, It is a Constitution We Are Expounding: Stare Decisis under a Written Constitution, Perspective on Political Science, Summer 2004)
Menurut Black’s Law Dictionary Fourth Edition (1968), stare decisis diartikan sebagai, “to abide by, or adhere to, decided cases.” Dengan kata lain stare decisis merupakan prinsip yang mengharuskan hakim untuk mengikuti putusan hakim di pengadilan yang lebih tinggi (dalam hirarki yang sama), di mana sebuah kasus melibatkan fakta dan isu serupa. Oleh karena itu, stare decisis selaras dengan preseden, namun yang menjadi pertanyaan adalah apakah pengadilan harus tetap mematuhi preseden (sesuai dengan doktrin stare decisis) ketika preseden yang berlaku merupakan interpretasi yang salah dari Konstitusi?
Dalam beberapa kasus, pertanyaan mempertahankan legitimasi pengadilan telah muncul sebagai isu yang menentukan dalam penggunaan preseden. Pada dasarnya, stare decisis harus konsisten dengan makna konstitusi, tetapi dalam beberapa contoh keduanya dapat menimbulkan sebuah dilema.
Terdapat dua sisi dilematis terhadap hal tersebut, disatu sisi apabila hakim mengikuti preseden secara kaku, hal itu dapat mengabaikan ketentuan yang diatur dalam konstitusi, dalam arti ketika hakim hanya bertumpu pada preseden, maka secara tidak langsung konstitusi akan terabaikan. Disisi lain apabila hakim tidak selalu mengikuti preseden, maka hal itu juga dapat menimbulkan ketidakstabilan dalam hukum, artinya dapat melemahkan ketergantungan pada keputusan masa lalu dan membiarkan hakim untuk memasukkan preferensi kebijakan mereka sendiri ke dalam hukum konstitusional.
Hakim Agung Amerika Serikat John Marshall sangat dikenang karena menyatakan di kasus Marbury v. Madison bahwa "it is a constitution we are expounding." Marshall percaya bahwa teks dan teori yang mendasari Konstitusi tertulis adalah hukum dasar yang memiliki makna yang dapat dilihat, “judicial power is never exercised for the purpose of giving effect to the will of the judge; always for the purpose of giving effect to the will of the legislature or other words to the will of the law”.
Namun dremikian, terlepas dari stabilitas hukum yang diberikan oleh doktrin stare decisis, bahwa doktrin tersebut terkadang memungkinkan keputusan yang salah untuk terus mempengaruhi hukum dan membebani kemampuan sistem hukum untuk cepat beradaptasi terhadap perubahan.
M LUTFI CHAKIM
0 comments