HARMONISASI KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL DAN MAHKAMAH AGUNG
HARMONISASI KEWENANGAN
KOMISI YUDISIAL DAN
MAHKAMAH
AGUNG
A. Latar Belakang
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada sidang tahunan MPR tahun
2001 yang membahas amandemen ketiga UUD 1945, disepakati beberapa perubahan dan
penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk didalamnya
Komisi Yudisial yang berperan sebagai pengawas eksternal kekuasaan kehakiman.
Pembentukan komisi yudisial pada hakikatnya merupakan amanat konstitusi
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 24 A ayat 3 dan 24 B UUD 1945.
Komisi Yudisial merupakan salah satu lembaga yang sengaja dibentuk untuk
menangani urusan yang terkait dengan :
1.
Pengangkatan
Hakim Agung
2.
Penegakan
kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim dalam usaha mewujudkan kekuasaan Kehakiman yang merdeka.
Kehadiran Komisi Yudisial dengan otoritas utamanya melakukan rekruitmen
calon hakim agung dan otoritas lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran, martabat, serta perilaku hakim (Pasal 24 B Undang-Undang
Dasar 1945) ternyata menimbulkan masalah atau konflik baru berupa ketegangan
antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial.
Konflik antar lembaga tersebut, bisa muncul disebabkan konflik kewenangan
karena aturan, serta bisa muncul akibat terdapat konflik kepentingan para
pejabat dalam melaksanakan aktivitas profesionalnya dengan kepentingan
pribadinya, yang kemudian memicu konflik yang lebih luas yakni konflik antar
Lembaga Negara. Dengan menggunakan metodologi analisis hukum konstitusi,
seperti dikemukakan Richard E. Levy, setiap isu konstitusi bahkan setiap isu
hukum, mengandung
karakteristik konflik antar ‘Basic values’.[1]
Permasalahan yang telah dikemukakan di atas yaitu konflik antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial
menarik perhatian penulis untuk menganalisis lebih jauh dan bagaimana
perkembangan serta implementasinya di kemudian hari.
B.
Kewenangan Pengawasan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
Dalam Konteks
supremasi hukum, pengawasan merupakan salah satu unsur esensial dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih, sehingga siapapun
pejabat negara tidak boleh menolak untuk
diawasi. Melihat pengawasan tiada lain
untuk melakukan pengendalian yang bertujuan mencegah absolutisme kekuasaan, kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan
wewenang.[2]
Dalam melaksanakan
kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim, Komisi Yudisial memiliki tugas melakukan pengawasan, terhadap
pelaksanaan pengawasan ini Komisi Yudisial dapat:
1. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim.
2. meminta
laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim.
3. melakukan
pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim.
4. memanggil
dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku
hakim.
5. membuat
laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi disampaikan kepada Mahkamah Agung atauMahkamah
Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden dan Dewan Perwakilan
Rakyat.
Obyek
Pengawasan
Ada tiga hal
yang menjadi obyek pengawasan terhadap Kinerja hakim yaitu :[3]
a. Pengawasan bidang teknis peradilan atau teknis yustisial.
Yang
dimaksud dengan teknis peradilan adalah segala sesuatu yang menjadi tugas pokok
hakim, yaitu menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya. Dalam kaitan
ini termasuk pula bagaimana
terlaksananya putusan tersebut. Jadi tujua pengawasan dalam konteks ini adalah
adanya peningkatan kualitas putusan hakim.
b. Pengawasan
bidang administrasi peradilan.
Sedang
yang dimaksud dengan administrasi peradilan adalah segala sesuatu yang menjadi
tugas pokok kepaniteraan lembagapengadilan. Administrasi peradilan disini harus dipisahkan dengan
administrasi umum yang tidak ada sangkutpautnya dengan suatu perkara di lembaga
pengadilan tersebut. Administrasi peradilan
erat kaitannya terhadap teknis peradilan. Suatu putusan pengadilan tidak akan sempurna apabila masalah administrasi peradilan
diabaikan.
c. Pengawasan
terhadap perbuatan pejabat peradilan.
Pengawasan model ketiga
ini adalah pengawasan terhadap
tingkah laku perbuatan (pekerjaan)
pejabat pengadilan dan para hakim panitera, yang mengurangi kewajaran jalannya
peradilan dilakukan berdasarkan temuan-temuan, penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan oleh hakim dan pejabat kepaniteraan, baik yang dikemukakan atas dasar
laporan hasil pengawasan internal maupun
atas laporan masyarakat media massa, dan
lain-lain pengawasan internal.
C.
Harmonisasi Kewenangan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung
Bagir Manan
sebagai mantan Ketua Mahkamah Agung menegaskan bahwa:[4] wewenang
Komisi Yudisial wewenang yang pertama yang menentukan bahwa: “Hakim Agung
diangkat oleh Presiden selaku Kepala
Negara dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat”. wewenang Komisi
Yudisial untuk mengusulkan calon Hakim Agung bukanlah wewenang konstitutif
melainkan wewenang "advisory" bahkan wewenang "accessoir",
karena masih akan ditentukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang juga wajib berkonsultasi
dengan Pemerintah dan Mahkamah Agung, dan diputus Presiden (sebagai Kepala
Negara). Sebagai wewenang "advisory", secara hukum (normatif) tidak mengikat.
Selain kebebasan memilih calon yang diusulkan, Dewan Perwakilan Rakyat dapat
meminta calon tambahan. Namun demikian, sangat diharapkan dapat timbul konvensi
untuk sungguh-sungguh memperhatikan dan menghormati calon-calon yang diusulkan
Komisi Yudisial.
Wewenang kedua
mengenai "menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta
perilaku hakim". Pelaksanaan wewenang ini tidak dapat dilepaskan dari kedudukan
Komisi Yudisial sebagai badan yang tidak menjalankan kekuasaan kehakiman, dan
seperti diuraikan diatas dilarang melakukan campur tangan terhadap pelaksanaan
kekuasaan kehakiman baik dalam proses peradilan maupun putusan atau penetapan
pengadilan.
Secara
substantif, wewenang ini berkaitan dengan penegakan disiplin dan etik, dan
Komisi Yudisial tidak memiliki wewenang melaksanakan sendiri putusannya
melainkan hanya "mengajukan usul penjatuhan sanksi kepada pimpinan
Mahkamah Agung dan atau pimpinan Mahkamah Konstitusi". Mengingat kekuasaan
wewenang ini berupa "usul" maka makin memperkuat argumentasi, bahwa
Komisi Yudisial adalah
hanya sebagai badan "advisory". Hal ini lebih diperkuat dengan tata
cara pemeriksaan yang menentukan
a. Kewajiban
"menjaga kerahasiaan keterangan", dan
b. Pemeriksaan
"tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara”
Dua wewenang yang diberikan Undang-Undang
Dasar 1945 kepada Komisi Yudisial bukan wewenang ketatanegaraan karena tidak dalam
kedudukan yang bertindak untuk dan atas nama negara. Selain tidak konstitutif, wewenang-wewenang
tersebut merupakan wewenang
penunjang bagi alat perlengkapan
negara yang lain (Mah-kamah Agung, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Presiden). Karena
bukan wewenang yang bersifat ketatanegaraan maka Komisi Yudisial sebagai lembaga
negara tidak termasuk alat perlengkapan negara. Hal ini sekaligus membedakan kedudukan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi disatu pihak dengan Komisi Yudisial
dipihak lain. Atas dasar wewenang yang diberikan Undang-Undang Dasar 1945, Komisi
Yudisial secara fungsional adalah "auxiliary agency" atau "auxiliary agent"
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan disiplin dan etika hakim. Dengan demikian,
hubungan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi di satu pihak dengan
Komisi Yudisial di lain pihak bukanlah termasuk hubungan ketatanegaraan
sehingga tidak bersifat
staatsrechtelijk, melainkan sebagai hubungan atributif yang bersifat
menunjang dan bersifat administratif belaka.
[1] .
R.E. Levy, “Methodology for Contitutional Analysis”. Teks in
www.ku.edn/-rlevy/Contitutional-Law-04/Methodology.pffn
[2] .
Yohanes Usfunan, Komisi Yudisial, Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi
Yudisial, hal. 207, Komisi Yudisial RI, Jakarta.
[3] . MA-RI,
Pedoman Perilaku Hakim (code of
landnet), MA-RI, Jakarta, 2004, hal 80-81.
[4] .
Bagir Manan, Hubungan Ketatanegaraan MA
dan MK dengan Komisi Yudisial (suatu pertanyaan), Artikel dalam Majalah Varia Peradilan, Edisi Maret 2006,
MA-RI, Jakarta, 2006, hal 9-11.
0 comments