Latest Posts

OPTIMALISASI KUALITAS PELAYANAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEPATUHAN WAJIB PAJAK SECARA SUKARELA (VOLUNTARY COMPLIANCE)[1]

By 2:46:00 AM


 Oleh: M. Lutfi Chakim[2]

Pemungutan pajak yang dilakukan pada masyarakat yang berkembang dan telah maju, baik di Indonesia maupun di Negara-negara lain sekarang telah dilakukan dengan modernisasi, dengan modernisasi administrasi perpajakan, kualitas pelayanan disetiap unit kerja menjadi salah satu yang utama untuk dilaksanakan, yang diimbangi dengan pengawasan yang efektif, dan didukung oleh organisasi yang berbasis fungsi dan sumber daya manusia yang professional. Umumnya dalam melakukan pemungutan pajak harus dilandasi dengan sistem perpajakan yang merupakan ukuran untuk menentukan adil tidaknya suatu pemungutan pajak.
Guna meningkatkan pemungutan pajak, maka pemerintah melakukan pembaruan dalam bidang perpajakan (text reform) yang dilakukan sejak 1 Januari 1984, hal ini dikarenakan situasi perpajakan nasional pada saat reformasi perpajakan ditandai oleh hal-hal sebagai berikut :
1.      Sangat lemahnya peraturan dan perundang-undangan, sebagai akibat warisan zaman kolonial. Peraturan perpajakan sebelumnya juga tidak memperhatikan asa-asas serta aspek pemerataan, keadilan kepastian hukum, dan pertumbuhan ekonomi.
2.      Citra pajak dan aparatnya yang kurang baik.
3.      Sikap masyarakat yang apatis dan berperasangka jelek.
4.      Jumlah Wajib pajak selama 38 tahun Indonesia merdeka hanya 435.517.
5.      Penerimaan pajak pada 1983/1984 sebesar Rp. 2,9 Triliun.[3] 
Sebelum reformasi perpajakan berlaku di Indonesia, sistem pemungutan pajaknya hanya bertumpu kepada Official Assesment System. Namun setelah reformasi perpajakan, sistem pemungutan pajaknya selain Official Assesment System juga Self Assesment System. Namun tetap berlaku juga With Holding System, yaitu system pemungutan pajak di berikan kewenangan kepada pihak ketiga bukan wajib pajak dan bukan juga fiskus).
Dalam pelaksanaan sistem pemungutan pajak yang dilakukan di Indonesia yang masih berlaku sampai sekarang ini, yaitu:[4]
1.      Official Assesment System
Official Assesment System, yaitu system pemungutan pajak yang memberi kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang.
Ciri-ciri Official Assesment System, yaitu :
a.       Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus.
b.      Wajib pajak bersifat pasif.
c.       Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2.      Self Assesment System.
 Self Assesment System adalah suatu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan kepada wajib pajak untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban dan hak perpajakannya.
Adapun ciri Self Assesment System, yaitu :
a.        Wajib Pajak (dapat dibantu oleh konsultan pajak) melakukan peran aktif dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
b.      Wajib Pajak adalah pihak yang bertanggung jawab penuh atas kewajiban perpajakannya sendiri.
c.       Pemerintah dalam hal ini Instansi Perpajakan melakukan pembinaan, penelitian, dan pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak, melalui pemeriksaan pajak dan penerapan sanksi pelanggaran dalam bidang pajak sesuai peraturan yang berlaku.
Self assessment system menuntut adanya peran serta aktif dari masyarakat dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari wajib pajak merupakan faktor terpenting dari pelaksanaan sistem tersebut. Dianutnya self  assessment system membawa misi dan konsekuensi perubahan sikap dan kesadaran warga masyarakat untuk membayar pajak secara sukarela (voluntary compliance). Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara  sukarela merupakan tulang punggung self  assessment system.[5]
Ada  tiga  fungsi  administrasi pajak dalam  self  assessment system yaitu: (1) pendidikan  (penyuluhan); (2) pelayanan (customer  service); dan (3) pengawasan atau  penegakan  hukum  (law enforcement).  
Salah satu upaya dalam meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah memberikan pelayanan (customer  service) yang baik kepada Wajib Pajak. Peningkatan kualitas dan kuantitas pelayanan diharapkan dapat meningkatkan kepuasan kepada Wajib Pajak sebagai pelanggan sehingga meningkatkan kepatuhan dalam bidang perpajakan. Paradigma baru yang menempatkan aparat pemerintah sebagai abdi negara dan masyarakat (Wajib Pajak) harus diutamakan agar dapat meningkatkan kinerja pelayanan publik. Kualitas pelayanan merupakan tingkat keunggulan untuk memenuhi keinginan pelanggan, selain itu dapat dinilai berdasarkan presepsi konsumen yang membandingkan harapan untuk menerima layanan dan pengalaman sebenarnya atas layanan yang diterima.
Kepatuhan yang diharapkan dengan self  assessment system adalah kepatuhan sukarela (valuntary compliance) bukan kepatuhan yang dipaksakan (compulsary compliance). Untuk meningkatkan kepatuhan sukarela dari Wajib Pajak, diperlukan keadilan dan keterbukaan dalam menerapkan perpaturan perpajakan, kesederhanaan peraturan dan prosedur perpajakan serta yang paling utama yaitu pelayanan yang baik dan cepat kepada Wajib Pajak.

Kepatuhan Wajib Pajak
Menurut Simon James yang dikutip  oleh  Gunadi, pengertian kepatuhan pajak  (tax compliance) adalah wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban  pajaknya sesuai dengan aturan yang berlaku tanpa perlu diadakannya pemeriksaan,  investigasi seksama, peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.[6]
Dalam prinsip administrasi pajak yang diterima secara luas menyatakan bahwa tujuan yang ingin dicapai adalah kepatuhan sukarela (valuntary compliance). Kepatuhan sukarela merupakan tulang punggung self  assessment system di mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban pajaknya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajak tersebut.[7]
Kepatuhan sukarela (valuntary compliance) sebagai fondasi self assessment system dapat dicapai apabila elemen-elemen kunci telah diterapkan secara efektif. Elemen-elemen kunci tersebut adalah sebagai berikut:[8]
a.       Program pelayanan yang baik kepada wajib pajak.
b.      Prosedur yang sederhana dan memudahkan wajib pajak.
c.       Program pemantauan kepatuhan dan verifikasi yang efektif.
d.      Pemantapan law enforcement secara tegas dan adil.

Kesan Kesewenang-wenangan Aparat Pajak
Kesan kesewenang-wenangan aparat pajak dalam melayami masyarakat maupun wajib pajak memang terlihat masih belumlah hilang. Kesan kesewenangan ini terlihat bisa saja terjadi karena banyak hal, seperti: birokrasi yang masih tidak teratur, masih kentalnya perasaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) yang merasa dilayani bukan melayani, mendengar kantor pajak saja masyarakat merasa “ketakutan”, masyarakat mau bayar pajak untuk ke kas Negara saja susah bagaimana dengan hal lainya, dan tentunya kesan kesewenangan aparat pajak.
Hingga sekarang masyarakat pada saat mengurus pajak maupun membayar pajak masih sering mengalami kesusahan. Jangan heran pernyatan masyarakat tersebut berupa pernyataan yang sering kita dengar yaitu “mau bayar pajak kok susah, gimana nich”. Jika pun ada dijumpai permasalahan tersebut dilapangan tersebut dilapangan mugkin saja dikarenakan tingkat pekerjaan petugas pajak yang tinggi, dan itupun dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang masih belum terbawa era modernisasi.
Banyak terdapat kendala-kendala yang dialami oleh aparat pajak sehingga tidak dapat memberikan pelayanan yang prima kepada wajib pajak, misalnya:
a.       Kurangnya komitmen dari aparatur pelayanan
b.      Kurangnya pemahaman tentang manajemen kualitas
c.       Ketidakmampuan merubah Kultur & Perilaku
d.      kurang akuratnya perencanaan kualitas
e.       Kurang efektifnya program pengembangan SDM
f.       Sistem dan Struktur kelembagaan tidak kondusif
g.      Keterbatasan sumber-sumber
h.      Lemahnya sistem insentif (terutama non finansial) 
i.        Penerapan sistem manajemen kualitas belum efektif
j.        Berorientasi jangka pendek
k.      Sistem informasi kinerja pelayanan belum dikembangkan
l.        Lemahnya integritas aparatur
m.    Berorientasi mempertahankan status quo
Tulisan  ini  berhasil  menjelaskan hubungan antara ketidakpatuhan  para  wajib  pajak  dengan  variable-variabel  yang mempengaruhinya, yaitu kesan kesewenang-wenangan aparat pajak dalam melayami masyarakat maupun wajib pajak. Banyak cara yang telah dilakukan pemerintah (Menteri Keuangan dan Direktorat Jendral Pajak) untuk menghilangkan kesan kesewenangan aparat pajak ini. Mulai dari adanya sanksi hukuman dan sanksi administrasi, pemindah tugasan petugas/pejabat yang terkait atas kesewenangan, sampai dengan diaturnya di UU No 28 Tahun 2007 tentang ketentuan dan tata cara perpajakan agar aparat pajak tidak melakukan kesewenangan terhadap masyarakat/wajib pajak yang akan melakukan pembayaran pajak.[9]

Fasilitas-fasilitas Pelayanan Pajak
Adapun fasilitas pelayanan perpajakan yang tersedia siap dimanfaatkan oleh masyarakat atau Wajib Pajak seirama dengan modernisasi menurut Liberti Pandiangan:[10]
a.      Tempat Pelayanan Terpadu (TPT)
b.      Account Representative
c.       Help Desk
d.      Complain Center
e.      Call Center
f.        Media Informasi Pajak
Untuk lebih memperjelas Fasilitas Pelayanan Pajak yang ada di kantor pelayanan pajak (KPP), adalah sebagai berikut:
a.      Tempat Pelayanan Terpadu (TPT)
Untuk meningkatkan pelayanan kepada Wajib Pajak dibentuk suatu tempat pelayanan terpadu (TPT) di setiap kantor pelayanan pajak, seperti penerimaan dokumen atau laporan perpajakn (SPT, SSP, dan sebagainya) yang diserahkan langsung oleh Wajib Pajak, sehingga tidak ke masing-masing seksi. Tempat ini disebut sebagai tempat pelayanan terpadu (TPT), yakni tempat pelayanan perpajakan yang terintegrasi di kantor pelayanan pajak dengan mengunakan sistem komputer. Adanya TPT juga untuk memudahkan pengawasan terhadap proses pelayanan yang diberikan kepada Wajib Pajak. Pelayanan di terpadu TPT diberikan sesuai jam kerja KPP. Petugas TPT ditunjuk oleh Kepala Kantor dengan memperlihatkan kecakapan petugas dan beban kerja yang ada. Setiap Petugas TPT diberi login dan password tersendiri. Dan password hanya digunakan oleh petugas TPT yang bersangkutan.
b.         Account Representative
Menurut Liberti Pandiangan mengemukakan bahwa:[11] “Setiap Aparat Pajak harus profesional dan memiliki knowledge, skills, dan attitude yang telah distandardisasi. Dalam hal Knowledge (pengetahuan), setiap Aparat Pajak harus:
·         Menguasai ketentuan perpajakan secara menyeluruh (materi dan formal)
·         Menguasai seluruh jenis pajak (PP, PPN, PPnBM, BPHTB, PBB, dan Bea Materai)
·         Menguasai teknologi informasi terkini
·         Dalam hal skills (keahlian atau kemampuan), setiap Aparat Pajak harus mampu:
·         Mengawasi pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak
·         Memahami karakteristik perusahaan dan industry Wajib Pajak
·         Melakukan analisis data dan ptensi perpajakan yang diperoleh dari berbagai sumber
·         Memberikan pelayanan
·         Berkomunikasi dengan baik dengan Wajib Pajak
·         Sedangkan menyangkut attitude (sikap atau perilaku), setiap Aparat Pajak harus proaktif, inovatif, kreatif, komunikatif, dan responsive”.
c.       Help Desk
Kebingungan dan kesulitan yang kadang-kadang dialami oleh masyarakat bila berhubungan dengan suatu kantor pajak termasuk instansi pemerintah. Selain informasi sangat minim dan tidak mudah memperoleh dan dimiliki lebih-lebih informasi yang terkait dengan urusan atau keperluan (perpajakan) yang harus diselsaikan. Untuk menghilangkan kebingungan dan kesulitan ini, serta agar mudah diperoleh segala informasi yang dibutuhkan mengenai perpajakan maka di setiap Kantor Pelayanan Pajak (KPP) telah disediakan help desk yang lokasinya di lobby gedung kantor pelayanan pajak (KPP) atau tempat pelayanan terpadu (TPT).
Petugas yang ditempatkan di help desk adalah pegawai yang dianggap cakap dan berpengetahuan tentang perpajakan, dan mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik. Petugas di help desk harus melayani masyarakat sesuai dengan hari dan jam kerja kantor. Secara khusus, fasilitas help desk dengan teknologi tax knowledge base, menyangkut:
·         Peraturan pajak yang komprehensif dan terkini;
·         Tersedia dalam komputer, sehingga mudah untuk di akses;
·         Diharapkan mampu untuk menjawab berbagai permasalahan mengenai pajak;
d.      Complaint Center
            Complaint Center yang tersedia di Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak dan Kantor Wilayah (KPP Madya), berfungsi untuk menampung keluhan-keluhan Wajib Pajak yang terdaftar di KPP di willayah kerjanya. Ini merupakan bentuk keterbukaan DJP untuk perbaikan pelaksanaan tugas, terutama Pelayanan terhadap Wajib Pajak. Permasalahan yang disampaikan meliputi keluhan segala jenis pelayanan, pemeriksaan, keberatan, dan banding. Namun, tidak dimaksudkan untuk melayani keluhan mengenai penyimpangan atau pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh pegawai. Pegawai yang melakukan pelanggaran ditangani secara khusus pada unit tersendiri. Media penyampaian pengaduan Wajib Pajak dapat dilakukan melalui beberapa media antara lain, e-mail, kantor pos, telepon bebas biaya, faksimili, atau langsung datang. Setiap keluhan yang diterima oleh complain center akan dikordinasiakan dengan unit terkait dan akan ditindaklanjuti serta diberikan tanggapan sesegera mungkin.
e.       Call Center
Bentuk lain yang dapat dimanfaatkan oleh Waib Pajak adalah “Call Center”, yang fungsi utamanya adalah menyangkut pelayanan (konfirmasi, prosedur, peraturan, material perpajakan, dan lainya), dan penanganan Complaint Wajib Pajak. Alasan dan keuntungan dengan adanya call center ini adalah :
·         Masyarakat saat ini sangat mementingkan kepraktisan dan efisiensi penggunaan telepon semakin meningkat untuk urusan bisnis;
·         Tanpa adanya call center, petugas di kantor operasional banyak disibukkan menjawab telepon;
·         Dengan sentralisasi penerimaan telepon, pekerjaan yang sama akan dikerjakan oleh satu unit, sehingga akan lebih efektif dan efisien;
·         Akurasi dan konsistensi dapat ditingkatkan;
·         Pelayanan secara keseluruhan bisa ditingkatkan;
·         Kantor pelayanan pajak (KPP) bisa lebih fiokus pada pekerjaan melayani dan mengawasi Wajib pajak (secara langsung); dan
·         Good governance dalam penanganan complaint.
f.       Media Informasi Pajak
Untuk melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak sangat memerlukan informasi atas peraturan perpajakan. Demikian juga mengenai ketentuan praktis terkait persyaratan, formulir, dan lainya. Guna melayani kebutuhan Wajib Pajak untuk hal tersebut, di KPP disediakan sarana atau medianya, yakni “Media Informasi Pajak” dengan bentuk touch screen. Wajib Pajak dapat mengakses segala sesuatu hal yang berhubungan dengan pajak dibutuhkan secara gratis di Media Informasi Pajak.
Proses operasional Media Informasi Pajak cenderung sama dengan penggunaan website di internet. Yang membedakan, tidak perlu melalui situs atau alamat lainnya di internet. Melalui panduan yang telah ada di halaman depan, maka masyarakat atau Wajib Pajak akan dengan mudah mengakses informasi apa yang dibutuhkan.
·         Website
            Dalam rangka mempermudah akses informasi perpajakn kepada masyarakat, terlebih lagi dengan iklim yang mengglobal, telah di buat website perpajkan yang dikelola DJP, yaitu www.pajak.go.id. Demikian juga Oleh Kantor Wilayah maupun KPP telah banyak yang membuat website masing-masing, terutama dalam rangka memberikan informasi dan pelayanan terhadap Wajib Pajak yang dikelola.
·         Pojok Pajak
            Pojok Pajak adalah sarana penyuluhan dan pelayanan perpajakan bagi masyarakat maupun Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, yang ditempatkan di pusat-pusat perbelanjaan, pusat-pusat bisnis atau tempat-tempat tertentu lainnya. Walaupun kini masih terbatas jumlahnya, ke depan pojok pajak dibentuk minimal 1 (satu) unit untuk setiap Kantor Wilayah DJP. Selain itu, pojok pajak juga dihadirkan di setiap ada kesempatan published, pameran, di arena apapun, yang didukung oleh Direktorat P2 Humas DJP. Ruangan untuk pojok pajak umumnya berupa stand.

Optimalisasi Kualitas Pelayanan
Sistem pemungutan pajak yang berdasarkan self assessment system menuntut kesadaran dan kepatuhan yang tinggi dari wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak dapat dilakukan melalui optimalisasi kualitas pelayanan. Dijelaskan didalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-45/PJ/2007 mengenai pelayanan perpajakan, yang dimaksut dengan Pelayanan adalah sentra dan indikator utama untuk membangun citra Direktorat Jendral Pajak, sehingga kualitas pelayanan harus terus menerus ditingkatkan dalam rangka mewujudkan harapan dan membangun kepercayaan Wajib Pajak dan seluruh stakeholder perpajakan terhadap Direktorat Jendral Pajak.
Hakikat pelayanan umum yang dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak adalah sebagai berikut.[12]
a.       Meningkatkan mutu dan produktivitas pelaksanaan tugas dan instansi pemerintah di bidang pelayanan umum.
b.      Mendorong upaya mengefektifkan sistem dan tata laksana pelayanan sehingga pelayanan  umum dapat diselenggarakan secara lebih berdaya guna dan  berhasil guna (efisien dan efektif).
c.       Mendorong tumbuhnya kreativitas, prakarsa, dan peran serta masyarakat dalam pembangunan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat luas.
Sedangkan prinsip-prinsip pelayanan publik berdasarkan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003), yaitu: Kesederhanaan, kejelasan, kepastian waktu, akurasi, keamanan, tanggungjawab, kelengkapan sarana dan prasarana, kemudahan akses, kedisiplinan, kesopanan, keramahan dan kenyamanan.
Melalui penjelasan tersebut Aparat Pajak harus senantiasa melakukan perbaikan kualitas pelayanan dengan tujuan agar dapat meningkatkan kepuasan dan kepatuhan wajib pajak. Upaya peningkatan kualitas pelayanan dapat dilakukan dengan cara mencakup reformasi dibidang pelayanan yang harus dimulai dari aspek yang paling besar yaitu pola pikir, pola tindak, tata busana serta tutur kata dalam berkomunikasi, selain itu peningkatan kualitas kemampuan teknis pegawai dalam bidang perpajakan, perbaikan infrastruktur seperti perluasan tempat pelayanan terpadu, penggunaan sistem informasi dan teknologi untuk dapat memberikan kemudahan kepada wajib pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.

Langkah-langkah strategis yang sebagai upaya untuk melakukan perbaikan kualitas pelayanan agar masyarakat tidak enggan membayar pajak, yaitu:

1.  Modernisasi Administrasi Perpajakan di Indonesia
Langkah untuk meningkatkan kualitas pelayanan adalah dengan konsep modernisasi administrasi perpajakan di Indonesia. Modernisasi administrasi perpajakan bertujuan untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak (tax compliance), serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap administrasi perpajakan dan untuk mencapai tingkat produktivitas pegawai pajak yang tinggi. Hal ini disesuaikan dengan konsep pelayanan yang prima, adanya pengawasan yang insentif, dan dikaitkan dengan pelaksanaan good governance. Konsep modernisasi perpajakan yang dilakukan Direktorat Jendral Pajak harus terus menerus dilakukan mulai dari sarana dan prasarananya (perangkat keras dan perangkat lunak) hingga kepada modernisasi dari petugas pajak itu sendiri.
Hal ini sangat terasa ketika Wajib Pajak datang ke kantor pelayanan pajak dan ketika Wajib Pajak melakukan pelaporan perpajakan, dimana sebagian besar telah terdapat modernisasi. Kita lihat sekarang ini untuk pelaporan dan pendaftaran perpajakan dengan cara e-registration, e-filing, e-spt dan sebagainya, yang kesemuanya untuk memudahkan wajib pajak dan masyarakat dalam melakukan kewajiban perpajakan kepada Negara. Memang msih terlihat kekurangan dalam sistem adminustrasi perpajakan modern sekatang ini, namun kekuranga tersebut dari waktu ke waktu secara terus-menerus harus dilakukan perubahan oleh Direktorat Jendral Pajak guna meningkatkan penerimaan pajak.
Dalam self assessment system, konsep administrasi perpajakan berperan aktif melaksanakan tugas-tugas pembinaan, pengawasan dan penerapan sanksi terhadap penundaan pemenuhan kewajiban perpajakan berdasarkan ketentuan yang digariskan dalam peraturan perpajakan. Fungsi pengawasan memegang peranan sangat penting dalam self assessment system, karena tanpa pengawasan dalam kondisi tingkat kepatuhan Wajib Pajak masih rendah, mengakibatkan sistem tersebut tidak akan berjalan dengan baik, sehingga Wajib Pajak pun akan melaksanakan kewajiban pajaknya dengan tidak benar dan pada akhirnya penerimaan dari sektor pajak tidak akan tercapai.
Guna melaksanakan dan mewujudkan tujuan modernisasi perpajakan dibutkanlah aturan main yang jelas guna melaksanakan tugas dan fungsi dari pelaksana modernisasi administrasi perpajakan. Adapun tugas dan fungus tersebut antara lain:
a.       Memodernisasi kelembagaan termasuk struktur organisasi, sistem dan prosedur, dan kebijakan di bidang sumber daya manusia;
b.      Modernisasi peraturan yang terdiri dari penyederhanaan prosedur administratif dan ketentuan perpajakan lainnya; dan
c.       Modernisasi teknologi informasi termasuk pemanfaatan teknologi informasi untuk mempermudah wajib pajak dan administrasi perpajakan.[13]
Sesuai dengan konsep medernisasi perpajakan yang telah disusun dan diterapkan tersebut, namun dalam perjalanannya konsep yang ada harus terus dkembangkan dengan masukan (input) dari berbagai pihak yang dipandang dapat memperbaiki dan menyempurnakan konsep yang ada. Sehingga konsep modernisasi perpajakan adalah konsep yang dinamis. Dengan begitu suatu Negara dapat dengan suskses mencapai sasaran yang diharapkan dalam menghasilkan penerimaan pajak yang optimal, karena administrasi perpajakannya mampu dengan efektif melaksanakan system perpajakan disuatu Negara  yang dipilih.

2.      Membentuk Aparat Pajak yang Profesional, Transparan dan Akuntabel
            Aparat Pajak mempunyai kewajiban untuk bekerja secara profesional, transparan, dan akuntabel.
a.       Membentuk Aparat Pajak yang Profesional, Meliputi :
·         Integitas, yaitu ukuran kualitas moral aparat pajak yang diwujudkan dalam sikap jujur, bersih dari tindakan tercela, dan senantiasa mengutamakan kepentingan negara;
·         Disiplin, yaitu pencerminan ketaatan petugas pajak terhadap setiap ketentuan yang berlaku;
·         kompetensi, yaitu ukuran tingkat pengetahuan, kemampuan dan penguasaan atas bidang tugas sehingga mampu melaksanakan tugas secara efektif dan efsien.
b.      Membentuk Aparat Pajak yang Transparan, yaitu yaitu setiap aparat pajak harus bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun demikian, kerahasiaan jabatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tetap harus diterapkan. Terkait dengan transparansi yang dituntut dari setiap aparat pajak, maka dalam hal petugas pajak berada dalam atau berpotensi mengalami situasi konfik kepentingan dalam melaksanakan tugas, yang bersangkutan harus melaporkan secara tertulis hal tersebut kepada atasannya.
c.       Membentuk Aparat Pajak yang Akuntabel, artinya aparat pajak harus bertanggung jawab dan bersedia untuk diperiksa oleh pihak yang berwenang atas setiap keputusan atau tindakan yang diambil dalam rangka pelaksanaan tugas.
            Peningkatan aparat Pajak yang Profesional, Transparan dan Akuntabel merupakan program reformasi aspek sumber daya manusia, antara lain melalui pelaksanaan fit and proper test secara ketat, penempatan pegawai sesuai kapasitas dan kapabilitasnya, reorganisasi, kaderisasi, pelatihan, dan program pengembangan self capacity.
            Tercapai tidaknya target pajak, dan benar tidaknya pembayaran yang harus distorkan ke kas Negara tidak terlepas dariperan petugas pajak. Karena itu petugas pajak harus memiliki kecakapan, keahlian, “bersih”, jujur, menjalankan sumpah jabatan dengan baik dan benar, dan lainnya yang dapat dipersamakan dengan takut akan perbuatan menerima/mengambil yang bukan milik dari hasil pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Bila terbukti bersalah maka, maka harus dikenakan sanksi bukan hanya sebatas sanksi internal dan peraturan kepegawaian, serta yang memeriksanya pun bukan hanya dari kalangan internal Departemen Keuangan, melainkan juga dari institusi lainnya yang benar-benar independen. 

Kesimpulan
Berdasarkan uraian penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya maka optimalisasi kualitas pelayanan harus ditingkatkan oleh aparat pajak. Tentu kepatuhan yang diharapkan adalah kepatuhan secara sukarela (voluntary compliance). Jadi optimalisasi kualitas pelayanan dapat meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak secara sukarela (voluntary compliance)”. Tentunya optimalisasi kualitas pelayanan harus diupayakan dengan melaksanakannya elemen-elemen kunci diatas serta harus diterapkan secara efektif.

Daftar Pustaka
Fidel, 2010. Cara Mudah & Praktis Memahami Masalah_masalah Perpajakan: Mulai
Dari Konsep Dasar Sampai Aplikasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Gunadi, 2005. Fungsi  Pemeriksaan  Terhadap Peningkatan  Kepatuhan  Pajak (Tax
Compliance).  Jurnal Perpajakan Indonesia Vol. 4 no. 5.

Harahap, Abdul Asri, 2004. Paradigma Baru Perpajakan Indonesia Perspektif
Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka belajar.

Ismawan, Indra, 2001. Memahami Reformasi Perpajakan 2000,  Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.

Pandiangan, Liberti, 2007. Modernisasi & Reformasi Pelayanan Perpajakan
Berdasarkan UU Terbaru, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

Salamun AT, 1989. Prospek dan Faktor Penentu Reformasi Perpajakan, Jakarta:
Yayasan Bina Pembangunan.


[1] . Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi penulisan Artikel yang yang diselenggarakan oleh Univesitas Brawijaya Malang.
[2] . Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
[3] . Salamun AT, Prospek dan Faktor Penentu Reformasi Perpajakan, (Jakarta: Yayasan Bina Pembangunan, 1989), hlm. Xix-xx.
[4] .  Fidel, Cara Mudah & Praktis Memahami Masalah_masalah Perpajakan: Mulai Dari Konsep dasar sampai aplikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010). Hlm. 11.
[5] . Abdul Asri Harahap. Paradigma Baru Perpajakan Indonesia Perspektif Ekonomi, (Yogyakarta: Pustaka belajar , 2004),  hlm. 43.
[6] . Gunadi, Fungsi  Pemeriksaan  Terhadap Peningkatan  Kepatuhan  Pajak (Tax  Compliance).  Jurnal Perpajakan Indonesia Vol. 4 no. 5, 2005, hlm 4-9.
[7] . Indra Ismawan, Memahami Reformasi Perpajakan 2000.  (Jakarta : PT Elex Media Komputindo. 2001), hlm 82. Ada dua macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang  perpajakan. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai dengan isi dan jiwa undang- undang  perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal.
[8] . Indra Ismawan, Memahami Reformasi Perpajakan 2000.  (Jakarta : PT Elex Media Komputindo. 2001), hlm. 83. 
[9] . Fidel, Cara Mudah & Praktis Memahami Masalah_masalah Perpajakan: Mulai Dari Konsep dasar sampai aplikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010). Hlm. 22.
[10] . Liberti Pandiangan, Modernisasi & Reformasi Pelayanan Perpajakan Berdasarkan UU Terbaru, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007). Hlm 26.
[11] . Liberti Pandiangan, Modernisasi & Reformasi Pelayanan Perpajakan Berdasarkan UU Terbaru, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2007). Hlm 28.
[12] . Boediono B. Pelayanan Prima Perpajakan, (Jakarta : PT Rineka Cipta 2003), hlm 3.
[13] . Fidel, Cara Mudah & Praktis Memahami Masalah_masalah Perpajakan: Mulai Dari Konsep dasar sampai aplikasi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010). Hlm.52-53.

You Might Also Like

0 comments