Latest Posts

SUBPOENA

By 5:31:00 PM

Artikel berikut telat diterbitkan di Rubrik kamus Hukum, Majalah Konstitusi No. 137 Juli 2018. 
***

Sistem ketatanegaraan Indonesia mengalami berbagai perubahan sebagai konsekuensi atas perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Salah satu perubahan ketatanegaraan yang terjadi berdasarkan perubahan UUD 1945 adalah terkait dengan eksistensi lembaga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang semakin menguat dibandingkan dengan sebelum Perubahan UUD 1945.
Pasal 20A ayat (1) UUD 1945 mengatur tiga fungsi DPR yaitu, fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, DPR dilengkapi dengan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat (Pasal 20A ayat (2) UUD 1945). Disamping itu, DPR juga mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta hak imunitas (Pasal 20A ayat (3) UUD 1945).
Terhadap fungsi dan hak DPR tersebut, yang menjadi pertanyaan adalah apakah dimungkinkan baik secara teori maupun praktik jika DPR juga diberikan kewenangan luar biasa untuk melakukan pemanggilan paksa, penyanderaan, dan kriminalisasi kritik terhadap DPR.
Beberapa Pasal kontroversial dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi antara lain, Pasal 73 tentang pemanggilan paksa, Pasal 122 tentang kriminalisasi kritik terhadap DPR, dan Pasal 245 tentang imunitas DPR.
Pasal 73 UU MD3 memberikan hak kepada DPR untuk melakukan pemanggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sehingga banyak yang menganggap bahwa pasal tersebut dapat menjadikan DPR berubah fungsi menjadi lembaga penegak hukum. Pada dasarnya hak subpoena atau pemanggilan paksa hanya diperuntukkan bagi penegak hukum untuk melakukan panggilan di depan persidangan pengadilan dan dilakukan dalam konteks penegakan hukum.
Pengertian hak subpoena menurut Black’s Law Dictionary, 4th Edition (1968) yaitu, “A process to cause a witness to appear and give testimony, commanding him to lay aside all pretenses and excuses, and appear before a court or magistrate therein named at a time therein mentioned to testify for the party named under a penalty therein mentioned.” Pada pokoknya menjelaskan bahwa sebuah proses dimana seorang saksi memberikan kesaksian dan dihadapkan di depan pengadilan atau hakim.
Sejalan dengan pengertian tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 16/PUU-XVI/2018 berpendapat bahwa, “hak subpoena secara historis hanya diperuntukkan untuk panggilan di depan persidangan pengadilan dan itu jelas serta tegas dalam konsep penegakan hukum. Oleh sebab itu apabila kemudian DPR ingin menggunakan kewenangannya untuk memanggil setiap orang, tentunya konteksnya bukan pada rapat DPR akan tetapi yang masih mempunyai relevansi adalah ketika akan menggunakan penyelidikan dengan hak angket.”
Dengan adanya kewenangan DPR untuk melakukan pemanggilan paksa dan melakukan penyanderaan dengan menggunakan bantuan Kepolisian dapat menimbulkan kekhawatiran dan rasa takut setiap orang, adan justru akan menjauhkan hubungan kemitraan secara horizontal antara DPR dengan rakyat. Melalui putusan Mahkamah Konstitusi 16/PUU-XVI/2018, merupakan sebuah momentum untuk mengembalikan kebebasan warga negara untuk berbicara dan berekspresi dalam rangka mengontrol tugas DPR tanpa takut untuk mendapatkan kriminalisasi.

M LUTFI CHAKIM

You Might Also Like

0 comments